Latest Post

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bersama Joko Widodo/Net


 

SANCAnews.id – Buruknya hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bakal berdampak pada gugatan yang dilayangkan kader PDIP ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Dedi Kurnia Syah mengatakan, Jokowi pasti akan berpihak pada penggugat Megawati Soekarnoputri.

 

“Dengan iklim relasi Megawati dan Jokowi saat ini kian memburuk, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi akan berpihak pada penggugat,” kata Dedi kepada RMOL di Jakarta, Minggu (8/9).

 

Dedi mengatakan bahwa munculnya gugatan tersebut, akan berpengaruh pada peta politik PDIP dalam kontestasi Pilkada 2024. Selanjutnya KPU juga bisa mendiskualifikasi para cakada dari PDIP.

 

“Tentu saja berpengaruh pada Pilkada yang diikuti oleh PDIP, dan seluruh kandidat dari PDIP harus dinyatakan diskualifikasi karena tidak ada legitimasi pengusungnya,” tutupnya. (*)


Tangkapan layar potongan video viral Kaesang-Erna turun dari jet bawa barang dan langsung masuk ke dalam mobil 

 

SANCAnews.id – Isu dugaan penerimaan gratifikasi fasilitas jet pribadi untuk Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep saat ini tengah menjadi sorotan publik.

 

Hal itu mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan pernyataan ingin memanggil Kaesang Pangarep guna mengklarifikasi tudingan tersebut.

 

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tegas membatalkan rencana pemeriksaan Kaesang, dengan alasan fokus pemeriksaan hanya pada laporan yang diterima Badan Pengaduan Masyarakat (Dumas) Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan KPK kini menjadi banci akibat revisi UU KPK. Menurutnya, KPK memang bisa memeriksa Kaesang Pangarep, karena keluarganya, terutama ayahnya adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

"KPK sudah menjadi banci, sebaiknya komisionernya mundur saja, walaupun K (Kaesang Pangarep) bukan pejabat negara bapaknya itu (Presiden Jokowi) biangnya pejabat negara, jadi potensi gratifikasi lewat keluarga itu sangat besar," kata Fickar kepada JawaPos.com, Minggu (8/9).

 

Menurutnya, KPK tak lagi mempunyai kekuatan setelah menjadi bagian dari eksekutif.

 

"Ya inilah KPK yang sudah menjadi keluarga eksekutif, karena itu sikapnya terlalu banyak pertimbangan selain pertimbangan juridis," ucap Fickar.

 

Meski Kaesang bukan pejabat negara, kata Fickar, tetapi sang Ayah merupakan kepala negara. Ia menegaskan, KPK seharusnya bisa mendalami untuk menjawab keraguan publik terkait dugaan penerimaan gratifikasi privat jet terhadap Kaesang.

 

"Jadi meski K bukan pejabat negara, tapi dia anak pejabat negara, karena itu harus jelas dalam rangka apa K bisa nenggunakan jet.

 

Pribadi Paus Fransiskus saja yang pejabat negara (kepala negara Vatikan) dan pimpinan keagamaan, hanya menggunakan pesawat komersial. Kita jadi malu punya keluarga kepala negara seperti itu. Secara juridis yang bertanggung jawab bapaknya," tegasnya.

 

Juru bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto sebelumnya menyatakan, membatalkan rencana untuk meyurati Kaesang Pangarep. KPK menegaskan, akan fokus pada pelaporan dugaan korupsi yang dilayangkan masyarakat terhadap Kaesang, yang saat ini masih dalam tahap penelaahan.

 

Hal ini setelah KPK menerima laporan dari Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dan Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidilah Badrun.

 

"Sebagaimana kita ketahui sudah ada laporan masuk bahwa saat ini fokus penanganan isu terkait gratifikasi saudara K difokuskan di proses penelaahan yang ada di Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat (PLPM)," ucap Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (4/11).

 

Tessa menyatakan, pihaknya akan melakukan verifikasi terhadap pelaporan tersebut. Menurutnya, klarifikasi pertama akan dimintai tanggapan dari pihak pelapor.

