Latest Post

Thomas Trikasih Lembong/Net 


SANCAnews.id – Publik saat ini tengah disibukkan dengan kasus korupsi yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Kasus ini menjadi sorotan di media sosial, salah satunya adalah X.

 

Terkait kasus Tom Lembong yang sedang menjadi trending, publik menyebut ada dugaan pengalihan isu dalam kasus mantan tim kampanye Anies Baswedan tersebut. Kasus Tom Lembong dikaitkan dengan pengalihan isu Fufufafa yang mulai merebak di media sosial.

 

"Njir! info A100. Kasus TL ternyata bagian dari mitigasi untuk meredam perbincangan soal Fufufafa di media sosial. Harus diakui obrolan mengenai Fufufafa mulai menurun," tulis akun @yusuf_dumdum, Rabu (30/10/2024).

 

"Jangan sampai lengah. Kita boleh peduli dengan isu lain, tapi jangan sampai kasus Fufufafa dilupakan," imbuhnya.

 

Diketahui Tom Lembong terseret kasus korupsi importir gula. Ia dianggap menyalahkan wewenang saat menjadi Menteri Perdagangan.


Pernyataan Yusuf Dumdum sontak mengundang berbagai respons dari warganet.

 

"Tetep kawal Fufufafa, jangan sampai lengah dengan pengalihan isu pak Tom Lembong, ternyata kejaksaan agung belum punya bukti aliran dana ke rekening Tom Lembong," komentar warganet.

 

"Waspada pengalihan isu Fufufafa," imbuh warganet lain.

 

"Kita lihat gebrakan selanjutnya ombak akan kemana lagi apakah ombak akan balik ke sumber ombak? edisi hari-hari esok akan lebih menarik dari pada hari-hari sebelumnya," tulis warganet di kolom komentar.

 

"Tolong pada upload postingan Fufufafa di Tiktok juga. Kalau perlu bikin akun khusus. Biar warga sana tau kelakuan mereka persis Fufufafa," timpal lainnya.

 

Fufufafa sendiri merupakan akun Kaskus kontroversial yang menghina Prabowo Subianto dan keluarga. Akun tersebut belakangan dikaitkan dengan Gibran Rakabuming Raka. (suara)

 


Tom Lembong-Jokowi 

 

JOKOWI TAHU

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 

KEJUTAN hukum pertama di era Prabowo adalah co captain Anies "musuh" Prabowo ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan bahwa akibat kebijakan impor gula maka negara dirugikan 400 milyar. Publik menilai bahwa pada rezim Prabowo ini ternyata hukum masih dijadikan alat untuk kepentingan politik.

 

Peristiwanya saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan 2015-2016. Kecuali Gobel yang digantikan Tom, maka semua Mendag mengambil kebijakan impor gula bahkan dengan tonase yang jauh lebih besar. Thomas Trikasih Lembong ditahan bersama Charles Sitorus Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

 

Adakah penetapan status tersangka Tom Lembong murni hukum atau politis, itu akan bisa kita baca edisi lanjutan dari kerja Kejagung. Tidak terpaku pada bantahan Kejagung.

 

Jika penetapan status tersangka dan penahanan Tom Lembong adalah dalam upaya menjegal Anies untuk maju dalam Pilpres 2029, maka aspek politisnya sangat kuat. Hal ini mengingat peran Lembong yang besar untuk menyukseskan Anies. Apalagi rumor untuk menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden terus bergulir. Anies bakal menjadi lawan berat yang sulit dikalahkan, apalagi oleh bocil sekelas Gibran.

 

Penetapan tersangka Tom Lembong sangat bernilai politis jika kelanjutannya Anies atau orang dekatnya yang dijadikan target pemeriksaan atau pesakitan. Jokowi masih menampilkan diri sebagai pengendali rezim Prabowo. Sang jagoan hanya tampil hebat di omon-omon saja, prakteknya ternyata ia adalah bawahan Jokowi.

 

Jika penetapan dan penahanan Tom Lembong itu memang murni hukum,  maka semua menteri baik Agus, Enggar, Lutfi maupun Zulhas harus diperiksa dan ditetapkan status yang sama karena seluruhnya mengambil kebijakan yang serupa soal impor gula. Lalu, dan ini terpenting, adakah Jokowi tidak mengetahui "ulah" menteri-menterinya tersebut ?

