Latest Post


 

Oleh : Ida N Kusdianti | Sekjen FTA

 

HARAPAN rakyat Banten terhadap Pemerintahan Prabowo untuk mempertahankan hak dan kedaulatan wilayah yang dicaplok oleh Aguan dkk, sepertinya sulit dicapai. Rakyat Banten harus menyusun kekuatan dan persatuan untuk melawan dengan caranya sendiri, apalagi Presiden Prabowo sampai hari ini masih bungkam tak bernyali menghadapi Aguan sang penjajah tanah pesisir Banten.

 

Menteri ATR Nusron Wahid bak kaum Sofis yang hidup di zaman 400 SM.  Dengan retorika meyakinkan pada rakyat Banten pada saat pencabutan SHGB bulan lalu, Nusron seolah memberikan angin segar bagi perjuangan rakyat Banten. Tetapi pada akhirnya Nusron membajak hak-hak rakyat dan membantu oligarki untuk mencaplok jengkal demi jengkal tanah pesisir Pantai Utara (Pantura) Tangerang tersebut.

 

Artinya, terkait konflik lahan atau sengketa tanah di Pantura Tangerang, menunjukkan kapasitas Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang lemah. Ia tidak berhasil melawan kekuatan atau pengaruh dari seseorang atau kelompok yang disebut Aguan.

 

Bagaimana bisa beberapa sertifikat tanah milik Aguan  di Pantura Tangerang batal dicabut. Aguan tampaknya memiliki kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar daripada pemerintah bahkan undang-undang,

 

Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan antara lain: 

- Apakah Aguan menjadi monster bagi penegakan hukum di Indonesia?

- Mengapa Menteri ATR tidak berhasil melawan Aguan?

- Apa dampak dari kasus ini terhadap masyarakat terutama rakyat Banten?

- Apakah ini akhir dari hilangnya kedaulatan NKRI di tangan oligarki?

- Apa pemerintah tidak berpikir jika rakyat marah tak ada satu kekuatanpun yang mampu mencegahnya?

- Apakah Ini tanda dimulainya perang antar-etnis karena kerakusan Aguan dkk dengan PIK 1, PIK2 dan pencaplokan di banyak wilayah di Indonesia?

 

Perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat terkait dicabutnya pembatalan sertifikat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid.

 

Jika Menteri ATR berpihak pada Aguan dkk dengan dalih yang dibuat-buat maka, Forum Tanah Air mengecam dan akan terus berdiri tegak berjuang bersama rakyat Banten sampai terwujudnya rasa keadilan bagi rakyat kecil.

 

Dengan demikian, perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat karena pencabutan pembatalan sertifikat oleh Nusron Wahid selalu Menteri ATR.  Dengan keputusan ini bisa dipastikan bahwa Pemerintahan Prabowo tidak berani melawan Aguan dkk.

 

Jika kebenaran dan keadilan terus dinistakan, jangan salahkan rakyat  mengambil langkah dan jalannya sendiri.

 

Jika Presiden Prabowo tak mampu menghadapi Aguan dkk, biarkan rakyat Banten bertindak dengan kekuatan yang dimiliki.

 

#Banten Melawan Aguan

#Mentri ATR Masuk Angin

#Macan Asia Terkapar Dibawah Pagar Laut

#ForumTanahAir

#FTAFrorBrighterIndonesia

 

Rawe Rawe Rantas Malang Malang Putung, Rakyat banyak akan pertahankan bumi Banten dari penjajahan Aguan. sebagai bukti kecintaan kami pada Bumi Pertiwi  (*).


Kolase foto Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri 

 

JAKARTA — Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dinilai menjadi penyebab menjauhnya Presiden Prabowo Subianto dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

 

Kemarahan Megawati memuncak saat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditahan KPK beberapa waktu lalu. Di hari yang sama, Megawati langsung mengeluarkan instruksi kepada kepala daerah dari PDIP untuk menunda keberangkatan.

 

Terkait hal itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menilai instruksi Megawati tersebut bukan sekadar reaksi politik spontan, melainkan manuver strategis dalam mendefinisikan kembali peran PDIP di era transisi kekuasaan.

