Latest Post


 

SANCAnews.id – Tol Semarang-Demak di Jawa Tengah menghadapi kendala pembebasan lahan soal fenomena tanah warga yang tenggelam bak `atlantis`. Kondisi ini mempersulit proses pembebasan lahan.

 

Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Hubungan Antar Lembaga, Asep Arofah Permana, menyampaikan bahwa untuk saat ini pembangunan seksi 2 yang sedang berlangsung tidak menghadapi kendala berarti, namun untuk seksi 1 terdapat kendala lahan.

 

Ia mengaku pihaknya mengalami sedikit kendala karena terdapat satu lokasi yang disebut sebagai `tanah musnah` yakni dulunya daratan sekarang sudah tidak terlihat karena terendam air laut.

 

"Kami mohon bantuannya untuk penyelesaian pembayaran seperti apa. Karena kami sebagai pelaksana pembangunan ingin memastikan bahwa tanah itu memang bisa digunakan tanpa merugikan pihak tertentu," jelas Asep dikutip dari situs resmi Bina Marga, Sabtu (29/1/2022).

 

Sementara itu, Sekretaris BPJT, Triono Junoasmono mengatakan jalan Tol Semarang-Demak dibangun untuk menjadi ruas utama di sisi utara. Sehingga nantinya dari Semarang menuju Surabaya tidak harus melalui sisi tengah (Solo).

 

"Pembangunan Tol Semarang-Demak memiliki dua tujuan, yakni untuk melengkapi jaringan jalan tol di sisi utara dan Jalan tol ini diharapkan mengurangi dampak dari banjir yang sering terjadi di Kota Semarang. Banjir terjadi karena penurunan permukaan tanah dan peninggian dari muka air laut," tuturnya.

 

Senada dengan Asep, Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Jawa Tengah - D.I Yogyakarta, Wida Nurfaida, mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi dalam membangun seksi 1 Tol Semarang - Demak disebabkan karena adanya tanah musnah sehingga pemerintah kesulitan untuk mengukur tanah dan menghitung ganti rugi di lokasi tertentu karena sudah terendam oleh air. Namun demikian, saat ini para pihak yang berwenang sedang mencari jalan keluarnya.

 

Ia menambahkan, Seksi 1 Kaligawe - Sayung terdiri dari 3 paket, yakni 1a, 1b dan 1c. Dalam paket ini dibangun kolam retensi untuk mengurangi dampak banjir rob.

 

"Banjir rob terjadi setiap tahunnya di Kota Semarang sehingga kami membangun kolam retensi dan juga beberapa rumah pompa. Harapannya, setelah terbangun rumah pompa bisa mengurangi banjir yang kerap kali terjadi," pungkas Wida. (lawjustice)



 

SANCAnews.id – Masih banyak persoalan yang menyertai rencana pemindahan Ibukota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Terkini, lahan yang akan menjadi ibukota negara baru itu ternyata diklaim sebagai milik ahli waris Kesultanan Kutai.

 

Terkait masalah itu, Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, meminta pemerintah menyelesaikan masalah kepemilikan lahan ini terlebih dahulu sebelum benar-benar memindahkan ibukota ke Kalimantan Timur.

 

“Klaim atas lahan oleh ahli waris Kesultanan Kutai semakin menguatkan dugaan bahwa rencana pemindahan ibukota negara itu memang sangat tergesa-gesa," kata Lieus kepada wartawan, Sabtu (29/1).

 

"Meski pemerintah menyatakan lahan untuk ibukota baru itu murni milik negara, faktanya Kesultanan Kutai bahkan mengklaim sebagian besar lahan untuk IKN adalah milik mereka dengan menunjukkan bukti-buktinya,” sambungnya.

