Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah
OLEH: AHMADIE THAHA
DI DUNIA yang makin digital saat ini, tak ada yang lebih
efektif dari kekuatan media sosial, termasuk dalam menegakkan keadilan. Kasus
Miftah Maulana Habiburrahman dan Ivan Sugianto menjadi contoh baru tentang
betapa dahsyat perlawanan medsos, membuat mereka "takluk."
Miftah, hanya karena berucap satu kata "goblok"
kepada pedagang keliling di acara pengajian dan shalawatan, diguyur hujan
hujatan dari seantero negeri. Presiden Prabowo Subianto dan PM Malaysia bahkan
ikut berkomentar. Miftah akhirnya mundur dari jabatannya di Istana.
Hal serupa terjadi pada Ivan Sugianto. Kisah pengusaha
hiburan yang memaksa seorang siswa bersujud dan menggonggong, ini menjadi bukti
nyata betapa besarnya pengaruh media sosial dalam menggiring opini publik dan
mendorong aparat hukum bertindak cepat.
Ironis memang, tetapi faktual: tanpa video viral, kasus
Miftah dan Ivan ini mungkin hanya jadi bisik-bisik tetangga. Atau, kasus
penggoblokan terhadap pedagang keliling dan keributan kecil di depan sekolah,
yang menyangkut dugaan perundungan, itu cuma akan menjadi liputan kecil di
media lokal mengingat magnitude-nya yang kurang untuk masuk kategori berita
layak.
Kejadian-kejadian itu untungnya terekam kamera, dan menyebar
di berbagai platform media sosial seperti api di padang kering. Publik marah,
netizen mengecam, tagar menggema.
Dalam sehari, Miftah harus mundur. Dalam hitungan jam, polisi
bertindak menangkap Ivan di bandara, menjebloskannya ke penjara, dan bersama
itu publik memviralkan borok-borok lainnya dari mereka.
Hebatnya, reaksi ini muncul bukan karena berita di media arus
utama, tetapi karena tekanan langsung dari publik yang terpicu oleh video
viral. Ini memperlihatkan fenomena "tanpa viral, tiada keadilan" yang
semakin mengakar. Maka, bagi anda, jangan ragu memanfaatkan kamera handphone
anda.
Kekuatan media sosial tak hanya memaksa tindakan cepat aparat
hukum, tetapi juga membuka borok-borok lain. Setelah kasus ini mencuat,
terungkap sikap kasar Miftah lainnya, serta dugaan Ivan terlibat tindak pidana
pencucian uang (TPPU) dan memiliki belasan rekening yang diblokir PPATK.
Mungkin juga, banyak lagi kasus lainnya.
Fakta ini memperlihatkan bahwa viralitas bukan sekadar alat
untuk mengungkap kasus, tetapi juga medium untuk memperbesar eksposur masalah
lain yang selama ini mungkin terkubur. Juga, mengungkap realitas watak otentik
seseorang berdasarkan rekaman seketika, yang mungkin selama ini telah banyak
membawa korban yang bungkam.
Dalam dunia nyata, dampak media sosial begitu nyata hingga
sulit diabaikan. Miftah dan Ivan tak hanya dicaci-maki, tetapi juga mendapat
hukuman sosial. Ketika masuk ke ruang tahanan, Ivan disambut dengan sorakan
"Sujud! Gonggong!" oleh para tahanan lainnya. Inilah bentuk ironi
keadilan sosial —sebuah "karma instan" yang muncul akibat penghakiman
publik di dunia maya.
Namun, di sisi lain, ada pertanyaan yang perlu kita
renungkan: apakah keadilan kini hanya bisa ditegakkan jika ada viralitas?
Apakah aparat hukum membutuhkan dorongan dari publik untuk bertindak?
Dalam kasus ini, tindakan polisi baru terasa setelah muncul
gelombang kemarahan di media sosial. Padahal, bukti dan saksi kasus tersebut
sebenarnya sudah cukup kuat sejak awal.
Kasus ini menyoroti ketergantungan penegakan hukum pada media
sosial. Di satu sisi, media sosial menjadi alat penting untuk membongkar kasus
yang mungkin tidak tersentuh hukum.
Di sisi lain, ini juga memperlihatkan kelemahan sistem hukum
kita, yang cenderung reaktif terhadap opini publik ketimbang bertindak secara
proaktif berdasarkan fakta dan data.
Media sosial memang kuat, tetapi bukan tanpa risiko. Viralnya
kasus seringkali membawa dampak negatif, seperti pengadilan massa yang bisa
saja melampaui batas. Seseorang bisa dihukum secara sosial bahkan sebelum
mendapatkan proses hukum yang adil. Namun, jika sistem hukum berjalan efektif,
keadilan seharusnya tidak memerlukan tagar atau video viral untuk dijalankan.
Kasus Miftah dan Ivan menjadi pengingat pahit tentang betapa
pentingnya media sosial dalam menyoroti keadilan dan rasa keadilan. Namun, ini
juga menegaskan perlunya sistem hukum yang lebih kuat dan independen, yang
tidak hanya bertindak ketika ada tekanan publik.
Media sosial mungkin pedang bermata dua: ia bisa menjadi
pendorong keadilan, tetapi juga bisa menjadi alat penghakiman tanpa batas.
Kini, tantangannya, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan ini tanpa kehilangan
esensi keadilan dan rasa keadilan yang sejati —adil bukan karena viral, tapi
karena sistem hukum yang benar-benar bekerja. (*)
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok
Pesantren Tadabbur Al-Qur'an