 

Jika 5 (lima) Menteri Perdagangan melakukan hal yang sama soal impor gula, maka wajar dan sudah menjadi konsekuensi hukum bahwa  Presiden juga harus diperiksa. Jokowi tidak bisa dikesampingkan.

 

Pasal 421 KUHP Jo Pasal 3 Jo Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor menyatakan bahwa atasan yang membiarkan terjadinya korupsi dapat dipidana :

 

"Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan"

 

Dalam aturan UU Tipikor ancaman pidana penjara diubah menjadi minimal 1(satu) tahun dan maksimal 6 (enam) tahun.

 

Ternyata banyak menteri Jokowi  yang melakukan korupsi, oleh karena itu Jokowi patut untuk diperiksa dan diminta pertanggungjawaban atas perbuatan pidananya. Jika tidak, maka pembiaran adalah bagian dari jebakan atau politik sandera yang menjadi warna dari pemerintahan buruknya.

 

Dalam kasus yang "belum terbukti" aliran dana ke kantong Tom Lembong, artinya baru pada aspek kebijakan saja, maka lebih terbuka untuk mengusut atau memeriksa seluruh Menteri Perdagangan yang menjalankan program impor gula, terlebih-lebih memeriksa Jokowi yang menjadi atasan dari para menteri tersebut.

 

Bagi Tom Lembong yang kini ditahan dan dijadikan tersangka tinggal bilang saja bahwa kebijakan impor gula yang diambilnya itu diketahui bahkan disetujui oleh Jokowi. Jokowi telah melakukan pembiaran. Bisa ditangkap, ditahan, diadili dan mendapat sanksi pidana maksimal penjara 6 (enam) tahun.

 

Bahkan Lembaga Kajian untuk Advokasi dan Independensi Peradilan berpendapat untuk atasan yang mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi tidak melaporkan, maka dapat dikenakan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan atau medeplichtige.

 

Artinya, sanksi sedikit lebih ringan daripada pelaku korupsi, yang terancam hukuman pidana penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun. Jika politis Tom Lembong harus dibebaskan tetapi jika murni hukum, maka Jokowi harus ikut diperiksa dan dihukum.  (*)


Ribuan buruh menyambut baik putusan MK terkait UU Cipta Kerja di patung kuda Monas, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024) 

 

SANCAnews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan atas gugatan terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), Kamis (31/10/2024). Ribuan buruh tampak berseri-seri setelah mendengar putusan MK tersebut. Sebagian juga menitikkan air mata karena putusan terbaru.

 

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengapresiasi putusan MK tersebut. Pasalnya, dari 7 poin utama yang dipersoalkan, 70 persen di antaranya memenangkan gugatan serikat pekerja.

 

Tujuh poin tersebut adalah sistem pengupahan, outsourcing, PHK, PKWT (masalah kontrak kerja), tenaga kerja asing, istirahat panjang dan cuti serta kepastian upah bagi pekerja perempuan yang sedang cuti haid dan cuti melahirkan.

 

"Saya ringkas, dari tujuh poin itu kami sudah menghitung secara kalkulasi, kami memenangkan 70 persen gugatan," ujar Andi Gani di kawasan patung kuda Monas, Kamis (31/10/2024).

 

Ia memaparkan, terdapat beberapa poin penting dalam gugatannya yang dimenangkan MK. Misalnya, soal pengupahan, di mana dalam menentukan UMP akan kembali mempertimbangkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan melibatkan dewan pengupahan.

 

"Ada survei kehidupan layak yang akan dikembalikan karena dihitung kebutuhan masing-masing dasar di masing-masing daerah. Dan itu sudah lama hilang," terang Andi Gani.

 

Kemudian, putusan MK juga mengabulkan gugatan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Di mana perusahaan tidak bisa lagi melakukan PHK secara semena-mena dan wajib dimusyawarahkan dengan Serikat Pekerja (SP).

 

"Soal PHK, tidak bisa lagi perusahaan PHK semena-mena," tegas Andi Gani.