 

“Dengan mengarahkan serangan ke Jokowi, bukan Prabowo, PDIP menunjukkan upaya sistematis untuk mendekonstruksi warisan politik Jokowi, sekaligus menjaga kelenturan politiknya di bawah pemerintahan yang baru,” kata Efatha kepada RMOL, Senin, 24 Februari 2025.

 

Menurut dia, ada tiga indikator utama yang menunjukkan pola delegitimasi ini. Pertama, permintaan Hasto Kristiyanto agar Jokowi diperiksa sebelum dirinya ditahan bukan sekadar bentuk perlawanan hukum, melainkan strategi reframing politik yang bertujuan mengalihkan isu dari kasus personal ke problem struktural dalam penegakan hukum.

 

“Kedua, tuduhan bahwa KPK dikendalikan oleh aktor eksternal melalui AKBP Rossa membangun narasi bahwa PDIP adalah korban represi kekuasaan, bukan sekadar partai yang terseret kasus hukum. Ketiga, dengan menekankan bahwa kasus Hasto sudah berjalan sejak sebelum Prabowo berkuasa, PDIP menghindari benturan langsung dengan pemerintahan baru, memungkinkan mereka untuk tetap relevan dalam dinamika politik mendatang,” bebernya.

 

Lanjut Efatha, strategi ini pada dasarnya adalah eksperimen reposisi menjauh dari Jokowi untuk membentuk ulang narasi oposisi, tetapi tetap menyisakan ruang diplomasi dengan Prabowo.

 

“Jika berhasil, PDIP akan mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan oposisi utama yang kredibel. Tetapi, jika gagal mendapatkan dukungan publik, langkah ini bisa menjadi bumerang, mengisolasi PDIP di luar lingkar kekuasaan tanpa daya tawar yang signifikan lagi,” ungkapnya.

 

“Pada dasarnya, ini bukan sekadar konflik personal atau hukum. Ini adalah kalkulasi politik jangka panjang PDIP untuk tetap menjadi pemain dominan di era pasca-Jokowi,” tandas Efatha. (*)



 

Oleh : Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

 

Kasus dugaan keterlibatan 22 kepala desa dalam proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) telah memicu perhatian luas, terutama terkait peran mereka dalam pembebasan lahan dan dampaknya terhadap masyarakat setempat.


Proyek PIK 2, yang dikembangkan oleh PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) salah satu perusahaan Agung Sedayu Group milik Sugianto Kusuma (Aguan) merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bertujuan untuk menciptakan kawasan hunian dan komersial berkelas dunia. 


Namun, pelaksanaannya menimbulkan berbagai persoalan, terutama terkait pembebasan lahan dan dampak sosial bagi warga sekitar.

 

Peran Kepala Desa dalam Pembebasan Lahan

 

Laporan dari berbagai sumber mengindikasikan bahwa sejumlah kepala desa di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten diduga berperan aktif dalam proses pembebasan lahan untuk proyek PIK 2. Kantor pembebasan lahan proyek ini bahkan disebut-sebut didukung oleh Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang.


Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai independensi dan integritas para kepala desa dalam melindungi hak-hak warganya. Beberapa warga mengaku bahwa lahan mereka diambil alih tanpa proses musyawarah yang memadai, dengan kompensasi yang jauh di bawah nilai pasar. Selain itu, ada laporan tentang intimidasi dan tekanan terhadap warga yang enggan melepaskan lahannya.

