20 Th lalu Munir Dibunuh, Putri Munir Tagih Janji Pemerintah: ‘Berikan keadilan bagi bapak saya’
Tuntutan agar kasus pembunuhan Munir diadili melalui peradilan HAM berat mulai gencar disuarakan setelah proses penyelesaian pidananya dianggap para pegiat HAM tidak menyentuh aktor intelektualnya
SANCAnews.id – Putri bungsu aktivis HAM Munir,
Diva Suukyi Larasati, menuntut agar pemerintah Indonesia memenuhi janjinya
untuk menuntaskan kasus pembunuhan ayahnya. Tepat 20 tahun sejak pembunuhan
Munir pada 7 September 2004, penyelesaian kasus hukumnya masih belum jelas.
Diva kehilangan lelaki yang ia panggil "Abah" saat
ia berusia dua tahun. Kini, perempuan muda ini bersuara untuk memecahkan kasus
pembunuhan ayahnya.
"Tuntutan saya selalu sama dari dulu, dari umur saya dua
tahun sampai umur saya 22 tahun, yaitu selesaikan janji-janji kalian yang
kalian omongkan kepada ibu saya dan keluarga saya, bahwa kalian akan
menuntaskan kasus Abah saya," tutur Diva dalam konferensi pers 20 Tahun
Pembunuhan Muri di kantor YLBI, Kamis (05/09).
Putri bungsu aktivis HAM Munir, Diva Suukyi Larasati
Diva, dengan nada menahan emosi, secara khusus menagih janji
kepada Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—yang menjabat
sebagai presiden Indonesia pada saat pembunuhan Munir pada 2004—untuk memberi
keadilan bagi keluarganya.
"Bapak Jokowi, Bapak SBY, tolong selesaikan. Sampai
sekarang belum [selesai] lho, [sudah] 20 tahun," tegasnya.
"Tuntutan saya [masih] sama sampai sekarang. Tuntutan
ibu saya [masih] sama sampai sekarang, berikan keadilan bagi bapak saya,"
sambungnya.
Tak hanya menuntut penyelesaian kasus pembunuhan ayahnya,
Diva juga mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM lainnya.
"Berikan keadilan bagi seluruh warga Indonesia.
Tunjukkan bahwa Indonesia mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,"
tutur Diva dengan suara bergetar.
Sembari menahan tangis, Diva mengucapkan terima kasih kepada
masyarakat Indonesia yang terus mengawal kasus pembunuhan ayahnya.
"Saya sudah cukup emosional jadi saya tidak mau menangis
di depan kamera," ucapnya. Tak lama kemudian, dia tampak mengusap air
mata.
Seperti diketahui, Munir tewas dibunuh pada 7 September 2004
ketika sedang dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dengan rute
Jakarta-Belanda.
Pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, sempat
dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun dan bebas murni pada 29 Agustus 2018
silam.
Istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati (tengah) didampingi Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana (kanan) dan Wakil Koordinator KontraS Bidang Eksternal Andi Muhammad Revaldy (kiri) di Komnas HAM, Jumat (15/03)
Mantan anggota tim pencari fakta pembunuhan Munir yang
dibentuk SBY, Usman Hamid, mengingatkan kembali "tanggung jawab
negara" atas kasus pembunuhan Munir.
Dia menyayangkan tidak adanya inisiatif formal dari negara termasuk
langkah hukum untuk menimbang dibukanya kembali perkara ini.
Munir, kata pria yang kini menjabat sebagai direktur
eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, adalah pembela HAM dan kekerasan
struktural di Indonesia.
Maka dari itu pembunuhan yang dilakukan terhadapnya, menurut
Usman, bisa diartikan sebagai "tindakan menghentikan perjuangan para
korban dan keluarga korban dari pelanggaran HAM".
Lebih lanjut, Usman menjelaskan bahwa pembunuhan Munir
menunjukkan dimensi sistematis dari sebuah kejahatan. Tak hanya dari segi
perencanaan, tapi juga keterlibatan sistem negara.
"Peristiwa pembunuhan Munir sangat berhubungan dengan
aktivitas Munir selama masa hidupnya, baik dalam hal memperjuangkan keadilan,
mereformasi kelembagaan keamanan—seperti polisi, militer dan intelijen—dan juga
memperjuangkan kebijakan-kebijakan baru yang lebih baik," kata Usman.
Beberapa kebijakan yang disorot Munir sebelum pembunuhan yang
dia alami adalah rancangan undang-undang (RUU) TNI tahun 2004 dan RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004 yang disahkan tak jauh dari momen
pembunuhan Munir, kata Usman.
"Pembunuhan itu juga bisa diartikan sebagai usaha untuk
membunuh partisipasi warga, para aktivis dalam melahirkan kebijakan-kebijakan
yang adil," ujarnya.
Dia mempertanyakan kinerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dalam penyelesaian kasus Munir yang disebutnya memiliki mandat
untuk melakukan pemeriksaan perkara-perkara kejahatan yang diduga sebagai
pelanggaran HAM berat.
"Terlalu lama Komnas HAM di dalam melakukan penyelidikan
ini. Bertele-tele, terlalu birokratis, terlalu teknokratis."
Terakhir kali Komnas HAM menindaklanjuti penyelesaian kasus
pembunuhan Munir adalah pada Maret 2024 lalu, ketika melanjutkan proses
penyelidikan dengan memeriksa sejumlah saksi. Usman Hamid adalah salah satu
yang diperiksa oleh Komnas HAM.
Tahun ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
melanjutkan proses penyelidikan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, dalam
kerangka pelanggaran HAM berat, dengan memeriksa sejumlah saksi.
Pada 15 Maret lalu, Komnas HAM mulai memeriksa Suciwati,
istri mendiang Munir, dan eks anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir,
Usman Hamid.
Sementara, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)
mendesak Komnas HAM untuk segera menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM
Berat.
"Kasus pembunuhan keji terhadap Munir jelas bukanlah
tindak pidana biasa (ordinary crimes)," demikian pernyataan KASUM yang
diterima BBC News Indonesia, Jumat (15/03) sore.
Usai diperiksa, Suciwati mendesak segera dibentuk pengadilan
HAM untuk menyelesaikan kasus pembunuhan suaminya.
"Segera bentuk pengadilan HAM, tentunya itu yang menjadi
akhir dari apa yang kita tuntut," tegasnya kepada wartawan, 15 Maret.
Sementara Usman Hamid mengatakan dia meyakini bahwa
pembunuhan Munir bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Hal itu didasarkan dari fakta-fakta yang ditemukan, antara
lain, dalam penyelidikan oleh TPF kasus pembunuhan Munir yang dibentuk
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Ada [fakta yang disampaikan], semoga [fakta tersebut]
berpengaruh besar dalam arti memenuhi harapan untuk mencapai satu kesimpulan
bahwa ini memang pelanggaran berat HAM," kata Usman Hamid.
"Ada unsur serangan sistematis, ada serangan yang secara
lebih luas ditujukan pada para aktivis ketika itu," tambahnya. (bbc)