 

Dengan putusan ini, lanjut Andi Gani, perekrutan tenaga kerja asing (TKA) kembali dibatasi dan memiliki tenggat masa kerja. Di mana sebelumnya, TKA bekerja di Indonesia begitu saja meski tanpa memiliki kemampuan.

 

"Tenaga kerja asing bisa masuk begitu saja tanpa ada skill. Dengan adanya keputusan ini semua terbatas sekarang, dan mesti ada batas waktu, ada tenaga kerja pendamping dari tengaa kerja Indonesia," terang Andi Gani.

 

Selain itu, MK juga mengatur terkait pekerjaan alih daya atau outsourcing yang harus diatur dalam Undang-Undangan (UU) untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja alih daya.

 

"Lalu outsourcing, sekarang dibatasi, yang tadi tidak ada batasnya," ucap Andi Gani. (jawapos)


Tom Lembong saat ditahan Kejaksaan 

 

SANCAnews.id – Penetapan Tom Lembong yang selama ini dikenal sebagai sosok dekat Anies Baswedan sebagai tersangka mendapat sorotan dari banyak pihak. Pasalnya, kasus yang membuatnya terjerat kasus hukum tersebut berkaitan erat dengan kebijakan impor Presiden Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Hal ini pun dinilai sebagai persekusi politik.

 

Salah satu yang berpandangan demikian adalah peneliti ISEAS sekaligus pengamat politik, Made Supriatma. Melalui tulisannya di akun Facebook miliknya, Made Supriatma menyampaikan analisisnya terkait kasus tersebut.

 

Dia menulis dengan judul "Korupsi Sebagai Alat Persekusi Politik:"

 

"Salah satu penasihat Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 kemarin adalah Tom Lembong. Ia memberi masukan dalam bidang ekonomi. Tom Lembong pernah menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri Perdagangan di periode pertama pemerintahan Joko Widodo," ungkap Made Supriatma, mengawali tulisannya dikutip Kamis (31/10/2024). 

 

Tuduhan yang dikenakan kepada Tom Lembong, lanjutnya, sangat serius. Tom dituduh memberikan ijin impor gula sebanyak 105 ribu ton yang berpotensi merugikan negara 400 milyar. Jumlah yang fantastis.

 

Itu terjadi antara periode 2015-2016 saat Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Lembong dianggap menyalahi prosedur karena saat itu yang boleh melakukan impor gula adalah BUMN. Sementara ia memberikan ijin impor tersebut kepada perusahaan swasta.

 

Karena tuduhan ini, Tom Lembong langsung ditahan oleh Kejagung. Dia diancam hukuman penjara seumur hidup.

 

"Baiklah. Kita biarkan hukum bekerja. Sekalipun demikian, kita masih berhak bertanya: apakah ini proses yang fair, yang adil? Mengapa kasus yang sudah terjadi pada 2015-16 itu baru diproses sekarang? Apakah ini adalah proses pencarian keadilan atau sebuah persekusi politik?," sambungnya.

 

"Saya tidak kenal Tom Lembong. Juga mungkin tidak sepakat dengan pandangan-pandangan politiknya. Namun kasus yang menimpa Tom Lembong ini untuk saya terlihat sangat ‘fishy’ atau berbau amis. Ada banyak hal yang patut dipertanyakan dalam kasus ini," lanjut peneliti ISEAS ini. 

 

Yang diadili adalah soal kebijakan. Seorang Menteri Perdagangan mengambil kebijakan. Apakah itu tidak diketahui oleh bos-nya, yaitu presiden yang berkuasa saat itu? Kalau pun presiden tidak terlibat, apakah dia mengambil tindakan? Setelah tidak menjadi menteri Tom Lembong diangkat menjadi Ketua BKPM.

 

Jika yang diadili adalah kebijakan, atau prosedur pengambilan keputusan dalam kebijakan itu, maka yang bertanggung jawab untuk itu adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi.

 

Mengapa tidak minta tanggung jawab kepada Presiden Jokowi sendiri? Kalau Jokowi tidak mengetahui soal kebijakan impor gula ini, dan memang ada indikasi korupsi, mengapa dia tidak memerintahkan Kejaksaan Agungnya untuk memeriksa Tom Lembong ketika itu?