 

Menurutnya, jika klaim ahli waris Kesultanan Kutai itu benar, bahwa sebagian besar lahan yang terletak di sebagian Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utar dan sebagiannya lagi di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara adalah milik mereka, itu berarti pemerintah sangat tidak menghormati hak-hak para Sultan yang dulu sudah banyak berkorban untuk berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

“Saya sependapat dengan Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti yang menyebut para Raja dan Sultan sudah sangat banyak berkorban untuk tegak berdirinya NKRI. Seharusnya pemerintah Indonesia hari ini menghargai jasa-jasa mereka dan menghormati hak-hak ahli waris mereka,” tuturnya.

 

Namun, lanjutnya, protes ahli waris Kesultanan Kutai atas lahan untuk IKN itu menunjukkan pemerintah saat ini sangat tidak menghargai dan tidak menghormati hak-hak keturunan Kesultanan Kutai.

 

“Padahal, sekali lagi, jasa para Sultan itu di masa kemerdekaan sangat besar untuk negara ini,” pungkasnya. (rmol)



 

OLEH: DJONO W OESMAN

LAGI dan lagi, pejabat tinggi negara dijerat KPK. Kini, Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto. Diduga KPK, ia minta sogok tiga persen dari pinjaman dana PEN Rp350 miliar. Yakni Rp 10,5 miliar.

 

PEN kependekan dari Pemulihan Ekonomi Nasional. Bantuan pemerintah kepada rakyat, terkait pandemi Corona.

 

PEN serangkaian dengan Komite Penanganan Covid-19. Disingkat KCP PEN. Yang diketuai Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

 

KCP PEN dibentuk Presiden RI Jokowi, Juli 2020, dalam rangka keseimbangan antara kebijakan kesehatan dan ekonomi. Itu tertuang di Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.

 

Deputi Penindakan KPK, Karyoto dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis (27/1/22) mengatakan:

 

"Tersangka MAN (Mochamad Ardian Noervianto) diduga meminta pemberian kompensasi atas peran yang ia lakukan. Meminta uang tiga persen secara bertahap dari nilai pengajuan pinjaman Rp 350 miliar."

 

Karyoto: "Diduga, sudah diterima tersangka MAN, Rp 2 miliar."

 

Konstruksi kasus. KPK sudah menetapkan tiga tersangka. Semuanya pejabat pemerintah:

 

1) Andi Merya Nur (AMN) Bupati Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara, Periode 2021-2026

 

2) M Ardian Noervianto (MAN) Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Periode Juli 2020-November 2021

 

3) Laode M Syukur Akbar (LMSA) Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

 

Kronologi disampaikan Deputi Penindakan KPK, Karyoto, begini:

 

Awalnya, Andi Merya Nur dikenalkan ke M. Ardian Noervianto oleh Laode M Syukur. Di situ Andi Merya Nur meminta bantuan Ardian, terkait permohonan pinjaman dana PEN sebesar Rp 350 miliar. Karena, alur pinjaman dana PEN itu hanya cair oleh persetujuan M. Ardian Noervianto.

 

Karyoto: "Sekitar Mei 2021, tersangka LMSA mempertemukan tersangka AMN dengan tersangka MAN. Di kantor Kemendagri, Jakarta. Di situ tersangka AMN mengajukan permohonan pinjaman dana PEN Rp 350 miliar, dan meminta tersangka MAN mengawal prosesnya."

 

Ardian menyatakan: OK. Menurut Karyoto, Ardian meminta imbalan tiga persen dari nilai pengajuan Rp 350 miliar. Atau sekitar Rp 10,5 miliar.

 

Karyoto: "Tersangka AMN memenuhi permintaan tersangka MAN, lalu mengirimkan uang sebagai tahapan awal Rp 2 miliar ke rekening bank milik tersangka LMSA."

 

Dilanjut: "Dari uang sogok Rp 2 miliar tersebut, diduga dilakukan pembagian di mana tersangka MAN menerima dalam bentuk mata uang dolar Singapura sebesar SGD 131.000 setara dengan Rp 1,5 miliar. Yang diberikan langsung di rumah kediaman pribadinya di Jakarta. Dan tersangka LMSA menerima sebesar Rp 500 juta."

