Latest Post

Mahasiswa Unjuk Rasa Di Depan Gedung DPR MPR RI (dok) 


SANCAnews.id – Ribuan aktivis mahasiswa berencana menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPR untuk menuntut pertanggungjawaban Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang berakhirnya masa jabatannya pada 20 Oktober 2024.

 

Demonstrasi mahasiswa tersebut dilakukan sebagai aksi nyata pasca digelarnya Kongres Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (KMPI) 2024 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta Timur pada Senin, 7 Oktober 2024.

 

Dalam ajakannya, para mahasiswa mengajak seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat untuk turut ambil bagian dalam aksi yang akan terus digelar menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024 mendatang.

 

Menurut mereka, masih banyak dosa yang belum dipertanggungjawabkan oleh Presiden Jokowi selama 10 tahun  menjabat. Oleh karena itu, mahasiswa dan kelompok pemuda di seluruh Indonesia mengajak seluruh elemen untuk turun ke jalan.

 

“Bersamai aksi mahasiswa, ADILI JOKOWI atas dosa-dosanya selama 1 dekade menjabat sebagai Presiden, titik aksi di Gedung MPR/DPR RI, pukul 14.00 pada hari Selasa 8 Oktober 2024,” begitu pemberitahuan aksi yang diterima strategi.id.

 

Mahasiswa meminta kepada DPR RI untuk segera meminta tanggung jawab Jokowi atas dosa-dosanya selama memimpin.

 

Selain itu, mereka juga mendesak seluruh rektor perguruan tinggi, untuk meliburkan perkuliahan dan mengizinkan mahasiswanya untuk mengikuti aksi unjuk rasa ini.

 

Diberitakan sebelumnya, Kongres KMPI 2024 ini dilaksanakan untuk merumuskan langkah tanggungjawab kaum intelektual pada masa depan Indonesia.

 

Kegiatan ini diikuti lebih dari 300 perwakilan BEM dan non BEM seluruh Indonesia salah satunya haailnya akan mengkonsolidasikan kekuatan mahasiswa Indonesia untuk Tangkap dan Adili Jokowi. (*)


Habib Rizieq Shihab (HRS) /Ist 

 

SANCAnews.id – Staf Khusus Presiden Dini Purwono menanggapi gugatan perdata yang dilayangkan Rizieq Shihab terhadap Presiden Joko Widodo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu meminta ganti rugi sebesar Rp5.246 triliun yang akan disetorkan ke kas negara.

 

"Tiap warga negara memang berhak mengajukan upaya hukum, tetapi sebaiknya dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keseriusan," kata Dini dalam pernyataannya di Jakarta, Senin.

 

Ia menekankan pentingnya mendukung klaim hukum dengan bukti yang jelas, sesuai dengan prinsip dasar hukum.

 

Dini mengingatkan agar tidak ada yang menyalahgunakan hak hukum hanya untuk mencari perhatian atau memprovokasi. "Penggunaan upaya hukum yang disediakan konstitusi jangan disalahgunakan untuk kepentingan sensasi," tegasnya.

 

Mengenai gugatan yang dilayangkan kepada Presiden Jokowi, Dini menyatakan bahwa publik sebaiknya menilai sendiri kinerja Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya, yang pasti tak lepas dari kelebihan maupun kekurangan.

 

"Istana belum bisa memberi tanggapan lebih lanjut karena gugatan ini ditujukan ke pengadilan. Kita masih menunggu kejelasan apakah gugatan ini untuk Pak Jokowi sebagai Presiden atau sebagai pribadi," tambah Dini.

 

Sebelumnya, Rizieq Shihab bersama sejumlah pihak menggugat Presiden Jokowi dengan nomor perkara 611/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst. Dalam petitumnya, mereka meminta pengadilan menyatakan Jokowi telah melanggar hukum dan menuntut ganti rugi triliunan rupiah. (fajar)


Jokowi menyapa tamu kehormatan yang hadir dalam Peringatan HUT ke-79 TNI di Lapangan Silang Monas, Gambir, Jakarta Pusat pada Sabtu (5/10/2024). 


SANCAnews.id – Video Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) tak berjabat tangan dengan Jenderal (Pun) Try Sutrisno viral di media sosial. Momen itu terjadi saat Jokowi menyapa tamu kehormatan yang hadir dalam acara HUT TNI ke-79 di Lapangan Silang Monas, Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024).

