Latest Post

Pagar  DPR RI jebol

 

SANCAnews.id – Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, angkat bicara soal pidato Prabowo Subianto di Kongres PAN. Ia menilai pidato itu mengerikan.

 

“Saya termasuk yang rada ngeri mendengar pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres Partai Amanat Nasional (PAN) semalam,” ungkapnya dikutip fajar.co.id dari unggahannya di X, Minggu (25/8/2024).

 

Itu, kata dia berkenan dengan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Jangankan mengapresiasi, Saidiman bilang Prabowo malah mengungkit peristiwa 1998.

 

“Alih-alih mengapresiasi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang sedang berlangsung di berbagai kota di Indonesia, Prabowo malah bercerita tentang gerakan 1998,” ujarnya.

 

Di pidato tersebut, Prabowo disebutnya mengatakan gerakan 98 ditunggangu asing. Menyirarkan peristiwa itu berdampak negatif.

 

“Dia menyebut gerakan 98 itu ditunggangi asing. Dia menyatakan bahwa saat itu Indonesia sudah mau tinggal landas, namun asing masuk intervensi dan memecah belah. Dia menyesalkan peristiwa 98. Tak ada nada positif pada peristiwa 98 yang berhasil menjatuhkan rezim diktator Soeharto tersebut. Yang tersirat justru penyesalan mengapa itu terjadi,” jelasnya.

 

Kini, hal demikian disebutnya akan terjadi lagi. Karenanya presiden terpilih itu mewanti-wanti masyarakat diadu domba.

 

“Kira-kira dia menganggap sekarang ini mirip 98. Sudah mau tinggal landas, namun mulai diganggu. Dia mewanti-wanti agar rakyat jangan mau diadu domba. Nadanya cenderung melihat demonstrasi besar sekarang karena mau ngerecokin aja niat baik elit yang sekarang mau bersatu,” terangnya.

 

Menteri Pertahanan itu dianggap ingin semua elit bersatu. Namun sejumlah di antaranya enggan melakukan hal itu. Di antaranya PDI Perhuangan.

 

“Dia ingin semua elit bersama dan bersatu. Dia menggunakan analogi warga yang bersatu mau membangun jembatan. Tapi ada sebagian warga yang tidak mau ikut kontribusi,” ujarnya.

 

“Secara tidak langsung, dia mengejek posisi PDI Perjuangan yang tidak mau bergabung dengan koalisi besar pendukungnya. PDI Perjuangan dianggap tidak mau berkontribusi membangun jembatan bersama,” sambungnya.

 

Terlebi h lagi, di pidato tersebut, Prabowo berkali-kali menyatakan bahwa dirinya mendapatkan mandat rakyat. Rakyat banyak ada di belakangnya.

 

“Dalam ruang hampa, pernyataan itu tidak bermasalah. Namun ketika dikatakan di tengah aksi protes warga, dia seolah-olah sedang mengirim pesan bahwa suara dia adalah suara rakyat,” imbuhnya.

 

Sementara di luar itu, dianggap penyimpangan belaka. Yang sedang protes di jalan dan media sosial, diartikan suara minor dari warga yang tidak mau berkontribusi membangun jembatan tapi berisik.

 

“Di awal pidato, dia juga menyinggung sejumlah podcast yang membahas dirinya. Dia menyatakan orang-orang yang membicarakan dirinya itu hanya omon-omon. Sementara dirinya bekerja nyata membantu masyarakat. Dia menanggapi kritik secara negatif. Tak ada apresiasi,” ucapnya.

 

Di pidato itu, Prabowo juga membahas mimpi besar mengelola kekayaan sumber daya Indonesia secara maksimal untuk kemakmuran rakyat. Itu, dinilai Saidiman tidak ada yang keliru. Namun ketika tidak memberi apresiasi bahkan malah nyinyir pada kritik, itulah yang dianggapnya bermasalah.

 

“Ketika kritik dianggap ngerecokin niat atau usaha baik itulah yang bermasalah. Seorang pemimpin menjadi diktator kadang bukan karena tidak punya niat baik, tapi karena jumawa seolah kebaikan hanya ada di pihak mereka,” pungkasnya.

 

Saidiman mengutip St. Bernard of Clairvaux, yang mengatakan "Hell is full of good intensions and wills". Kemudian dibahasakan ulang frase itu dengan "The road to hell is paved with good intentions." 

 

“Acapkali jalan menuju neraka dibuat dengan intensi yang baik. Di mana-mana, diktator selalu punya klaim sedang berbuat baik. Semoga Indonesia terbebas dari pemimpin seperti itu,” pungkasnya. (*)


Awak media mendapatkan pembatasan saat ingin mengambil gambar Presiden Joko Widodo di Kongres III Partai NasDem, Ahad malam, 25 Agustus 2024 

 

SANCAnews.id – Awak media menemui kendala saat hendak mengambil gambar Presiden Jokowi di Kongres III Partai NasDem, Ahad malam, 25 Agustus 2024. Momen itu terjadi saat Jokowi hendak meninggalkan Ruang Sidang Paripurna Jakarta Convention Center.