 

"Jadi saat ini KPK sedang berfokus di proses telaah tersebut, jadi akan ada beberapa tindakan untuk melakukan klarifikasi. Tahapan pertama kepada pelapor untuk meminta keterangan lebih lanjut," ungkap Tessa.

 

Klarifikasi itu dibutuhkan untuk meminta dokumen pendukung. Sehingga, apakah pelaporan itu layak ditindaklanjuti ke proses penyelidikan.

 

"Mencari dokumen-dokumen pendukung yang dibutuhkan untuk dinilai apakah ditindaklanjuti ke tahapan berikutnya," ucap Tessa.

 

Awalnya, KPK memang menugaskan Direktorat Gratifikasi untuk meminta penjelasan dari Kaesang terkait dugaan penerimaan gratifikasi privat jet bersama sang istri dalam perjalanan ke Amerika Serikat (AS). Namun, KPK kini memfokuskan dugaan itu ke Direktorat PLPM.

 

"Isunya masih sama bahwa laporan itu terkait gratifikasi, kenapa difokuskan ke sana? Karena jangkauannya lebih jauh lagi, dilakukan pleh PLPM terkait kewenangannya," ujar Tessa.

 

Tessa pun menekankan, pihaknya tidak menerima tekanan dalam memproses dugaan penerimaan gratifikasi yang ditudingkan kepada Kaesang, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia pun berharap, Kaesang bisa secara sukarela memberikan klarifikasi terkait dugaan penerimaan privat jet itu ke KPK.

 

"Sama sekali tidak ada tekanan bahwa KPK berharap saudara K ini melakukan klarifikasi sendiri itu dari awal sudah disampaikan oleh pimpinan atau Pak AM (Alexander Marwata) dalam hal ini, sebenarnya ini juga agar isu ini tidak melebar ke mana-mana," pungkas Tessa. (jawapos)


Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar/Ist 

 

SANCAnews.id – Laporan dugaan gratifikasi Kaesang Pangarep dan Bobby Nasution perlu segera ditindaklanjuti oleh KPK. Sebab, pemeriksaan terhadap anak dan menantu Joko Widodo itu sejatinya baik dalam rangka menjaga wibawa Kepala Negara.

 

Demikian pandangan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menanggapi perkara yang dilaporkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait penggunaan jet pribadi milik Kaesang dan Bobby.

 

“Ya, (KPK) harus berani memeriksa karena ini untuk menjaga kewibawaan Presiden,” kata Fickar kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Sabtu (7/9).

 

Sebaliknya, jika ada indikasi keterlibatan Kaesang dan Bobby dalam dugaan gratifikasi dimaksud, Presiden maupun KPK harus menyampaikannya kepada publik.  

 

“Selain kepada publik, juga secara resmi kepada DPR sebagai bahan untuk ditindaklanjuti. Meskipun, masa jabatannya hanya tersisa kurang dari dua bulan lagi,” pungkasnya. (**)


Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari  

 

SANCAnews.id – Pengamat politik Muhammad Qodari mengemukakan pandangannya terkait potensi politik Anies Baswedan yang saat ini masih memiliki popularitas kuat, khususnya di Jakarta.

 

Menurut Qodari, apabila Anies memutuskan mendirikan partai politik, peluangnya untuk menjadikan partai itu menjadi kekuatan besar di Indonesia sangat besar.

 

"Kalau mendirikan Partai Politik, katakanlah lima tahun dari sekarang mungkin popularitas beliau tidak seperti hari ini," ujar Qodari dikutip dalam unggahan akun X @ILCTalkShow (5/9/2024).

 

Dalam hasil survei terbaru, Anies berhasil meraih sekitar 25 persen suara di tingkat nasional.

 

"Hari ini saya lihat popularitasnya masih sangat kuat. Di Jakarta setidaknya ada pendukung ibu bapak. Kemudian di surveinya kemarin tinggi. Di nasional dapat suara 25 persen," sebutnya.

 

Qodari menilai, jika dukungan sebesar itu dapat ditransformasikan menjadi basis suara untuk partai politik yang ia dirikan.

