Latest Post

Menag dan koordinator aksi demo dugaan pencabulan 

 

JAKARTA — MENTERI Agama Prof. Nasaruddin Umar menghadapi tudingan dugaan pelecehan seksual dan protes dari sekelompok orang. Ia menanggapinya dengan tenang, sebab ini bukan kali pertama dirinya diterpa berita negatif.

 

Terkait kasus dugaan penyerangan tersebut, Nasaruddin Umar menegaskan bahwa dirinya telah memaafkan orang yang menuduhnya. Bahkan, dirinya telah bertemu dengan sejumlah perwakilan pendemo yang akhirnya meminta maaf atas unjuk rasa tersebut.

 

Dilansir dari video TikTok yang diunggah akun @kita.nu.nasaruddin, Jumat, 28 Maret 2025, dalam pertemuan itu, dua orang perwakilan aksi meminta maaf karena melakukan demo tanpa mencek kebenaran gosip tersebut.

 

"Saya Syaril, koordiantor aksi kemarin, saya mewakili teman-teman meminta maaf ke Pak Menteri. Karena kami terlalu cepat mendengar isu yang tidak pasti dan benar, sehingga memberikan dampak buruk ke Pak Menteri dan instansi secara keseluruhan," ujarnya.

 

Begitu juga dengan seorang ibu yang meminta maaf karena ikut aksi tersebut. Nasaruddin mengatakan telah memaafkan semuanya. Dia sadar sebagai hamba Allah tidak akan luput dari fitnah.

 

"Lebih dari itupun ibu lakukan, saya maafkan, saya enggak ada apa-apanya. Saya hanya hamba Allah, Nabi juga difitnah keji, juga Aisyah," ungkapnya.

 

"Saya hanya berdoa kepada Allah, kalau seandainya fitnah hanya kebenaran, ampuni hamba, kami yang salah, tapi kalau fitnah ini keliru ampuni juga hamba," sambungnya. 

 

Nasaruddin mengatakan selama ini telah kenyang dengan fitnah sebagai Yahudi, hindu dan liberal karena kedekatannya dengan pemeluk agama lain, selama menjadi Imam Masjid Istiqlal.

 

"Jangan ada lagi ada beban, saya terbiasa difitnah, difitnah jadi Yahudi, jadi Hindu, liberal, difitnah jadi syiah. Tapi selalu tersenyum, 'ya Allah kalau hambamu salah, ampuni aku, tapi kalau yang memiftnahku keliru, hamba juga saya maafkan'," tuturnya. (pjs)



 

JAKARTA — Pada Sidang Komite Hak Asasi Manusia atau CCPR PBB di Jenewa, Swiss, yang berlangsung pekan lalu, salah satu anggota komite, Bacre Waly Ndiaye, mempertanyakan netralitas Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) dan pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, pada Pilpres 2024.

 

Dalam pernyataannya, Ndiaye menyinggung hak demokrasi warga negara Indonesia dan mempertanyakan jaminan hak politik pada Pemilu 2024.

 

Ia lantas mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi, tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu.

 

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI pun bergeming atas tudingan Ndiaye. Melalui jurubicara Kemlu, Lalu Muhamad Iqbal, pemerintah menegaskan pertemuan itu bersifat dialog interaktif secara sukarela dan bukan untuk mengadili pelaksanaan HAM di antara negara-negara pihak.

 

Menanggapi hal tersebut, Co Founder Forum Intelektual Muda, Muhammad Sutisna menyatakan sudah seharusnya pemerintah tak perlu pasang badan yang berlebihan kepada Jokowi.

 

“Karena ketika pemerintah pasang badan, bisa berdampak buruk terhadap kinerja hari ini yang sedang disorot banyak kalangan,” ucap Sutisna kepada RMOL, Jumat, 28 Maret 2025.

 

Menurut dia, biarkan dunia internasional menilai apa yang terjadi di Indonesia. Tentunya hal itu menjadi introspeksi bersama bagi pemerintah saat ini serta seluruh rakyat Indonesia.

 

“Dunia akan melihat secara objektif kepada proses demokrasi di Indonesia dan kita harus bisa mengambil pelajaran dari penilaian dunia internasional terhadap proses di negara kita,” pungkasnya. (*)


Massa saat memanjat pagar gedung DPR RI di Jakarta, Kamis (27/3/2025)  

 

JAKARTA — Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menggelar unjuk rasa menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di depan Gedung MPR/DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis malam.

