Festival Biduk Sayak melestarikan tradisi kesenian tertua
dalam prosesi pernikahan di masyarakat Air Hitam, Kabupaten Soralangun, Jambi
SANCAnews.id – Tradisi Biduk Sayak menjadi
sorotan dalam Festival Biduk Sayak yang berlangsung di Lapangan Desa Jernih,
Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi pada Rabu (18/9).
Biduk Sayak merupakan kesenian tradisional tertua di
Kecamatan Air Hitam. Biduk Sayak merupakan kesenian pantun timbal balik yang
dibawakan oleh remaja putra dan putri, atau dalam istilah setempat disebut
bujang dan Gadis.
Kesenian ini tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai
bentuk komunikasi tradisional yang sarat makna sosial dan budaya.
Pamong Budaya Ahli Utama dari Kemendikbudristek Siswanto
menjelaskan bahwa Biduk Sayak merupakan simbol keharmonisan hubungan antara
pemuda dan pemudi yang disampaikan melalui syair-syair cinta.
Menurut Siswanto, Biduk Sayak mengandung nilai-nilai luhur
tentang kasih sayang, kebersamaan, dan sopan santun yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat setempat.
"Melalui pantun berbalas, kedua belah pihak
mengekspresikan perasaan mereka dalam
bahasa yang halus dan penuh kiasan,” ujar Siswanto dalam keterangannya,
dikutip jpnn.com, Minggu (22/9).
Prosesi ini biasanya digelar pada malam hari setelah acara
adat pernikahan, dimulai sekitar pukul sembilan malam dan berlangsung hingga
larut.
Bagi masyarakat Air Hitam, Biduk Sayak adalah bagian tak
terpisahkan dari perayaan pernikahan, menjadi simbol penyatuan dua hati.
Dalam prosesi Biduk Sayak, seorang pemuda akan mulai
menyanyikan syair pantun yang diikuti oleh jawaban dari pemudi.
Syair ini seringkali berisi ajakan maupun ungkapan perasaan
yang dibalut dalam bentuk syair yang indah.
Kurator lokal Azhar MJ yang ikut serta dalam melestarikan
tradisi ini menekankan Biduk Sayak bukan hanya soal hiburan, tetapi juga media
komunikasi yang menghubungkan masyarakat.
“Setiap pantun dalam Biduk Sayak memiliki makna yang dalam.
Selain sebagai ungkapan cinta, syair-syair ini mengandung pesan moral dan nasihat, yang diwariskan secara
turun-temurun. Ini adalah bentuk interaksi sosial yang kian jarang ditemui di
zaman sekarang,” jelas Azhar.
Prosesi ini juga disertai dengan tarian yang melibatkan para
penonton. Pemuda dan pemudi yang berbalas pantun akan menari mengikuti irama
musik tradisional yang dimainkan sepanjang acara.
“Atmosfer malam hari, diiringi suara pantun dan tarian,
menciptakan suasana yang meriah sekaligus sakral,” sambungnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Desa Jernih Ismadi menyebut
Biduk Sayak adalah cerminan dari identitas masyarakat Air Hitam.
Menurut Ismadi, Biduk Sayak juga bisa dilakukan sebagai cara
untuk mengumpulkan para pemuda-pemudi melakukan
kegiatan yang bermakna dan menghindari kegiatan-kegiatan negatif,
seperti mabuk-mabukan dan judi.
“Biduk Sayak juga memiliki arti tempat wadah berkumpul para
masyarakat agar hidup penuh kerukunan
dan memiliki rasa 'malu' ketika melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan,”
urainya.
Menurut Ismadi, Tradisi Biduk Sayak ini sudah ada sejak nenek
moyang dan hingga kini masih terus dilestarikan.
Sebagai tradisi yang sarat makna, lanjutnya, Biduk Sayak
menjadi salah satu bentuk seni yang mampu bertahan di tengah perkembangan
zaman.
Meskipun banyak tradisi yang mulai pudar, Biduk Sayak masih
hidup dan dinikmati oleh masyarakat Air Hitam, terutama dalam acara-acara
besar, seperti pernikahan.
“Kami melihat Biduk Sayak sebagai salah satu simbol kekayaan
budaya Sarolangun. Walaupun tantangan modernisasi terus ada, kami percaya
tradisi ini tetap bisa hidup dan berkembang, terutama dengan adanya festival
seperti ini yang terus mempromosikannya,” tandasnya.
Melalui festival tahunan yang memusatkan perhatian pada Biduk
Sayak, masyarakat setempat berharap
tradisi ini bisa terus dilestarikan, tidak hanya ssebagaibagian dari sejarah,
tetapi sebagai seni yang tetap relevan di masa kini.
Biduk Sayak adalah bukti warisan budaya lokal mampu menjadi
jembatan antara masa lalu dan masa kini, sekaligus menjaga identitas masyarakat
di tengah perubahan zaman.
Festival Biduk Sayak merupakan satu dari 12 festival budaya
Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian
budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan
pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran
sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan satu
Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dengan mengangkat narasi hubungan penting
antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan, khususnya sungai, dan
sebaliknya juga tentang pelestarian lingkungan untuk kebudayaan berkelanjutan.
Rangkaian pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan
oleh masyarakat setempat ini, menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian
dalam mengangkat kearifan lokalnya.
Setiap festival yang digelar akan berkoordinasi dengan
Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui
Direktorat Perfilman Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan. (*)