Latest Post

Tangkapan layar video yang kini viral di media sosial 

 

SANCAnews.id – Lima pelaku penyerangan dan pembubaran diskusi kebangsaan yang terjadi di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Sabtu (28/9/2024) berhasil ditangkap Polisi.

 

Dikutip dari unggahan akun Instagram @divisihumaspolri, dua dari lima pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Masing-masing berinisial FEK dan GW.

 

Dijelaskan dalam unggahan tersebut, FEK bertindak sebagai koordinator lapangan. Sementara itu, GW diduga melakukan aksi vandalisme di lokasi kejadian.

 

Dari hasil pemeriksaan, para pelaku berdalih diskusi dilakukan tanpa izin. Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Djati Wiyoto Abadhy mengatakan, Polri tidak menoleransi aksi premanisme, apalagi yang berupaya memecah belah persatuan.

 

"Kami tidak menoleransi segala bentuk premanisme, kemudian aksi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan dalil apa pun. Entah itu mau membubarkan," kata Djati dikutip pada Selasa (1/10/2024).

 

Menariknya, salah seorang pelaku yang telah ditetapkan tersangka sebelumnya pernah terlihat di acara Partai Golkar. Tepatnya pada 13 Agustus 2024 lalu.

 

Dilihat dari video yang beredar di X, pelaku tersebut sedang berada di lokasi rapat bersama dengan anggota organisasi sayap Partai Golkar.

 

"Mahluk yang kemarin ngamuk di Grand Kemang keciduk ada di ruang rapat DPP Golkar. Kok ada bau bau bahlul ya?," cetus akun @doelpaten.

 

Sebelumnya, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ferdinand Hutahean, mengungkapkan dugaan adanya keterlibatan pihak istana dalam pembubaran diskusi kebangsaan yang digelar di Kemang, Jakarta Selatan.

 

Seperti diketahui, diskusi tersebut melibatkan tokoh-tokoh seperti mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Refly Harin, hingga Said Didu.

 

Dikatakan Ferdinand, apa yang terjadi terkait dengan pembubaran diskusi tersebut, kemungkinan erat kaitannya dengan isu yang sementara deras mencuat belakangan ini. 

 

Ferdinand menyebutkan bahwa pembubaran diskusi tersebut erat kaitannya dengan isu-isu besar yang sedang mencuat belakangan ini, termasuk masalah gratifikasi Kaesang terkait jet pribadi, isu Blok Medan di Maluku Utara yang melibatkan Bobby dan Kahiyang.

 

"Pertama, terkait gratifikasi Kaesang, soal jet pribadi. Blok Medan di Maluku Utara yang melibatkan Bobby dan Kahiyang," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Sabtu (28/9/2024) malam.

 

Tidak lupa, kata Ferdinand, beberapa kontroversi yang sedang menerpa keluarga Jokowi. Termasuk soal Fufufafa yang dikaitkan dengan Gibran Rakabuming.

 

"Juga terkait banyak hal isu-isu yang sedang menerpa keluarga ini dan Gibran soal Fufufafa. Ini akan menjadi pembahasan dalam diskusi tersebut," sebutnya.

 

Dijelaskan Ferdinand, yang merasa terganggu atas diskusi itu tidak lain adalah pihak istana. Olehnya, ia menaruh curiga bahwa pembubaran itu dipesan oleh pihak istana.

 

"Saya menduga ini adalah order dari pihak istana. Tapi siapa dari istana yang memberikan order kepada kelompok tertentu ini," ucapnya. 

 

"Kita tidak tahu karena tidak mungkin istana langsung kepada OTK tersebut. Tetapi melalui sebuah rantai komando. Saya melihatnya seperti itu," sambung Ferdinand.

 

Ferdinand menegaskan, satu-satunya yang merasa terganggu dengan adanya diskusi itu adalah pihak istana.

 

Ferdinand juga mengungkapkan bahwa, meskipun aparat kepolisian hadir di lapangan, ia mencurigai bahwa pembubaran ini dibiarkan terjadi dengan sengaja, dengan tujuan untuk menghentikan diskusi yang dapat merugikan pihak istana.

 

"Soal mengapa polisi apakah lalai atau tidak memantau, saya tidak yakin. Karena di lapangan itu aparat Kepolisian kita banyak sekali," jelasnya.

 

Ia menilai bahwa aparat kepolisian, baik Polantas, Binmas, hingga intelijen, seharusnya sudah memantau pergerakan massa yang membubarkan acara tersebut.

 

"Ada Polantas tentu yang memantau pergerakan ini, Binmas, macam-macam termasuk intelejen dari Kepolisian," Ferdinand menuturkan.

 

Ferdinand bilang, terjadinya pembubaran itu kuat dugaan ada unsur kesengajaan yang dibiarkan kepada mereka untuk melakukan aksi tersebut.