 

Video tersebut diunggah oleh akun Twitter @BangPino__ pada Minggu (7/10/2024). Dalam video yang diunggah, Jokowi awalnya berjalan bersama Wakil Presiden KH Maruf Amin.

 

Secara berurutan, Jokowi kemudian berjabat tangan dengan Jusuf Kalla dan Boediono yang hadir di lokasi. Namun, saat berpapasan dengan Try Sutrisno yang masih duduk, Jokowi terlihat melewatinya.

 

Jokowi terlihat berjabat tangan dengan istri mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah. Presiden ketujuh itu tampak mengabaikan Try Sutrisno yang mengenakan seragam TNI lengkap.

 

Pasalnya, Jokowi tetap acuh meski Wakil Presiden ke-6 RI periode 1993–1998 itu sudah berdiri. Jokowi tak berjabat tangan dengan sang Jenderal dan meninggalkan tamu undangan. Mantan Wakil Presiden Soeharto itu akhirnya duduk dan menatap kepergian Jokowi.

"Momen Jokowi tak menyalami Mantan Wakil Presiden ke 6 Bpk Tri Sutrisno padahal pak Tri sudah berdiri tapi hanya dilewati saja...," tulis @BangPino__.

 

Kekecewaan tidak hanya dituliskan oleh Bang Pino, Jhon Sitorus lewat akun twitternya @JhonSitorus_18 pada Minggu (6/10/2024) juga menyesali hal tersebut.

 

"Ini serius Jokowi tak menyalami pak Try Sutrisno? Padahal, Pak Try adalah Wakil Presiden RI ke-6, beliau juga berpakaian lengkap dengan memakai jas militer berpangkat bintang 4 juga," tulis Jhon Sitorus.

 

Dalam video ditegaskannya Try Sutrisno sudah berdiri ketika hendak disalami oleh Jokowi. Namun, lantaran tidak disalami, Try SUtrisno duduk kembali.

 

"Pak Try Sutrisno bahkan sudah sempat berdiri lalu duduk lagi karena dilewati oleh Jokowi begitu saja," jelasnya.

 

Jhon Sitorus pun mengungkit soal dukungan Try Sutrisno kepada Jokowi pada Pilpres 2019 silam.

 

Try Sutrisno katanya mendukung Jokowi ketika berhadapan dengan Prabowo-Sandiaga Uno ketika itu.

 

"Sekedar info, pak Try Sutrisno juga mendukung Jokowi di Pilpres 2019 yang lalu," tulis Jhon Sitorus.

 

"Mungkin pak Jokowi khilaf, tapi saya paham apa yang dirasakan keluarga pak Try," ungkapnya. 

 

Postingan tersebut pun disambut ramai masyarakat, beragam tanggapan ramai dituliskan dalam kolom komentar postingannya.

 

Prabowo-Gibran Hadiri Peringatan HUT TNI

Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka turut menghadiri acara Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-79 di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024).

 

Dikutip Kompas.com dari videotron di lokasi, Gibran terlihat menyambut Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Jokowi bersama Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih, Prabowo Subianto.

 

Jokowi dan Iriana diketahui tiba di lokasi pukul 07.31 WIB. Saat turun dari mobil, Presiden disambut oleh Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Rafael Granada Baay.

 

Sementara, Prabowo dan Gibran telah menunggu Jokowi dan Iriana di sisi luar karpet merah bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal M Tonny Harjono.

 

Usai menyalami mereka Presiden masuk ke arena upacara. Jokowi berjalan bersama didampingi Wapres Ma'ruf Amin yang berjalan di sisi kanannya.

 

Sedangkan Prabowo yang mengenakan setelan jas berwarna abu muda berada di sisi kanan Ma'ruf.

 

Gibran yang terlihat mengenakan setelan jas hitam dengan dasi merah berjalan tepat di belakang Prabowo dan Ma'ruf, karena situasi yang cukup padat.

 

Adapun upacara dimulai pada pukul 07.50 WIB, ketika Presiden Jokowi menuju mimbar kehormatan untuk menjadi inspektur upacara, setelah mendapat penghormatan kebesaran.

 

Lalu, komandan upacara melaporkan kepada Presiden Jokowi melaporkan upacara siap dimulai.

