Latest Post

Eks Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo

 

JAKARTA – Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan harapan Jokowi untuk mempertahankan dinastinya hanya ada di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Utara (Sumut). Di tempat lain, harapan itu akan kandas.

 

Di Sumatera Utara, Jokowi mendukung menantunya, Bobby Nasution. Bobby maju melawan Edy Rahmayadi yang didukung oleh PDIP.

 

“Dia mesti pastikan ada satu yang dia pegang, yaitu Medan. Karena Medan satu-satunya tempat dia bertahan secara politik dinasti kan di situ ada pak Bobby Nasution yang adalah menantu dia," kata Rocky dikutip dari YouTube Rocky Gerung Official, Selasa (26/11/2024).

 

Hal tersebut, kata dia karena Presiden ke-7 itu tidak bisa memastikan kemenangannya di tempat lain. Seperti Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

 

Jokowi diketahui mendukung calon di tiga daerah itu. Bahkan aktif ikut berkampanye.

 

Ia mendukung Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada Jakarta dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Pilkada Jawa Tengah, dan Khafifah di Jawa Timur.

 

“Jokowi akhirnya ingin pastikan di mana yang harus dia menangkan utama, tentu mungkin kalau dia enggak dapat di Jakarta atau gagal di Jawa Tengah atau meleset di Jawa Timur,” ujarnya.

 

Menurut Rocky, melalui kemenangan Bobby di Sumut, memungkinkan Jokowi percaya dinasti politikya masih bekerja.

 

"Jadi kalau Jokowi mengancam supaya (Sekjen PDIP) Hasto itu berhenti untuk bertanding di Sumatera Utara, itu artinya Pak Jokowi ini sudah kalang kabut atau sudah frustrasi," terangnya.

 

“Tapi jika Bobby kalah di Sumut, maka dinasti Jokowi akan keok. Kalau kita baca secara psikologi, memang kalau Bobby itu kalah di dalam pertandingan di Sumatera Utara, itu penanda pertama dan terakhir bahwa dinasti Jokowi keok," pungkas Rocky. (fajar)


Eks Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo/repro 


JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini menggelar sidang mediasi perdana gugatan perdata senilai Rp5.246,75 triliun yang diajukan Habib Rizieq dkk terhadap Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo.

 

Dimediasi oleh mediator non-hakim, Jaury Hukom, penggugat dan tergugat datang dengan diwakili oleh pengacara masing-masing. Mediasi berlangsung secara tertutup dan belum menghasilkan kesepakatan bersama.

 

"Para pihak hadir diwakili oleh kuasa hukum masing-masing, selanjutnya ada mediasi kedua pada tanggal 3 Desember," ujar Jaury Hukom di PN Jakarta Pusat.

 

Nantinya, sidang mediasi akan dilakukan dalam rentang satu bulan. Pada sidang selanjutnya, Habib Rizieq dkk beserta Jokowi dijadwalkan akan hadir.

 

"Kita tunggu saja dan lihat. Kalaupun mereka tidak hadir, tidak jadi masalah karena ada kuasa istimewa. Namun principal menurut Perma Mahkamah Agung wajib hadir," jelasnya.

 

Gugatan perdata sebelumnya dilayangkan Habib Rizieq Shihab bersama enam orang lainnya. Dalam salah satu petitum gugatannya, pihak penggugat menuntut Jokowi membayar ganti rugi sebesar Rp 5.246,75 triliun yang dihitung berdasarkan utang luar negeri Indonesia selama Jokowi menjabat sebagai Presiden Indonesia. (rmol)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

JOKOWI, dan kini, Gibran adalah pemimpin yang sarat dengan skandal. Skandal adalah insiden yang dipublikasikan dan melibatkan dugaan pelanggaran, aib atau pencabulan moral. Skandal bisa didasarkan pada kenyataan, produk dugaan salah, atau campuran keduanya (KBBI). Jika skandal terjadi pada warga biasa mungkin masih wajar, tetapi jika dilakukan oleh seorang pemimpin maka hal itu tidak boleh dibiarkan bahkan harus dikenakan sanksi.