 

Karyoto menyebut, kemudian Ardian memproses permohonan peminjaman dana PEN itu. Ardian membubuhkan paraf pada draf final surat Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Keuangan. Beres.

 

Lagi dan lagi. Pejabat negara korup. KPK, bagai jaring yang kekecilan, menjaring koruptor di samudera koruptor Indonesia yang luas.

 

Ketua KPK, Firli Bahuri di depan forum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pimpinan Dr Teguh Santosa, di Bandung, Selasa (25/1/22) mengakui, KPK tidak bisa mengatasi korupsi sendirian. Harus orkestra, melibatkan semua pihak.

 

Di situ, Firli mengutip Gone Theory karya Jack Bologne. Yang menyebut ada empat dasar terjadinya korupsi, begini:

 

1) Greed (keserakahan). Keserakahan pelaku korupsi, yang pada dasarnya ada pada semua manusia.

 

2) Opportunity (kesempatan). Sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Terkait kondisi organisasi, instansi, lembaga, yang membuka kesempatan bagi pelaku korupsi.

 

3) Need (kebutuhan). Sikap mental yang merasa tidak pernah cukup. Bersikap konsumerisme. Sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai.

 

4) Exposure (hukuman koruptor yang ringan). Tidak menimbulkan efek jera terhadap calon koruptor. Sehingga, ada koruptor tertangkap tangan, pun masih juga banyak yang korupsi.

 

Itulah GONE Theory (Greed, Opportunity, Need, Expose).

 

Di nomor empat, jadi tekanan. Hukuman terhadap koruptor selama ini dinlai terlalu ringan. Sehingga tidak menimbulkan efek jera, bagi calon koruptor.

 

Di kasus tersangka Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, M. Ardian Noervianto, bisa dikenakan hukuman mati. KCP PEN terkait bencana nasional. Yang, terdakwa korupsinya bisa dihukum mati.

 

Soal ini ada rujukannya. Terdakwa korupsi ASABRI, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Desember 2021.

 

Hukuman mati bagi koruptor didukung Presiden RI, Jokowi. Yang pernah menyatakan, merevisi UU Tipikor supaya koruptor bisa dijatuhi hukuman mati.

 

Hukuman mati buat koruptor sudah diatur pada pasal 2 ayat 2 UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Ayat (2) menyatakan, demikian:

 

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

 

Pasal ini menyebutkan “keadaan tertentu”, keadaan yang dimaksud adalah ketika bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana hukuman mati.

 

Hal ini selaras dengan korupsi dilaksanakan ketika keadaan pandemi. KCP PEN terkait pandemi Covid-19. Bencana ini ditetapkan sebagai derajat paling tinggi. Sedangkan, dana PEN dalam kasus ini adalah penggelontoran uang negara, dalam rangka pandemi.

 

dr Achmad Yurianto, Jubir Pemerintah untuk Covid-19 yang dikutip dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, Rabu, 19 Januari 2021.

 

“Tidak ada derajat paling tinggi dari ini (status bencana nasional). Kalau bicara K/L (Kementerian/Lembaga), ini dibawahnya,”

 

Menurut JPU, Heru Hidayat terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU 31/1999 yang diubah menjadi UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Serta Pasal 55 ayat (1) pertama KUHP dan kedua primair Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

Sehingga JPU menuntut terdakwa dengan pidana mati.

 

Kenyataannya, Heru Hidayat divonis hakim, hukuman penjara seumur hidup.

 

Tak kurang, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk mengajukan banding atas vonis itu.

 

Jaksa Agung Burhanuddin, kepada pers, Rabu (19/1/22) mengatakan: “Saya telah memerintahkan kepada Jampidsus tidak ada kata lain selain banding."

 

Begitulah. Belum pernah ada koruptor Indonesia yang dihukum mati. Sesuai dikatakan Ketua KPK, Firli Bahuri, bahwa kelemahan pemberantasan korupsi adalah Exposure (teori nomor empat dari GONE Theory karya Jack Bologne)

 

Bagaimana dengan kasus korupsi dengan tersangka Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto? Masih dalam proses.