 

Setelahnya, Jokowi didampingi Panglima TNI Agus Subiyanto melakukan pemeriksaan pasukan yang terhampar berbaris mengelilingi monas. Pemeriksaan pasukan ini menggunakan mobil Maung.

 

Sebagai informasi, acara HUT TNI dimulai dengan penampilan drumband gabungan TNI dan 2 pesawat Cessna TNI yang masing-masing membawa tulisan "TNI Prima Indonesia Maju" dan "HUT ke-79 TNI 2024".

 

Kemudian dilanjutkan dengan aerobatic Rajawali Laut Flight yang terbang di atas langit monas dengan mengepulkan asap berwarna merah dan putih.

 

Tema HUT ke-79 TNI adalah "TNI Bersama Rakyat Siap Mengawal Suksesi Kepemimpinan Nasional untuk Indonesia Maju".

 

Pada acara itu, TNI akan memamerkan sebanyak 1.059 alutsista yang terdiri dari tiga matra, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

 

Profil Try Sutrisno

Jenderal TNI (Purn.) H. Try Sutrisno (lahir 15 November 1935) adalah Wakil Presiden Indonesia ke-6 yang menjabat pada periode 1993–1998.

 

Sebelum dilantik sebagai Wakil Presiden, Try Sutrisno pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

 

Awal Kehidupan dan Latar Belakang

 

Try Sutrisno lahir pada 15 November 1935 di Surabaya, Jawa Timur. Ayahnya, Subandi, bekerja sebagai sopir ambulans, sementara ibunya, Mardiyah, seorang ibu rumah tangga.

 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ketika Belanda kembali mencoba mengklaim Indonesia sebagai koloni mereka, keluarga Try pindah dari Surabaya ke Mojokerto.

 

Ayahnya bekerja sebagai petugas medis di Batalyon Angkatan Darat Poncowati, yang membuat Try harus berhenti sekolah dan mencari nafkah dengan menjadi penjual rokok dan penjual koran.

 

Pada usia 13 tahun, Try Sutrisno ingin bergabung dengan Batalyon Poncowati untuk berjuang melawan Belanda.

 

Meskipun usahanya tidak dianggap serius, ia akhirnya dipekerjakan sebagai kurir yang bertugas mengumpulkan informasi dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan mengambil obat-obatan untuk Angkatan Darat Indonesia.

 

Pada tahun 1949, setelah Belanda mundur dan mengakui kemerdekaan Indonesia, Try dan keluarganya kembali ke Surabaya, di mana ia menyelesaikan pendidikan di SMA Bagian B pada tahun 1956.

 

Awal Karier Militer

Setelah lulus dari SMA, Try Sutrisno ingin melanjutkan pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD).

 

Meskipun awalnya gagal dalam pemeriksaan fisik, Try akhirnya diterima setelah mendapatkan perhatian dari Mayor Jenderal GPH Djatikusumo. Di ATEKAD, Try menjalin persahabatan erat dengan Benny Moerdani.

 

Pengalaman militer pertama Try Sutrisno dimulai pada tahun 1957, saat ia berperang dalam rangka menumpas Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sebuah gerakan separatis di Sumatra yang berupaya menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno.

 

Setelah menyelesaikan pendidikan militernya di ATEKAD pada tahun 1959, Try mulai bertugas di berbagai daerah, termasuk Sumatra, Jakarta, dan Jawa Timur.

 

Pada tahun 1972, Try dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).

 

Dua tahun kemudian, pada 1974, Try terpilih menjadi ajudan Presiden Soeharto, yang kemudian membuka jalan bagi kariernya yang semakin gemilang di militer.

 

Panglima ABRI dan Puncak Karier Militer

Pada tahun 1978, Try Sutrisno diangkat sebagai Kepala Staf di Komando Daerah Militer (KODAM) XVI/Udayana, Bali.

 

Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Panglima KODAM IV/Sriwijaya, di mana ia terkenal dengan upayanya menekan tingkat kejahatan dan menyelesaikan masalah penyelundupan timah.

 

Ia juga terlibat dalam kampanye lingkungan untuk mengembalikan gajah Sumatra ke habitat aslinya.

 

Pada tahun 1982, Try diangkat sebagai Panglima KODAM V/Jaya dan ditempatkan di Jakarta.