 

Konstitusi negara Republik Indonesia UUD 1945 memberi ruang untuk memberhentikan seorang Presiden atau Wakil Presiden yang terlibat skandal dengan sebutan "perbuatan tercela". Demikian juga Ketetapan MPR No VI tahun 2000 mengatur hal itu sebagai pelanggaran "etika kehidupan berbangsa" serta ideologi Pancasila telah menarasikan dengan "kemanusiaan yang adil dan beradab".

 

Di antara skandal Jokowi yang terus berkembang dari awal hingga akhir masa jabatan adalah ijazah palsu. Bagaimana bangsa besar dan konon beradab dapat mentolerir dan membiarkan Presidennya berijazah palsu ? Tanpa merasa salah ia telah menjalankan jabatannya hingga dua periode.

 

Rakyat mengusik status ijazah ini. Diawali tuduhan Bambang Tri, namun alih-alih Jokowi membantah kebenaran tuduhan itu justru mengkriminalisasi Bambang Tri dan Gus Nur. Keduanya dipenjara akibat "ujaran  kebencian" bukan akibat Jokowi telah mampu membuktikan keaslian ijazah Sekolah Menengah atau Perguruan Tingginya.

 

Saat digugat perdata ulang melalui PN Jakarta Pusat Jokowi pun berbelit-belit lewat debat  status sebagai Presiden atau pribadi untuk membuktikan kepemilikan dan keaslian ijazah Perguruan Tinggi. Hingga tahap ini baik saat mediasi maupun proses perkara, ijazah asli yang ditunggu rakyat untuk ditunjukkan itu tidak muncul juga. Jokowi tidak memiliki itikad baik dan hal ini menimbulkan konklusi bahwa Jokowi memang tidak memiliki ijazah atau ijazahnya tidak asli alias palsu.

 

Pemalsuan dokumen baik pemalsu, penyuruh, pembujuk atau penyerta dari pembuatan suatu dokumen terancam pidana penjara. Begitu juga dengan yang membantu dan pengguna. Pasal 263 KUHP mengancam maksimal 6 tahun sedangkan Pasal 266 KUHP 7 tahun penjara.

 

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga berskandal baik soal ijazah MDIS Singapura dan ijazah UTS Insearch Australia dengan Keterangan Dirjen PAUD tentang kesetaraan, juga skandal Fufufafa yang menghebohkan. Cermin kerendahan moral dan ketidakpatutan seorang Wakil Presiden.

 

Sebagaimana ayahnya Gibran juga perlu diusut dan disidik status ijazah baik yang digunakan untuk pemenuhan persyaratan Cawalkot maupun Cawapres nya. Skandal ijazah ini menjadi ironi karena bangsa Indonesia sedang berjuang untuk memiliki pejabat atau pemimpin yang cerdas, jujur, berakhlak serta kompeten.

 

Skandal lain Gibran yang meruntuhkan kecerdasan dan moralitas dirinya adalah Fufufafa. Keyakinan publik bahwa pemilik akun itu adalah Gibran sulit untuk dibantah. Ada penodaan agama, ujaran kebencian dan pornografi pada konten Fufufafa tersebut. Seluruh perilaku kriminal itu diancam dengan hukuman penjara.

 

Atas perbuatan penodaan agama melanggar Pasal 156a KUHP Gibran terancam penjara maksimal 5 tahun, atas ujaran kebencian Pasal 27 dan 28 UU ITE ancaman 6 tahun dan atas pidana pornografi UU No 44 tahun 2008 Gibran terancam maksimal 12 tahun. Dengan ancaman tersebut Gibran Rakabuming Raka bisa ditangkap dan ditahan sambil menjalani proses peradilan.

 

Skandal ijazah palsu Jokowi dan Gibran harus dibongkar tuntas. Demikian juga dengan politik dinasti yang dijalankannya. Hal ini menjadi konsekuensi dari pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Jokowi sebagai mantan Presiden dan Gibran sebagai Wakil Presiden berkedudukan sama di depan hukum.

 

Jika hukum obyektif diberlakukan, maka bukan mimpi bahwa bapak dan anak itu Jokowi dan Gibran akan berlama-lama berada dalam sel penjara sambil merenung, menyesal, dan bertobat.

Itupun jika keduanya memang beriman atau beragama. (*)

 

Bandung, 26 November 2024


Pakar-politik-Ikrar-Nusa-Bhakti-kecewa-dengan-Jokowi-diakhir-periodenya 

 

JAKARTA – Usai lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) terus menjadi sorotan berbagai pihak. Sayangnya, sorotan publik lebih banyak pada kritikan ketimbang pujian.