 

"Sebutlah misalnya Partai Perubahan Indonesia, maka Partai itu yang berpotensi menjadi yang terbesar di Indonesia," ucapnya.

 

Tambahnya, Anies memiliki peluang besar jika berhasil mempertahankan perolehan suara 25 persen secara nasional hingga 2029.

 

"Partai ini akan menjadi yang terbesar di Indonesia," tandasnya.

 

Sebelumnya, Aktivis Faizal Assegaf, mengungkapkan bahwa setelah Anies Baswedan tidak jadi diusung oleh PDI Perjuangan, sejumlah aktivis di Partai Negoro telah mengirimkan pesan kuat kepada Anies untuk bergabung atau bahkan membentuk partai baru.

 

Menurut Faizal, peluang bagi Anies untuk bergerak di jalur politik independen semakin terbuka.

 

"Jalan semakin terbuka," ujar Faizal dalam keterangannya di aplikasi X @fazialassegaf (30/8/2024).

 

Faizal juga mengungkapkan bahwa ada gagasan yang berkembang untuk menyatukan sejumlah partai kecil dan melebur menjadi satu partai besar yang dipimpin langsung oleh Anies Baswedan.

 

"Bahkan muncul gagasan untuk menyatukan sejumlah partai kecil, melebur menjadi satu partai dan dipimpin langsung oleh pak Anies," lanjutnya.

 

Partai ini nantinya akan diisi oleh berbagai tokoh kritis, elemen rakyat, dan aktivis pergerakan yang mendukung agenda perubahan.

 

"Serta diisi oleh bergai tokoh kritis, elemen rakyat dan aktivis pergerakan, dll," sebutnya.

 

Dikatakan Faizal, semua jalan masih tersedia bagi Anies jika ingin terus berkarir di dunia politik.

 

"Semua jalan tersedia bagi Anies dan lebih dari lima puluh juta rakyat yang setia berjuang di jalan perubahan. mendukung agenda perubahan," imbuhnya.

 

Bagi Faizal, ketika semua partai politik tersandera dan menjadi alat kepentingan kartel politik, inilah saatnya untuk bangkit dan bersatu melalui partai baru yang memiliki visi perubahan nyata.

 

"Saatnya bangkit dan bersatu melalui partai baru," tukasnya.

 

Faizal bilang, dirinya dan orang-orang di Partai Negoro siap memberi dukungan yang tulus untuk seorang Anies.

 

"Saya dan kawan-kawan di Partai Negoro dengan tulus, siap memberi dukungan dan berjuang dalam satu barisan gerakan perubahan," kuncinya. (fajar)


Aalis sosial politik UNJ, Ubedilah 

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo diprediksi tidak akan sepenuhnya melepaskan kekuasaan setelah lengser sebagai Kepala Negara pada Oktober 2024.

 

Mengutip pengamat sosial politik UNJ, Ubedilah Badrun, ada manuver Jokowi yang ingin tetap berkuasa.

 

"Di antara kemungkinan manuver yang akan dilakukan Jokowi jelang lengser adalah ingin menguasai atau mengendalikan pemerintahan baru (Prabowo-Gibran) melalui kaki tangannya," kata Ubedilah dalam keterangannya, Sabtu (7/9).

 

Kekhawatiran itu bukan hanya isapan jempol belaka. Manuver Jokowi sudah terlihat jelas dengan hasrat menjadi pengendali koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran.

 

"Ini terlihat ketika Jokowi ingin menjadi semacam koordinator koalisi partai yang mendukung pemerintahan baru. Penguasaan juga terbaca dengan upaya menguasai aparat kepolisian dan KPK," jelasnya.

 

Soal upaya menguasai lembaga hukum, Ubedilah mengutip jurnal KL Scheppele berjudul Autocratic Legalism (2018).

 

"Secara teoritik Joko Widodo mempraktikkan model kekuasaan autocratic legalism. Dia merevisi UU KPK 2019 sehingga KPK berada di bawah rumpun eksekutif," tandasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.