 

Pada tahun 1984, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang yang mengharuskan semua organisasi, baik politik maupun non-politik, untuk mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal.

 

Peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok pada 1984, yang dipicu oleh konflik terkait kebijakan pemerintah, menjadi salah satu momen penting dalam karier Try Sutrisno sebagai panglima, di mana pasukan terpaksa turun tangan untuk mengatasi kerusuhan tersebut.

 

Karier Try Sutrisno terus berkembang. Pada tahun 1985, ia menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, dan pada tahun 1986, ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

 

Sebagai Kepala Staf AD, ia memprakarsai pembentukan Badan Tabungan Wajib Perumahan TNI-AD untuk memudahkan prajurit membeli rumah.

 

Puncak karier Try Sutrisno datang pada tahun 1988, ketika ia diangkat sebagai Panglima ABRI, menggantikan L.B. Moerdani.

 

Dalam perannya sebagai Panglima ABRI, Try Sutrisno memimpin operasi militer untuk menanggulangi pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh pada 1992.

 

Namun, masa jabatannya juga tercatat sebagai periode berlakunya insiden-insiden kontroversial, termasuk Insiden Talangsari dan Insiden Dili di Timor Timur, yang memicu kecaman internasional terhadap pemerintah Indonesia.

 

Wakil Presiden Indonesia

Pada Februari 1993, setelah masa jabatannya sebagai Panglima ABRI berakhir, Try Sutrisno dicalonkan oleh fraksi ABRI untuk menjadi Wakil Presiden Indonesia.

 

Meskipun secara teknis fraksi ABRI memiliki hak untuk mencalonkan, hal ini memicu ketegangan dengan Presiden Soeharto, yang awalnya merasa didahului dalam proses pencalonan.

 

Namun, pada akhirnya Soeharto menerima Try Sutrisno sebagai calon Wakil Presiden, dan ia terpilih dalam Sidang Umum MPR pada tahun 1993.

 

Sebagai Wakil Presiden, Try Sutrisno tidak pernah sepenuhnya dilibatkan dalam pembentukan kabinet dan kebijakan-kebijakan utama, yang membuat hubungan antara dirinya dan Soeharto sedikit tegang.

 

Pada 1995, Try sempat mengkritik kebijakan ekonomi dan bisnis yang melibatkan anak pejabat, yang membuat pemberitaannya dibatasi.

 

Ketegangan semakin meningkat pada akhir 1997, ketika Soeharto memilih untuk tidak mendelegasikan tugasnya kepada Try Sutrisno selama perawatan medis di Jerman, meskipun Try merupakan calon yang diperkirakan bisa menggantikan Soeharto sebagai Presiden.

 

Pasca Jabatan Wakil Presiden

Pada tahun 1998, setelah lengsernya Soeharto, Try Sutrisno terpilih sebagai Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) dan berhasil menyatukan organisasi tersebut.

 

Selain itu, Try juga menjadi sesepuh di partai Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yang dipimpin oleh Jenderal Edi Sudrajat.

 

Pada tahun 2005, Try Sutrisno bersama sejumlah tokoh politik lainnya membentuk Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang mengkritik pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono terkait beberapa kebijakan penting.

 

Namun, setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Try mulai melunak dan mendukung beberapa kebijakan pemerintah. (wartakota)


Sekretaris Jenderal relawan Pasukan Bawah Tanah (Pasbata) Jokowi, Sri Kuntoro Budiyanto 

 

SANCAnews.id – Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan secara jelas menyebutkan bahwa lambang negara adalah Garuda Pancasila. Namun, ternyata masih banyak pihak yang keliru menganggap kepala negara, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden, juga sebagai lambang atau simbol negara.

 

Terbaru adalah Relawan Pasukan Bawah Tanah Jokowi. Kelompok yang mengaku simpatisan Presiden Joko Widodo atau Jokowi beserta keluarganya itu melaporkan Roy Suryo karena dianggap telah menghina Gibran Rakabuming Raka. Mereka tak terima karena Gibran merupakan simbol negara.

 

“Karena Mas Gibran ini lambang negara, mau dilantik. Jadi kita sebagai Pasukan Bawah Tanah Jokowi harus siap melindungi,” kata Sekretaris Jenderal Pasbata Jokowi, Sri Kuntoro Budianto, yang ditemui di Bareskrim Mabes Polri pada Jumat, 27 September 2024.

