Jimly Asshiddiqie
SANCAnews.id – Pakar Hukum Tata Negara Jimly
Asshiddiqie berpendapat, hakim PTUN dapat ditahan jika membatalkan pencalonan
wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka karena bertentangan dengan
konstitusi.
Menanggapi hal tersebut, pengamat hukum dan politik Mujahid
212 Damai Hari Lubis mengatakan pendapat Prof. Jimly tersebut ambigu,
menyesatkan, dan penuh indikasi kepentingan pribadi.
“Dirinya lupa bahwa dia selaku majelis hakim MKMK yang
memutuskan, “hakim yang memiliki hubungan semenda terhadap kepentingan objek
sengketa, dilarang ikut mengadili”. Sehingga alhasil Anwar Usman, dia nyatakan
melanggar kode etik, bahkan Anwar Usman, dia pecat dari jabatan sebagai Ketua
MK, (Sekedar Hakim non palu),” kata Damai Lubis seperti dilansir Jakartasatu.com,
Kamis (10/10/2024)
Lalu kata Damai Lubis, Anwar Usman menggugat di PTUN ?
Kemudian Majelis PTUN mengabulkan sebagian. Pertanyaannya, kenapa Hakim PTUN
yang merubah putusan MKMK tidak dipenjara ?
“Bukankah sama dengan putusan MK dengan Putusan MKMK
merupakan final and binding,” tanya Damai Lubis.
Lalu kenapa hasil putusan MKMK yang hasil produk Jimmy
sendiri, yang nyata-nyata tidak menjadi sandaran atau acuan hukum kepada KPU RI
untuk menolak atau tidak menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai
calon wapres ? Lalu kenapa anggota KPU RI tidak ditahan atau dipenjarakan.
“Maka pendapat hukum Jimly ini adalah keliru sehingga
menyesatkan. Opini hukumnya dualisme, bertentangan dengan asas kepastian hukum
(legalitas),” tukas Damai Lubis.
“Jimly tidak fair bukan pure pendapat hukum, ada sesuatu
kepentingan,” tandas Damai Lubis.
Diketahui, Bisniscom,
“Jimly: Hakim PTUN Bisa Ditangkap Kalau Batalkan Pencalonan Gibran!”,
(10/10/2024)
Jimly menegaskan jadwal pelantikan Presiden dan Wakil
Presiden pada 20 Oktober mendatang bersifat final, sehingga tak ada lagi
lembaga atau pejabat yang bisa mengubah atau membatalkannya.
Jimly menambahkan, baik itu putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) maupun Mahkamah Agung (MA) pun tak memiliki kewenangan untuk
mengubah dan membatalkannya, termasuk untuk mempersoalkan keabsahan pasangan
yang akan dilantik.
Menurut dia, keputusan final dan mengikat yang mutlak sudah
berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) serta sudah diatur tegas dalam
Undang-Undang Dasar (UUD). Dengan demikian, lembaga seperti PTUN tidak
berwenang mengubahnya.
“Kalau terjadi, misalnya PTUN memutus dengan perintah membatalkan,
maka majelis hakimnya wajib ditangkap, diberhentikan, dan bahkan dipenjarakan
dengan hukuman sangat terberat, karena telah berkhianat pada negara dengan
melawan konstitusi negara,” tuturnya kepada Bisnis melalui pesan singkat, pada
Rabu (9/10/2024).
Pakar Hukum yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK
periode 2003-2008 ini turut mengingatkan bahwa putusan PTUN tingkat pertama,
belum bersifat final, masih harus ada upaya hukum tingkat banding dan kasasi.
Prosesnya pun, lanjut Jimly, akan panjang dan pastinya akan
melampaui hari pelantikan presiden dan wakil presiden pada Minggu, 20 Oktober
mendatang.
“Maka, demi menjaga ketenangan umum dan memastikan peralihan
pemerintahan yang damai dan konstitusional, janganlah putusan PTUN besok
dikaitkan dengan jadwal pelantikan tanggal 20 Oktober, yang [bisa] menimbulkan
kegaduhan yang tidak perlu,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan jikapun memang ada hal yang
ingin dipersoalkan berkenaan hal pribadi wakil presiden terpilih, hal itu bisa
diproses sesuai aturan hukum yang berlaku setelah pelantikan berlangsung.
“Namun prosesnya bukan lagi melalui proses hukum biasa,
melainkan melalui proses impeachment yang sudah diatur tegas tata caranya di
UUD 45,” pungkas Jimly.
Sebagai informasi, Pengadilan Tata Usaha Negara alias PTUN
Jakarta menerima gugatan PDI Perjuangan (PDIP) terkait pencalonan Gibran
Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Adapun, hasil gugatan tersebut akan
diputuskan PTUN pada Kamis (10/10/2024). (*)