 

"Supaya mengentikan diskusi yang pasti merugikan pihak istana," kuncinya.

 

Diketahui, acara itu juga dihadiri mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Din mengecam keras aksi anarkisme tersebut.

 

"Apa yang terjadi tadi adalah kejahatan demokrasi. Kita membiarkan mereka berorasi sebagai manifestasi demokrasi, tapi ketika mereka masuk dan merusak, ini adalah anarkisme," kata Din Syamsuddin dalam jumpa persnya yang dikutip dari kanal YouTube Refly Harun, Sabtu (28/9/2024).

 

Din Syamsuddin mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak hanya memalukan, tetapi juga mengganggu dan merusak kehidupan dan bangsa. Dalam kesempatan itu, ia menyoroti tanggung jawab kepolisian.

 

Selain Din Syamsuddin, juga hadir dalam jumpa pers Refly Harun, Said Didu, Sunarko, dan lain sebagainya. (fajar)


Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (1/10) 


SANCAnews.id – Masyarakat yang keberatan dengan pemberitaan media diminta untuk melaporkannya ke Dewan Pers. Bukannya melakukan tindakan anarkis seperti memukul, menghalangi, atau meminta media menghapus berita.

 

Hal itu ditegaskan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu saat peluncuran buku berjudul "Mengadu(kan) Pers: Kumpulan Untold Story Penanganan Pengaduan di Dewan Pers".

 

"Peluncuran ini sekaligus memberikan informasi ke publik bahwa ada kolaborasi antara Dewan Pers dengan kepolisian dalam merespons laporan masyarakat," kata Ninik di markas Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (1/10).

 

Ninik menjelaskan, pengaduan terkait pemberitaan penyelesaiannya dilakukan secara etik oleh para analis di Dewan Pers, yang akan menilai apakah karya tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik.

 

Dia menekankan bahwa ranah pemberitaan adalah kewenangan Dewan Pers, bukan bagian dari Undang-Undang ITE atau penegakan hukum pidana.

 

"Ini juga memperlihatkan kerja sama kita dengan Komisi penyiaran agar mereka tau bahwa ranah pemberitaan adalah ranah Dewan Pers bukan ranah UU ITE, bukan ranah melalui penegakan pidana," jelasnya.

 

Ninik juga menginformasikan, pengaduan keberatan pemberitaan kini difasilitasi secara online. Sehingga memudahkan masyarakat untuk melaporkan ketidakpuasan terhadap pemberitaan media.

 

Selain launching buku, juga digelar diskusi bertajuk "Kebebasan Pers dan Etika Jurnalistik di Indonesia" dengan narasumber mantan Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan; Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana; Tenaga Ahli Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Herutjahyo. (rmol)

R. Haidar Alwi selaku pendiri Haidar Alwi Institute (HAI). (Dok. Haidar) 

 

SANCAnews.id – Terungkapnya kasus pembubaran paksa diskusi diaspora di Kemang, Jakarta Selatan harus diusut tuntas. Termasuk mencari aktor intelektualnya, bukan hanya berhenti pada pelaku di lapangan.

 

Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menyambut baik penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian dan menetapkan dua orang tersangka. Perlu tindakan cepat untuk menuntaskan kasus ini.

 

Langkah Polri, kata Haidar, juga sebagai respons atas stigma yang berkembang di masyarakat. Bahwa mereka yang berseberangan dengan pemerintah dianggap sulit mendapatkan keadilan.

 

"Ternyata stigma tersebut tidak benar. Polri membuktikan bahwa keadilan milik semua. Termasuk bagi mereka yang selama ini dikenal cenderung sinis terhadap pemerintah," kata Haidar, Selasa (1/10).

 

Meski begitu, pengungkapan kasus harus tetap dituntaskan. Terutama mencari aktol intelektual.

 

"Mari kita dukung Polri mengungkap aktor intelektualnya dan jika ada pelanggaran SOP oleh personel yang bertugas di lapangan," jelas Haidar.

 

Dia menilai, dukungan dan kepercayaan masyarakat memiliki peranan yang sangat penting bagi kinerja Polri selain kritik dan masukan yang konstruktif.

 

"Sehingga Polri semakin optimal melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya dalam menegakkan hukum maupun menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat," tandasnya.

 

Sebelumnya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin membeberkan kronologi terjadinya pembubaran diskusi diaspora di Grand Kemang, Jakarta Selatan.

 

Dalam peristiwa ini, massa yang tak dikenal bertindak anarkis memporakparandakan panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang mik, dan mengancam para peserta yang baru hadir.

 

Menurut Din, Acara itu dirancang sebagai dialog antara diaspora Indonesia di manca negara dengan sejumlah tokoh atau aktivis tentang masalah kebangsaan dan kenegaraan.