 

Adapun pakar telematika itu dipolisikan ke Bareskrim Polri dengan tudingan dugaan penyebaran berita bohong, setelah menyebut akun Kaskus bernama Fufufafa adalah milik Wakil presiden terpilih sekaligus putra sulung Jokowi tersebut. Akun tersebut memiliki jejak digital buruk lantaran acap melontarkan komentar sadis kepada keluarga Presiden terpilih Prabowo Subianto.

 

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, memperingatkan bahwa upaya mengganti atau mengubah lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, bukan hanya tindakan yang bertentangan dengan hukum, tapi juga bisa berujung pada sanksi pidana. Hal ini disampaikan merespons rencana Pasukan Bawah Tanah Jokowi (Pasbata) yang akan menggeruduk Bareskrim Polri terkait laporan mereka atas Roy Suryo.

 

"Ngilu plus ngeri kalau hari ini ada yang mengganti lambang negara," katanya dalam keterangan tertulis pada Sabtu malam, 5 Oktober 2024. Dia menekankan pentingnya menjaga simbol negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Menurut penjelasan UU Nomor 24 Tahun 2009, “Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan Makmur".

 

Berikut sederet pihak yang salah kaprah menyebut presiden maupun wakil presiden adalah lambang atau simbol negara:

 

1. Jusuf Kalla 

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla atau JK juga pernah menyebut presiden adalah lambang negara, sehingga tidak boleh dihina. Pernyataan JK ini disampaikan saat dirinya menjabat sebagai wakil presiden pendamping Jokowi. Kala itu, ia menanggapi soal pembahasan Pasal Penghinaan Presiden, yang tengah dibahas dalam RKUHP

 

“Presiden juga lambang negara, kalau Anda menghina lambang negara kan berarti secara keseluruhan orang bisa masalah. Itu jangan dibandingkan di Thailand. Menghina anjingnya raja Anda bisa dihukum. Kita tidak kan,” ucap JK di wakil presiden, Jakarta, Selasa, 6 Februari 2018 silam.

 

2. Rektorat Universitas Indonesia 

Rektorat Universitas Indonesia (UI) pada Ahad, 27 Juni 2021 memanggil 10 mahasiswa yang dianggap terlibat dalam terbitnya poster “Jokowi: King of Lip Service”. Poster itu diunggah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI di akun media sosialnya sehari sebelumnya.

 

Unggahan itu berisi sindiran bernada kritik terhadap Presiden Jokowi. BEM UI menilai ucapan Jokowi sering kali berbanding terbalik dengan realitas, antara lain soal kerinduannya didemo, keinginannya agar revisi UU ITE memenuhi rasa keadilan, dan janji penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

 

Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia, mengonfirmasi pemanggilan itu. Menurut dia, pemanggilan merupakan bagian dari pembinaan kemahasiswaan di UI. Dalam keterangannya, Rektorat UI menyampaikan bahwa Presiden RI adalah simbol negara.

 

“Hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara, mengenakan mahkota dan diberi teks Jokowi: The King of Lip Service.... bukanlah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat,” kata Amelita.

 

3. Kepolisian 

Pada medio Agustus 2021 lalu viral soal mural dengan tampilan wajah mirip Presiden Jokowi bertulisan ‘404: Not Found’ di bagian mata. Mural itu ada di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Polisi kemudian memburu pembuat mural ‘Jokowi 404: Not Found’ itu. Langkah itu didasari oleh pengertian bahwa presiden adalah lambang negara.

 

“Tetap dilidik (selidiki) itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun, itu (presiden) kan lambang negara, ya,” kata Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota Kompol Abdul Rachim saat dihubungi wartawan, Jumat, 13 Agustus 2021.

 

Menurut Rachim, tindakan pembuatan mural itu dianggap menghina Presiden Jokowi. Untuk itu, Rachim mengatakan pihaknya akan jemput bola dalam mengungkap pelaku.

 

“Banyak yang tanya tindakan aparat apa? Presiden itu panglima tertinggi TNI-Polri, itu lambang negara. Kalau kita sebagai orang Indonesia, mau pimpinan negara digituin? Jangan dari sisi yang lain kalau orang punya jiwa nasionalis,” terang Rachim.