 

22 Kepala Desa yang Diduga Terlibat Kasus PIK 2

 

Kecamatan Teluknaga

 

1 Kepala Desa Muara Arban M. Syafrudin

 

2. Kepala Desa Tanjung Pasir Gunawan Harun

 

3. Kepala Desa Tanjung Burung H. Idris Efendi, S.Pd, M.M

 

Kecamatan Pakuhaji

 

4. kepala Desa Kohod Arsin

 

5. KepalaDesa Kramat H. Nur Alam

 

6. Kepala Desa Sukawali Suparman

 

7. Kepala Desa Suryabahari Mukti Kulyubi

 

Kecamatan Sukadiri

 

8. Kepala Desa Karang Serang Slamet Riyadi

 

Kecamatan Mauk

 

9. Kepala Desa Tajung Anom Ashihani/ Doni

 

10. Kepala Desa Marga Mulya Abu Bakar

 

11. Kepala Desa Ketapang Khotibul Umam

 

12. Kepala Desa Mauk Barat Sarmudi

 

Kecamatan Kemiri

 

13. kepala Desa Patramanggah Jayadi

 

14.Kepala Desa Karang Anyer Suhendri

 

15.kepala Desa Lontar Dodi RS

 

Kecamatan Kronjo

 

16. Kepala Desa Pagedongan Arief K. Muzakir

 

17. kepala Desa Krunjo Nurjaman

 

18. Kepala Desa Muncung Agus Purwadi

 

Kecamatan Tanara

 

19. kepala Desa Pedaleman H. Sadai

 

Kecamatan Tirtayasa

 

20 Kepala Desa Lontar Andi

 

Kecamatan Pontang

 

21. Kepala Desa Sukajaya Nasrullah PJ

 

22. Kepala Desa Linduk Sadra'i

 

Ada beberapa skenario yang bisa menjelaskan bagaimana 22 kepala desa diduga dalam proyek PIK 2.

 

Pertama, Manipulasi Perizinan dan Pembebasan Lahan. Kepala desa memiliki kewenangan administratif terkait status lahan. Dalam kasus ini, mereka bisa saja membantu mempercepat atau memanipulasi proses pembebasan tanah dengan cara merekayasa dokumen kepemilikan, menekan warga untuk menjual tanahnya dengan harga rendah, atau bahkan mengubah status tanah dari lahan pertanian menjadi lahan komersial.

 

Kedua, Penerimaan Suap atau Kompensasi. Pihak pengembang proyek besar seperti PIK 2 sering kali menghadapi hambatan dari masyarakat lokal yang menolak proyek. Untuk mengatasi ini, pengembang bisa saja memberikan suap atau kompensasi kepada kepala desa agar mereka membujuk warganya menerima relokasi atau menjual tanah dengan harga lebih murah.

 

Ketiga, Pencucian Uang dan Gratifikasi dalam Bentuk Proyek Desa. Salah satu modus yang kerap terjadi adalah penyamaran gratifikasi dalam bentuk proyek desa. Pengembang bisa saja memberikan dana atau proyek infrastruktur desa sebagai imbalan atas dukungan kepala desa dalam memperlancar proses pembebasan lahan.

 

Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat 

Proses pembebasan lahan yang kontroversial ini berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Banyak warga kehilangan mata pencaharian utama mereka, seperti pertanian dan perikanan, akibat alih fungsi lahan menjadi area komersial. Selain itu, pembangunan infrastruktur proyek, seperti tembok pembatas dan pagar laut, membatasi akses warga ke sumber daya alam yang vital bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini memperparah ketimpangan sosial antara penghuni baru kawasan elit dan warga asli yang terpinggirkan.

 

Tuntutan Transparansi dan Keadilan 

Munculnya dugaan keterlibatan 22 kepala desa dalam kasus ini menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek berskala besar. Masyarakat dan berbagai organisasi sipil menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap para pejabat yang diduga menyalahgunakan wewenang mereka. Selain itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pembebasan lahan dan pemberian kompensasi, agar hak-hak masyarakat terlindungi dan kesejahteraan mereka terjamin.

 

Kasus ini menjadi cerminan kompleksitas hubungan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal. Diperlukan pendekatan yang seimbang antara kepentingan investasi dan kesejahteraan warga, dengan memastikan bahwa proses pembangunan dilakukan secara transparan, adil, dan partisipatif.

 

Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi akan menjadi langkah penting dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan proses pembangunan nasional. (*)



 

JAKARTA — Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Umar Hasibuan, melontarkan kritik tajam terhadap Luhut Binsar Pandjaitan yang mengingatkan masyarakat agar patuh membayar pajak.