 

Tapi, sampai Kamis (27/1/22) tersangka M. Ardian Noervianto belum ditahan KPK. Karena tersangka beralasan: Sakit. *



 

SANCAnews.id – Aparat penegak hukum harusnya evaluasi dan melakukan tindakan nyata terkait klaim maraknya paham radikalisme dan terorisme. Sebab hal ini patut diduga muncul karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahdan aparat hukum.

 

Hal tersebut ditekankan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas terkait pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar yang menyebut dunia maya sudah dikerubungi paham radikalisme.

 

Terlebih, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurrachman juga menyebutkan adanya paham radikalisme kanan yang menyusup ke masyarakat.

 

Anwar Abbas memberi catatan, pemerintah, DPR RI, dan yudikatif tidak konsisten melaksanakan serta menegakkan nilai-nilai Pancasila.

 

Ada oknum-oknum pejabat negara dan pemerintah yang kerap menuding serta membidik tokoh-tokoh dari agama tertentu sebagai radikal. Namun tudingan tersebut tidak dilakukan kepada agama lain.

 

“Padahal mereka-mereka itu juga merupakan pentolan-pentolan utama dalam mendorong tindakan radikalisme dan terorisme, bahkan sparatisme. Tapi mereka-mereka yang telah berbuat onar tersebut seperti tidak dijamah dan terjamah,” katanya.

 

Kemudian dalam bidang hukum, lanjut Anwar, penegakan hukum tampaknya tajam kepada kelompok kecil dan tumpul terhadap kelompok tertentu.

 

Dalam bidang politik, Anwar melihat wakil-wakil di DPR tidak menempatkan diri sebagaimana mestinya menjadi seorang wakil rakyat.

 

"Pada kenyataannya mereka dipilih rakyat, tapi saat terpilih tidak lagi bekerja bersama rakyat tapi untuk kepentingan partainya yang sudah terkooptasi dan dikendalikan oleh para pemilik kapital," lanjutnya.

 

Di bidang ekonomi, para pemimpin Indonesia lebih memperhatikan kepentingan pemilik kapital daripada kepentingan rakyat. Padahal konstitusi di Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

"Memang pemerintah dan DPR sudah memakmurkan rakyat, tapi rakyat yang mana? Yaitu mereka-mereka yang punya duit atau yang disebut para pemilik kapital dan atau para oligarki. Sementara fakir miskin dan anak terlantar nyaris tidak terurus dengan baik, masih jauh panggang dari api,” tandasnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Perluasan lahan ibukota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur belakangan diketahui memakan atau masuk ke wilayah konsensi tambang dikritik.

 

Apalagi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa baru tahu setelah mengonfirmasi langsung ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil.

 

Pakar kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah menilai bahwa kritik dari ketidaktahuan ini bukan berada pada persoalan koordinasi antarkementerian/lembaga. Akan tetapi, pada tata kelola ATR/BPN yang tak terbuka alias transparan.

 

"Tapi karena ada unsur kesengajaan untuk menutupi ini semua, jadi pejabat-pejabat yang sekarang ini sengaja membuat persoalan IKN ini tidak berjalan mulus nantinya," ujar Trubus kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (28/1).

 

Menurut Trubus, seharusnya lokasi yang sudah mau ditetapkan menjadi ibukota baru sudah harus diperhitungkan luasannya mulai dari titik terdepan sampai ke titik terluar.

 

Artinya, ketika landscape atau bentang lahan itu meyentuh milik orang lain, seharusnya sudah ada kejadian tentang bagaimana solusinya dan tidak seperti ini.

 

"Saya yakin nanti akan muncul masalah baru, akan menjadi konflik yang berkepanjangan terkait dnegan masalah tanah karena tanah itu ada yang mengklaim milik oknum tertentu dan juga ada juga milik masyarakat adat," demikian Trubus.(*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.