 

4. PDIP 

Akademisi Rocky Gerung menyinggung mengenai langkah Presiden Jokowi yang menurutnya pergi ke China untuk menawarkan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Juli 2023 lalu. Dalam orasi yang tayang di YouTube Refly Harun tersebut, dia menyebut juga kata-kata “b*jing*n” dan kata “t*l*l” yang dinilai sebagai kata makian dan menghina presiden.

 

Akibat ucapannya itu, Rocky kemudian dilaporkan oleh Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPD PDI-P Banten kemudian melaporkan Rocky Gerung ke Polda Banten pada Kamis, 3 Agustus 2023. Laporan itu terkait ucapan Rocky yang dinilai telah menghina simbol negara.

 

“Pernyataan Rocky Gerung menurut hemat kami, mencoreng nama baik, bukan hanya sosial. Tapi juga karakter bangsa, karena yang disebut-sebut itu adalah simbol negara. Seorang Presiden,” kata Ketua BBHAR DPD PDI-P Banten Tota Samosir.

 

5. Mahkamah Konstitusi 

Mahkamah Konstitusi atau MK juga pernah menyebut Presiden Jokowi sebagai simbol negara. Pernyataan itu diungkapkan menanggapi permintaan agar Presiden Jokowi dihadirkan di sidang sengketa Pilpres 2024.

 

Klaim ini disampaikan Hakim MK, Arief Hidayat kala menanggapi usulan dari Kuasa hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD Todung Mulya Lubis untuk menghadirkan Jokowi di sidang gugatan hasil Pilpres 2024.

 

Menurutnya, tidak elok memanggil Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Meski, pihak pemohon mendalilkan soal adanya cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024.

 

“Kita memanggil kepala negara, Presiden RI kelihatannya kurang elok. Karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan,” kata Arief Hidayat di ruang sidang MK, Jumat 5 April 2024.

 

Dia menuturkan, Jokowi bisa saja dihadirkan di MK jika kapasitasnya hanya kepala pemerintahan. Namun, pada kenyataannya Jokowi adalah presiden yang merupakan simbol negara, sehingga MK hanya meminta keterangan para menteri.

 

“Kalau hanya sekadar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini tapi karena presiden sebagai kepala negara, simbol negara yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder,” kata Arief Hidayat. (tempo)


Presiden Jokowi menyalami Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno dalam momen peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-79 TNI di kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Foto Istimewa 

 

SANCAnews.id – Istana Kepresidenan membantah narasi Presiden Joko Widodo tidak berjabat tangan dengan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno saat peringatan HUT ke-79 TNI di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu, 5 Oktober 2024.

 

Isu Jokowi tak berjabat tangan dengan Wapres ke-6 itu beredar luas di media sosial X, yang dulu bernama Twitter. Akun @JhonSitorus_18 mempertanyakan apakah benar Jokowi tak berjabat tangan dengan Try. Padahal mantan Panglima TNI itu berpakaian lengkap, mengenakan jaket militer bintang 4.

 

“Pak Try Sutrisno bahkan sudah sempat berdiri lalu duduk lagi karena dilewati oleh Jokowi begitu saja,” tulis akun X tersebut, dalam unggahan disertai video tayangan televisi. Dalam tayangan itu, kepala negara menyalami mantan Wakil Presiden Budiono, Jusuf Kalla, dan istri Presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah.

 

Unggahan yang sama mengungkit posisi Try yang mendukung Jokowi di Pilpres 2019. “Mungkin pak Jokowi khilaf, tapi saya paham apa yang dirasakan keluarga Pak Try,” kata cuitan yang dilihat oleh lebih dari 500 ribu orang itu.

 

Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana mengatakan bahwa Presiden Jokowi sudah bersalaman dan menyapa Wakil Presiden ke-6 Bapak Try Sutrisno beserta istri di Holding VVIP Room. Sedangkan untuk Sinta, Jusuf Kalla, dan Budiono, belum sempat disalami Jokowi.

 

“Bapak Presiden sangat Menghormati semua elemen masyarakat, apalagi dengan para tokoh pemimpin bangsa,” kata Yusuf melalui pesan singkat dikonfirmasi Tempo pada Senin, 7 Oktober 2024. (tempo)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.