 

Pakar politik, Ikrar Nusa Bhakti mengaku tak habis pikir dengan langkah politik Presiden ketujuh RI, Joko Widodo (Jokowi) yang memilih menempuh jalan berseberangan dengan PDI Perjuangan.

 

Hal itu disampaikannya dalam diskusi yang digelar Imparsial bertajuk Dinamika Politik dan Keamanan Jelang Pilkada: Bayangan Jokowi di Rezim Prabowo di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (25/11).

 

"Enggak pernah saya melihat seseorang yang dibesarkan dalam sebuah parpol kemudian begitu berpisah dengan parpol itu, kemudian langsung mengambil garis yang bukan hanya berseberangan, tetapi bermusuhan," kata Ikrar, Senin.

 

Dia menyebutkan Jokowi sejak menjadi kandidat di Solo, Jakarta, hingga Presiden RI selama dua periode selalu diusung PDIP.

 

Namun, kata Ikrar, Jokowi malah mendukung kandidat berbeda dengan PDIP pas pilkada serentak 2024 atau setelah tidak menjabat Presiden RI.

 

Dia melanjutkan upaya mendukung kandidat berbeda dengan PDIP tampak menjadi langkah Jokowi menghancurkan partai yang membawa pria kelahiran Solo itu menjadi Presiden ketujuh RI itu.

 

"Seperti ada yang bilang, pembunuh yang tidak berperasaan," ujar ikrar.

 

Ikrar merasa heran dengan upaya Jokowi menghancurkan PDIP, padahal parpol berkelir merah bersama-sama memenangkan kontestasi politik.

 

Seharusnya, kata dia, Jokowi punya kebersamaan untuk memenangkan kandidat yang diusung PDIP pada pilkada serentak 2024.

 

"Nah, Jokowi tidak. Dia ingin melibas daerah-daerah yang menjadi basis PDIP. Contohnya Jakarta, Jawa Tengah, dan Bali," ungkap Ikrar.

 

Ikrar juga mengatakan Jokowi saat ini berupaya mengokohkan kekuasaan dengan berbagai cara, bahkan ikut menyeret Presiden RI Prabowo Subianto.

 

Semisal, kata dia, Jokowi di rumahnya meminta Prabowo untuk menyatakan dukungan bagi kandidat Ahmad Luthfi dan Taj Yasin.

 

"Artinya itu berarti Jokowi meminta Prabowo membuat video (dukungan kepada Luthfi-Gus Yasin), walaupun dinyatakan yang minta itu Cagub dan Cawagub Jateng," kata dia. (fajar)


Menko Polhukam Budi Gunawan bersama Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin saat konferensi press di Jakarta (Dery Ridwansah/ JawaPos.com) 

 

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan mengingatkan seluruh ASN, TNI, Polri, dan pejabat daerah hingga tingkat desa untuk menjaga netralitas. Jika melanggar komitmen tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Pernyataan tersebut disampaikan Budi Gunawan kepada awak media di kantornya, Senin (25/11). Menurut pejabat yang akrab disapa BG itu, hal tersebut telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XII/2024.

 

"Kualitas pilkada tentunya juga sangat ditentukan oleh netralitas seluruh penyelenggara. Termasuk di dalamnya adalah aparat keamanan, ASN, pejabat-pejabat daerah sampai tingkat desa," ujar dia.

 

BG menegaskan bahwa, aparat tidak lepas dari aturan tersebut. "Terlebih hal itu telah dikuatkan oleh putusan MK Nomor 136/PUU/XII /2024 tentang sanksi pidana bagi aparat yang tidak netral," kata dia menegaskan.

 

Karena itu, mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut mengingatkan kepada semua pihak agar menjaga netralitas mereka. Tidak hanya itu, BG mengingatkan agar semua pihak bersama-sama menjaga dan memastikan stabilitas keamanan dan politik. 

 

"Dengan menangani setiap potensi gangguan dan potensi ancaman yang dapat mengganggu pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024," imbuhnya.

 

"Pada kesempatan yang baik ini, sekali lagi kami mengajak dan mengimbau, mari kita sukseskan pelaksanaan pilkada serentak," pungkasnya. (jawapos)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.