 

Selain Din, hadir sebagai narasumber antara lain Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, Rizal Fadhilah, Sunarko, dan beberapa lainnya.

 

Din menyampaikan, sejak pagi hari sudah ada sekelompok massa menggelar orasi dari atas sebuah mobil komando di depan hotel. Namun, Din mengaku tidak mendengar jelas tuntutan massa.

 

"Tidak terlalu jelas pesan yang mereka sampaikan, kecuali mengeritik para narasumber yang diundang dan membela rezim Presiden Jokowi," kata Din, Sabtu (28/9).

 

Din melanjutkan, acara tidak sempat dimulai. Karena massa sudah bertindak anarkis terlebih dahulu dengan memasuki ruangan hotel, dan mengobrak-abrik seisinya.

 

"Acara akhirnya dimulai dan diubah menjadi konperensi pers," imbuhnya. ()

Mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu 

 

SANCAnews.id – Mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu menanggapi pembubaran diskusi kebangsaan di Kemang yang disebut tak mengantongi izin kepolisian.

 

Ia pun menyayangkan Kapolsek membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan pembahasan tersebut tidak memiliki izin.

 

"Sedih, Kapolsek di Ibu Kota tidak tahu hukum," ujar Said Didu dalam keterangannya di aplikasi X @msaid_didu, kemarin.

 

Menurutnya, tidak ada aturan yang mengharuskan diskusi di tempat tertutup seperti hotel untuk memerlukan izin atau pemberitahuan kepada polisi.

 

"Mana ada aturan diskusi di tempat tertutup seperti hotel memerlukan izin atau pemberitahuan ke polisi?," tukasnya.

 

Pria kelahiran Pinrang ini bilang, pernyataan tersebut sangat memalukan untuk sekelas orang nomor satu di Polsek.

 

"Pernyataan ini memalukan!," tandasnya.

 

Sebelumnya, Kapolsek Metro Mampang Prapatan, Komisaris Polisi Edy Purwanto, mengungkapkan bahwa pihaknya tidak mendapat informasi terkait kegiatan Forum Tanah Air (FTA) yang diadakan di Grand Mampang Hotel sebelum terjadinya kerusuhan oleh sejumlah orang tak dikenal (OTK).

 

Ia menjelaskan bahwa kegiatan diskusi tersebut, yang ternyata dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, tidak menyertakan pemberitahuan kepada pihak Kepolisian.

 

Padahal, menurutnya, acara semacam itu seharusnya mengirimkan surat pemberitahuan kepada Direktorat Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polda Metro Jaya, serta kantor polisi setempat. (fajar)


Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi/Ist 

 

SANCAnews.id – Sejumlah pihak mulai dari kepolisian hingga staf hotel diperiksa menyusul pembubaran paksa acara diskusi "Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional" yang digelar Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9) lalu.

 

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan, pemeriksaan terhadap anggota Polri tersebut dilakukan oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya.

 

“Sampai dengan saat ini Bid Propam Polda Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan terhadap 11 petugas,” ujar Ade Ary kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya Jakarta Selatan pada Senin (30/9).

 

Adapun 11 anggota yang dilakukan pemeriksaan oleh Bid Propam Polda Metro Jaya terdiri dari anggota Polres Metro Jakarta Selatan, Polsek Mampang, dan Polda Metro Jaya, dimana salah satunya Kapolsek Mampang Kompol Edy Purwanto.

 

“Iya (termasuk Kapolsek Mampang). Jadi yang melakukan tugas pengamanan, kemudian beberapa anggota yang melaksanakan pengamanan dilakukan pendalaman untuk mendalami SOP, tahapan apa yang sudah dilakukan dan sebagainya,” ungkapnya.

 

Selain personel, petugas juga melakukan pemeriksaan terhadap dua orang masyarakat sipil.

 

“Dilakukan pemeriksaan juga oleh Bid Propam yaitu petugas sekuriti dan manajer di Hotel Grand Kemang. Seperti itulah tahapan-tahapan yang dilakukan untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, evaluasi. Jadi mohon waktu, Bid Propam masih melakukan pendalaman,” jelasnya.

 

Sejauh ini, Polisi mengamankan lima orang dalam kasus pembubaran paksa dan telah menetapkan dua orang sebagai tersangka.

 

Pertama FEK, ini sebagai Koordinator lapangan, kemudian GW ini sebagai pelaku pengrusakan spanduk.

 

Sementara tiga orang lain yang diamankan, masing-masing berinisial JJ, LW, dan MDM.

 

Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 KUHP Jo Pasal 406 KUHP. Sementara bagi tersangka penganiayaan dijerat dengan Pasal 170 KUHP Jo Pasal 351 KUHP. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.