 

Dalam aksi tersebut, para demonstran menyampaikan tuntutannya melalui orasi yang dilakukan secara bergantian. Mereka mendesak pemerintah mencabut UU TNI dan menolak wacana revisi UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

 

Demonstrasi ini menyebabkan arus lalu lintas di Jalan Gatot Subroto dari arah Semanggi menuju Slipi terganggu. Massa aksi menutup jalur arteri sehingga kendaraan hanya dapat melintas di jalur Transjakarta.

 

Sejumlah poster berisi kritik terhadap pemerintah juga dibentangkan oleh peserta aksi. Kendati demikian, aksi berlangsung secara damai dan tidak seramai demonstrasi sebelumnya.

 

Kepolisian telah mengerahkan 1.824 personel gabungan untuk mengamankan jalannya aksi unjuk rasa.

 

"Sebanyak 1.824 personel dikerahkan untuk pengamanan di DPR," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat, Komisaris Besar Polisi Susatyo Purnomo Condro.

 

Personel yang ditugaskan berasal dari berbagai unsur, termasuk Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan instansi terkait. Mereka ditempatkan di sejumlah titik sekitar Gedung DPR RI.

 

Selain menjaga ketertiban, kepolisian juga mengantisipasi kemungkinan adanya upaya massa untuk memasuki kompleks parlemen.

 

Pengalihan arus lalu lintas di sekitar Gedung DPR RI diberlakukan secara situasional.

 

"Rekayasa lalu lintas akan diterapkan sesuai perkembangan situasi di lapangan," ujar Susatyo. (rmol)

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman 


JAKARTA — Komisi III DPR RI menjadwalkan rapat kerja dengan unsur Dewan Pers untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Khususnya terkait aturan larangan meliput sidang pengadilan.

 

“Perlu kami sampaikan ke teman-teman terutama pers itu ada terkait dengan liputan persidangan. Kami akan undang Dewan Pers, PWI, AJI, dan Forum Pemred tanggal 8 (April 2025) setelah lebaran, khusus membahas soal itu,” kata Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis 27 Maret 2025.

 

Habiburokhman menambahkan, undangan itu untuk mencari solusi terbaik terkait regulasi yang nantinya akan dimasukan ke dalam RUU KUHAP.

 

“Bagaimana pengaturan yang paling baik, kami paham teman-teman menjalankan tugas untuk memberitahukan kepada masyarakat, tapi ada beberapa acara di Pengadilan, dalam persidangan pidana, yang memang enggak bisa disiarkan, paling penting adalah pemeriksaan saksi. Karena saksi itu keterkaitan, enggak boleh saling mendengar, itu yang memang perlu disiasati,” jelasnya.

 

Ia pun menegaskan bahwa aturan itu tidak dimaksudkan untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik.

 

“Apakah yang enggak bisa disiarkan secara live, itu hanya terkait pemeriksaan saksi, jadi spesifik. Bukan kalau umum ini kan teman-teman dipersulit meliput jadinya, kalau meliput harus izin ketua pengadilan, padahal kita menganut prinsip sidang terbuka untuk umum,” tutur Waketum Partai Gerindra ini.

 

“Kecuali yang terkait susila, okelah. Tapi terkait perkara biasa memang seharusnya terbuka, seharusnya teman-teman diperbolehkan untuk meliput,” imbuhnya.

 

Dalam pembahasan RUU KUHAP antara Komisi III DPR dengan para pakar hukum, muncul usulan terkait larangan meliput langsung di ruang sidang pengadilan.  

 

Usulan itu disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang, dalam RDPU di Komisi III DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 24 Maret 2025 lalu. (rmol)


Prajurit TNI di Gedung DPR/MPRI-RI 

 

JAKARTA — Polemik mengenai rencana TNI melebarkan sayapnya ke jabatan sipil kembali menjadi sorotan. Salah satu akun X dengan nama IAKI (@__AnakKolong) mengecam keras fenomena tersebut, Selasa (26/3/2025).

 

Dikatakannya, penyebab utama kerusakan yang terjadi di negeri ini, termasuk hancurnya meritokrasi di TNI dan Polri, adalah sosok yang disebutnya Mulyono Fufufafa asal Surakarta.

