Ipda Rudy Soik berbicara saat wawancara di Gedung Media
Tempo, Palmerah Barat, Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat, (25 Oktober 2024)
SANCAnews.id – Mantan anggota Kepolisian Resor
(Polres) Kupang, Ipda Rudy Soik menyatakan mafia penimbun bahan bakar minyak
(BBM) di Kupang, Nusa Tenggara Timur, bisa meraup untung Rp112 juta dalam
sekali transaksi.
Rudy mengatakan, para mafia biasanya mengambil solar dengan
truk tangki bermuatan 5 ton atau 5 ribu liter per transaksi. Dalam sehari,
mereka bisa menjual 10 ribu liter atau dua truk kepada pembeli.
"Jadi 5 ton itu mereka dapat untung 56 juta," ucap
Rudy kepada Tempo pada Jumat, 25 Oktober 2024.
Keuntungan itu, menurut Rudy, berasal dari selisih harga beli
dan harga jual. Para mafia membeli solar bersubsidi di Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Umum (SPBU) Pertamina dengan harga Rp 6.800 per liter dan menjualnya
dengan harga Rp 18.000 - Rp 20.000 per liter.
Rudy menyatakan, penimbun minyak ini mengambil jatah minyak
bersubsidi dengan menggunakan barcode atau kode batang resmi yang dikeluarkan
oleh Pertamina. Namun, barcode tersebut bukan atas nama mereka.
"Ada empat barcode yang kami sita," kata Rudy
kepada Tempo pada Jumat, 25 Oktober 2024.
Dari empat barcode itu, menurut Rudy, dua diantaranya
memperbolehkan si pemilik mengambil solar bersubsidi sebanyak 4 ribu liter per
hari. Sementara dua lainnya memiliki kuota 4 ribu liter solar bersubsidi dalam
30 hari atau sebulan.
Rudy menyatakan barcode yang mereka sita milik seorang
pengusaha perikanan asal Cilacap, Jawa Tengah. Kode batang itu seharusnya tak
boleh dipindahtangankan dan hanya boleh digunakan untuk kapal penangkap ikan
milik si pengusaha.
Ia menuturkan, para mafia itu menjual solar bersubsidi itu ke
sejumlah pelaku industri dan ke perbatasan. Dalam satu hari, menurut
penyelidikan dia, para pelaku bisa mengirim 10 ribu liter ke pembeli. Artinya,
keuntungan para pelaku bisa mencapai Rp 112 juta per hari.
Dugaan mafia atau penimbunan minyak ini Rudy ungkap setelah
mendapatkan informasi dari para nelayan adanya kelangkaan minyak. Namun,
katanya, penyelidikan ini harus berhenti usai dia mendapat sanks pemberhentian
tidak dengan hormat (PTDH) oleh Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) Polda NTT pada
11 Oktober lalu.
Rudy disidang karena melanggar kode etik saat memasang garis
polisi atau police line di tempat penampungan minyak milik dua anggota jaringan
penampungan solar bersubsidi ilegal berinisial AA dan AG.
Rudy menyatakan AA merupakan residivis kasus yang sama. AA,
kata Rudy, pernah dua kali tertangkap karena penimbunan dan penjualan BBM
bersubsidi ilegal.
AA juga pernah ditangkap pada tahun 2022 ketika dia membawa
BBM bersubsidi ilegal sebanyak 6 ton atau 6 ribu liter.
"Jadi, itu dia punya riwayat. Itu membawa dia masuk
penjara tahun 2022, dia keluar tahun 2023," ucapnya.
Setelah keluar penjara, menurut Rudy, AA kembali mengulangi
perbuatannya. Polresta Kupang pun sempat kembali menangkapnya.
"Dia pernah ditangkap terkait pengiriman minyak ke
Timor-Leste. Jadi, itu ditetapkan sebagai tersangka. Tahun 2023. Tapi di
peradilan Polresta Kupang kalah," ucap Rudy.
Rudy Soik pun mengaku bisa memastikan AA bukan nelayan
ataupun pemilik kapal yang berhak untuk memperoleh solar bersubsidi dalam
jumlah sebesar itu.
Dia pun mencurigai AA dan AG merupakan bagian dari jaringan
besar mafia bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Ini yang saya bilang mafia, yang polanya menggunakan
nama orang lain dengan kapasitas minyak yang besar. Karena si pengusaha asal
Cilacap ini punya 11 kapal," ucap Rudy. (tempo)