 

Luhut mengatakan, mereka yang belum menyelesaikan kewajiban perpajakannya kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam urusan administrasi.

 

"Situ emang siapa? Presiden enggak, main ngancem-ngancem saja," ujar Umar di X @UmarHasibuan__ (22/2/2025).

 

Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak takut dengan ancaman yang disampaikan Luhut soal sanksi bagi masyarakat yang belum membayar pajak.

 

Menurutnya, ucapan Luhut tidak seharusnya menyudutkan rakyat, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

 

"Gue gak mau bayar pajak persulit saja ngurus administrasi. Gak takut gue sama anceman lu?," cetusnya.

 

Lebih lanjut, Umar berharap agar Luhut diberikan balasan atas perkataannya yang dinilai sering menyakiti hati rakyat.

 

"Semoga mulut org ini diberikan ganjaran sama Allah SWT biar gak nyakitin rakyat mulu omongannya," kuncinya.

 

Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa masyarakat yang belum memenuhi kewajiban pajaknya bisa menghadapi kendala dalam mengurus administrasi termasuk pembuatan paspor.

 

Pernyataan ini ia sampaikan dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (9/1/2025).

 

Menurut Luhut, pemerintah saat ini tengah mempercepat transformasi ekonomi melalui digitalisasi.

 

Dengan sistem yang semakin canggih, seluruh data Wajib Pajak akan terintegrasi sehingga dapat terpantau secara menyeluruh.

 

“Kamu ngurus paspor, tidak bisa karena kamu belum bayar pajak,” ujar Luhut.

 

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu menjelaskan bahwa digitalisasi akan memastikan individu dan perusahaan patuh dalam membayar pajak serta royalti.

 

Sistem ini juga bertujuan menciptakan transparansi dalam administrasi publik dan mencegah kebocoran penerimaan negara.

 

Salah satu bentuk implementasi digitalisasi ini adalah platform Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian/Lembaga (SIMBARA).

 

Menurut Sekretaris Eksekutif DEN, Septian Hario Seto, aplikasi ini akan meningkatkan kepatuhan pajak dengan mendeteksi data yang tidak akurat.

 

Sebagai contoh, SIMBARA mampu secara otomatis memblokir penjualan batu bara perusahaan yang belum membayar royalti.

 

“Kalau di SIMBARA, batu baranya belum bayar royalti, maka sistemnya akan nge-block. Jadi perusahaan itu tidak akan bisa jualan batu bara sampai dia melunasi tagihan royaltinya,” jelas Septian.

 

Kebijakan ini menuai berbagai tanggapan, terutama di media sosial. Sejumlah pihak mempertanyakan apakah kebijakan tersebut akan diberlakukan secara adil dan tidak memberatkan masyarakat kecil.

 

Namun, Luhut menegaskan bahwa langkah ini adalah bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak demi pembangunan ekonomi yang lebih baik. (fajar)


Keluarga Presiden ke-7 Joko Widodo 


JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lebih jago bicara ketimbang mengeksekusi kasus korupsi, salah satunya terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat keluarga Presiden ke-7 Joko Widodo.

 

Menurut Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto, KPK saat ini tumpul karena terbebani kepentingan pengamanan keluarga Jokowi.

 

"KPK hanya pandai bersilat lidah bukan pandai mengeksekusi kasus korupsi," kata Hari kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu, 23 Februari 2025.

 

Hari menilai, kasus nyata yang sampai saat ini tidak dieksekusi adalah penetapan tersangka M Suryo dalam kasus korupsi DJKA yang sampai saat ini melandai dan tidak ada keberanian KPK untuk mengeksekusi. Hari meyakini, kasus tersebut dapat menyeret Jokowi.

 

"Bahkan saat fakta persidangan menyebut nama M Suryo, KPK tidak peka dan menutup mata dalam kasus tersebut. Atau memang jika M Suryo ditangkap akan ada nyanyian merdu dan aliran ke Jokowi dan keluarga," pungkas Hari. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.