 

Dalam cuitannya yang bernada satir, akun tersebut menggambarkan bagaimana perluasan peran militer ke posisi sipil bagaikan pencuri roti di supermarket yang setelah tertangkap, memaksa pemilik supermarket untuk membuat aturan bahwa roti gratis untuk semua orang.

 

Tidak berhenti di situ, ia juga menyindir pernyataan Kapuspen TNI yang menegaskan bahwa TNI tidak akan mengambil alih posisi sipil dan tidak ingin menjadi Badan Super Body. 

 

Dikatakan akun tersebut, pernyataan tersebut sama seperti seseorang yang mengharamkan babi, menolak makan daging babi, tetapi justru doyan Jamón ibérico sebuah produk olahan babi khas Spanyol.

 

Untuk memperkuat kritiknya, akun IAKI menyertakan gambar artikel yang berjudul 2.500 Prajurit TNI Duduki Jabatan Sipil.

 

Artikel tersebut menyinggung maraknya prajurit TNI aktif yang ditempatkan dalam posisi sipil, sebuah fenomena yang dianggap mengancam birokrasi dan prinsip meritokrasi di pemerintahan. 

 

Seperti diketahui, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial mengungkap adanya ribuan personel TNI yang saat ini menduduki jabatan sipil, sebuah praktik yang dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) TNI.

 

Hal ini disampaikan oleh ahli militer Imparsial, Al Araf, dalam rapat bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, baru-baru ini.

 

Menurutnya, penempatan prajurit TNI di posisi sipil harus mengikuti ketentuan dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, yang membatasi keterlibatan militer hanya dalam beberapa sektor tertentu.

 

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa aturan ini sering kali diabaikan.

 

"TNI jelas hanya boleh mengisi jabatan di kementerian dalam lingkup yang sangat terbatas. Namun, data dari Babinkum TNI yang saya dapatkan ketika berada di Lemhannas pada 2023 menunjukkan bahwa ada 2.500 prajurit yang menduduki jabatan sipil," kata Al Araf.

 

Imparsial menegaskan bahwa kondisi ini melebihi kewenangan yang diberikan kepada TNI dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

 

Dalam Pasal 47 UU TNI, disebutkan bahwa personel militer hanya diperbolehkan menduduki jabatan sipil dalam sektor-sektor tertentu, seperti di Kementerian Pertahanan atau instansi lain yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara.

 

"Implikasi dari praktik ini adalah terjadinya pelanggaran terhadap UU TNI. Karena dalam Pasal 47, batasan jabatan sipil yang boleh diisi oleh TNI sudah diatur dengan jelas," tegasnya.

 

Ia pun meminta Komisi I DPR RI untuk mengambil langkah tegas dalam mengoreksi aturan yang ada serta memastikan bahwa TNI hanya ditempatkan di sektor-sektor sipil yang memang diperbolehkan oleh undang-undang.

 

"Sebagai wakil rakyat, tugas Komisi I DPR adalah mengoreksi penyimpangan ini. Faktanya, UU yang ada saat ini tidak memperbolehkan TNI secara bebas masuk ke jabatan sipil," katanya.

 

Salah satu contoh terbaru dari praktik ini adalah pengangkatan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog.

 

Padahal, jabatan tersebut secara hukum adalah jabatan sipil, bukan posisi yang seharusnya diisi oleh perwira aktif TNI.

 

Al Araf menilai bahwa penempatan militer di jabatan sipil semacam ini justru akan mengganggu tatanan ketatanegaraan dan merugikan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah berkarier dalam birokrasi. 

 

"Saya banyak teman di PNS yang telah berkarier bertahun-tahun, bahkan menempuh pendidikan hingga ke luar negeri, dengan harapan bisa menjadi direktur atau dirjen. Namun, kesempatan mereka tertutup karena jabatan itu diisi oleh militer atau polisi aktif," bebernya.

 

Ia menegaskan bahwa tugas utama militer adalah pertahanan negara, sementara kepolisian bertanggung jawab atas penegakan hukum dan keamanan dalam negeri.

 

Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan bagi mereka untuk ikut campur dalam jabatan sipil.

 

"Biarkan birokrasi sipil tetap diisi oleh sipil. Militer tidak perlu masuk ke ranah ini," kuncinya. (fajar)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.