Tom Lembong saat ditahan Kejaksaan
SANCAnews.id – Penetapan Tom Lembong yang selama
ini dikenal sebagai sosok dekat Anies Baswedan sebagai tersangka mendapat
sorotan dari banyak pihak. Pasalnya, kasus yang membuatnya terjerat kasus hukum
tersebut berkaitan erat dengan kebijakan impor Presiden Jokowi di periode
pertama pemerintahannya. Hal ini pun dinilai sebagai persekusi politik.
Salah satu yang berpandangan demikian adalah peneliti ISEAS
sekaligus pengamat politik, Made Supriatma. Melalui tulisannya di akun Facebook
miliknya, Made Supriatma menyampaikan analisisnya terkait kasus tersebut.
Dia menulis dengan judul "Korupsi Sebagai Alat Persekusi
Politik:"
"Salah satu penasihat Anies Baswedan dalam Pilpres 2024
kemarin adalah Tom Lembong. Ia memberi masukan dalam bidang ekonomi. Tom
Lembong pernah menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri
Perdagangan di periode pertama pemerintahan Joko Widodo," ungkap Made
Supriatma, mengawali tulisannya dikutip Kamis (31/10/2024).
Tuduhan yang dikenakan kepada Tom Lembong, lanjutnya, sangat
serius. Tom dituduh memberikan ijin impor gula sebanyak 105 ribu ton yang
berpotensi merugikan negara 400 milyar. Jumlah yang fantastis.
Itu terjadi antara periode 2015-2016 saat Lembong menjabat
sebagai Menteri Perdagangan. Lembong dianggap menyalahi prosedur karena saat
itu yang boleh melakukan impor gula adalah BUMN. Sementara ia memberikan ijin
impor tersebut kepada perusahaan swasta.
Karena tuduhan ini, Tom Lembong langsung ditahan oleh
Kejagung. Dia diancam hukuman penjara seumur hidup.
"Baiklah. Kita biarkan hukum bekerja. Sekalipun
demikian, kita masih berhak bertanya: apakah ini proses yang fair, yang adil?
Mengapa kasus yang sudah terjadi pada 2015-16 itu baru diproses sekarang?
Apakah ini adalah proses pencarian keadilan atau sebuah persekusi
politik?," sambungnya.
"Saya tidak kenal Tom Lembong. Juga mungkin tidak
sepakat dengan pandangan-pandangan politiknya. Namun kasus yang menimpa Tom
Lembong ini untuk saya terlihat sangat ‘fishy’ atau berbau amis. Ada banyak hal
yang patut dipertanyakan dalam kasus ini," lanjut peneliti ISEAS ini.
Yang diadili adalah soal kebijakan. Seorang Menteri
Perdagangan mengambil kebijakan. Apakah itu tidak diketahui oleh bos-nya, yaitu
presiden yang berkuasa saat itu? Kalau pun presiden tidak terlibat, apakah dia
mengambil tindakan? Setelah tidak menjadi menteri Tom Lembong diangkat menjadi
Ketua BKPM.
Jika yang diadili adalah kebijakan, atau prosedur pengambilan
keputusan dalam kebijakan itu, maka yang bertanggung jawab untuk itu adalah
pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi.
Mengapa tidak minta tanggung jawab kepada Presiden Jokowi
sendiri? Kalau Jokowi tidak mengetahui soal kebijakan impor gula ini, dan
memang ada indikasi korupsi, mengapa dia tidak memerintahkan Kejaksaan Agungnya
untuk memeriksa Tom Lembong ketika itu?
Kalau ini adalah semata-mata soal kebijakan dan kesalahan ada
pada presiden maka presiden yang memikul tanggung jawab. Konsekuensinya adalah
presiden memiliki impunitas. Dia tidak bisa diadili hanya karena kebijakan yang
diambilnya.
"Kalau kita mengaitkan dengan aktivitas politik Tom
Lembong maka mau tidak mau kita patut curiga bahwa ini adalah sebuah persekusi
politik. Rejim Jokowi dan sekarang Prabowo yang berkuasa sekarang ini memang
berusaha untuk mengenyahkan kekuatan Anies Baswedan dan kelompoknya. Karena
kekuatan inilah yang mampu menjadi oposisi di Indonesia saat ini," tegas
Made.
Kalau yang terakhir ini benar maka kita pantas kuatir. Ini adalah
political persecution dalam pengertian yang sangat telanjang. Dan kita tidak
menyaksikan ini untuk pertama kalinya. Banyak sekali orang-orang dengan
kekuatan politik yang berpotensi melawan pemerintahan Jokowi (dan sekarang
Prabowo) yang dipersekusi dengan kasus-kasus korupsi.
Sekalipun bukan berarti orang-orang yang dituduh korupsi ini
bukan orang yang bersih juga. Mereka juga korup. Jadi rejim korup memakai
korupsi untuk melawan sesama koruptor.
Dalam hal ini keadilan dimainkan sebagai praktek korupsi!
Kalau kita tidak mampu mengendalikan ini maka kita tidak akan pernah keluar
dari lingkaran korupsi ini.
"Hentikan memakai korupsi sebagai alat persekusi
politik. Perlakukan korupsi sebagai praktek korup yang menyengsarakan seluruh
bangsa ini — khususnya yang miskin dan lemah. Jika kita konsekuen dengan
mendudukkan korupsi sebagai penyakit masyarakat maka tatanan politik di negeri
ini akan terjungkir balik," tutup Made Supriatma. (fajar)