 

Kalau ini adalah semata-mata soal kebijakan dan kesalahan ada pada presiden maka presiden yang memikul tanggung jawab. Konsekuensinya adalah presiden memiliki impunitas. Dia tidak bisa diadili hanya karena kebijakan yang diambilnya.

 

"Kalau kita mengaitkan dengan aktivitas politik Tom Lembong maka mau tidak mau kita patut curiga bahwa ini adalah sebuah persekusi politik. Rejim Jokowi dan sekarang Prabowo yang berkuasa sekarang ini memang berusaha untuk mengenyahkan kekuatan Anies Baswedan dan kelompoknya. Karena kekuatan inilah yang mampu menjadi oposisi di Indonesia saat ini," tegas Made.

 

Kalau yang terakhir ini benar maka kita pantas kuatir. Ini adalah political persecution dalam pengertian yang sangat telanjang. Dan kita tidak menyaksikan ini untuk pertama kalinya. Banyak sekali orang-orang dengan kekuatan politik yang berpotensi melawan pemerintahan Jokowi (dan sekarang Prabowo) yang dipersekusi dengan kasus-kasus korupsi.

 

Sekalipun bukan berarti orang-orang yang dituduh korupsi ini bukan orang yang bersih juga. Mereka juga korup. Jadi rejim korup memakai korupsi untuk melawan sesama koruptor.

 

Dalam hal ini keadilan dimainkan sebagai praktek korupsi! Kalau kita tidak mampu mengendalikan ini maka kita tidak akan pernah keluar dari lingkaran korupsi ini.

 

"Hentikan memakai korupsi sebagai alat persekusi politik. Perlakukan korupsi sebagai praktek korup yang menyengsarakan seluruh bangsa ini — khususnya yang miskin dan lemah. Jika kita konsekuen dengan mendudukkan korupsi sebagai penyakit masyarakat maka tatanan politik di negeri ini akan terjungkir balik," tutup Made Supriatma. (fajar)


Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad bersama para aktivis mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (31/10) 

 

SANCAnews.id – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad bersama sejumlah aktivis mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (31/10). Kedatangan mereka untuk menuntut komitmen KPK dalam mengusut kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan keluarga Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

 

Samad mengungkapkan, sejumlah masyarakat sipil telah melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan keluarga Jokowi. Seperti laporan yang disampaikan Dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun terkait penggunaan jet pribadi oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.

 

"Itu sudah dilaporkan dua tahun yang lalu. Kemudian kasus yang dilaporkan Pak Petrus dari TPDI. Kemudian dari teman-teman lain, Pak Marwan. Kemudian kasus-kasus yang dilaporkan, yang tadi kita diskusikan adalah kasus-kasus yang diduga, diduga melibatkan keluarga Mulyono," kata Samad.

 

Samad mengaku, pihaknya menanyakan langsung kepada Pimpinan KPK perihal tindaklanjut dari pelaporan tersebut.

 

"Kita mempertanyakan kepada pimpinan KPK sejauh mana kasus-kasus ini ditindaklanjuti. Karena kita melihat ada rentang waktu yang sudah cukup lama ya," tegas Samad.

 

Samad menyebut, penanganan itu sudah cukup lama. Bahkan, idealnya laporan itu telah pada tingkat penyelidikan.

 

"Sebagai mantan pimpinan KPK saya bisa menghitung bahwa ini sudah cukup lama, kelihatannya harusnya ya kalau ideal itu sudah bisa ditingkatkan ke penyelidikan," ucap Samad.

 

Dalam kesempatan yang sama, mantan Wakil Ketua KPK Saut Sitomorang menyatakan, dirinya mendukung penuh Presiden Prabowo Subianto dalam melakukan pemberantasan korupsi.

 

"Jadi kita excited, kita excited datang kemari selain memang tadi sudah disampaikan melaporkan hal tadi itu. Kedua, kita excited dengan presiden baru yang memberi harapan besar terhadap negeri ini," pungkas Saut.

 

Dalam kesempatan itu, Abraham Samad dan Saut juga tampat ditemani oleh sejumlah aktivis mereka di antaranya Said Didu, hingga Roy Suryo. (jawapos)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.