 

Para wartawan yang sudah siap sekitar 30 menit sebelum Jokowi keluar, tidak kebagian tempat untuk mengambil rekaman mentah dengan peralatan liputan yang ada. Awak media justru berhasil mendapat sedikit tempat, sekitar 10 meter dari salah satu pintu Plenary Hall.

 

Namun, salah seorang staf Protokol dan Pers Istana mengingatkan agar tidak ada sesi cegat atau doorstop. Kemudian, Garda Muda Nasdem itu langsung menutupi media yang sudah bergegas sambil berlutut.

 

Ketua Panitia Pengarah Kongres III Partai NasDem Willy Aditya sempat memerintahkan Garda Pemuda NasDem untuk membuka ruang kepada media. Dia menyampaikan ini usai mendapat keluhan dari salah satu jurnalis Metro TV. Namun pasukan pengawal hanya bergeming.

 

"Kalau nggak ada mereka (media), ini nggak akan besar. Kasih buat doorstop Bang Surya dan Pak Presiden," kata Willy di lokasi pada Ahad di JCC.

 

Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana mengatakan akan mengecek dugaan pembatasan ini. Yusuf mengatakan seharusnya tidak ada yang membatasi kerja media. "Mestinya tidak ada (pembatasan), saya akan cek ke panitia," katanya dihubungi Tempo pada Ahad, 22 Agustus 2024.

 

Ketika hendak keluar kongres Nasdem, Presiden Jokowi tidak memberikan sepatah kata pun. Keluar bersama Surya Paloh, Jokowi hanya melemparkan senyum saat dipanggil media.

 

Narasumber lain seperti mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan bersedia memberikan sesi wawancara kepada awak media yang meliput Kongres III Partai Nasdem. Sementara Surya Paloh tidak berkenan memberi keterangan, walau sempat kembali ke Plenary Hall usai mengantar Jokowi ke salah satu depan pintu JCC untuk pulang.

 

Sebelumya viral berita wartawan dikunci di kantin saat hendak meliput Jokowi di Munas Partai Golkar pada Rabu, 21 Agustus 2024. Namun saat itu Jokowi masih memberikan kesempatan wartawan Istana Kepresidenan menanyakan dua pernyataan soal kehadirannya di acara partai pohon beringin. (tempo)


Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) selenggarakan launching dan Munas ke-I di Hotel Jayakarta, Jogjakarta, Minggu (25/8). (Istimewa) 

 

SANCAnews.id – Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA RI) menggelar acara perdana berupa launching dan Musyawarah Nasional (Munas) I di Hotel Jayakarta, Yogyakarta, Minggu (25/8).

 

Acara yang dihadiri oleh para advokat se-Indonesia ini juga dihadiri oleh sejumlah pejabat pengadilan, sejumlah Ketua Pengadilan Negeri se-wilayah Yogyakarta, Kementerian Hukum dan HAM, kepolisian, dosen hukum, guru besar hukum, serta tokoh masyarakat.

 

”Kami merasa bangga dan terharu karena banyaknya dukungan kepada DePA-RI,” kata Ketua Umum DePA RI TM Luthfi Yazid dalam keterangan rilisnya.

 

Mencermati secara seksama perkembangan terakhir di Tanah Air, terutama dalam hal penegakan supremasi hukum dan keadilan, Luthfi mengatakan, sudah saatnya masyarakat melakukan introspeksi mendalam.

 

Guna bertanya dalam lubuk hati, adakah sesuatu yang keliru dalam penegakan hukum yang dilakukan? Apakah mandat Konstitusi, UUD 1945, dalam mewujudkan cita-cita sebagaimana ditekadkan dalam pasal 1 ayat 3 (negara hukum) dan pasal 28 D ayat 1 (kepastian hukum yang adil), sebagai pedoman utama itu, telah dilaksanakan?

 

”Indonesia sudah 79 tahun usianya sejak diproklamasikan. Ujian sejarah telah banyak kita lalui. Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, serta memasuki era reformasi sampai saat ini. Jika sejarah kita mau lebih ringkas lagi, kita fokus dengan apa yang terjadi beberapa hari ini di hampir semua wilayah di seluruh tanah air terkait demonstrasi terhadap upaya Baleg DPR RI untuk merevisi UU Pilkada serta berupaya mensubordinasi konstitusi dengan mencoba menganulir putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/2024 yang baru saja diputuskan,” jelas Luthfi Yazid.

 

Akibat upaya penjegalan konstitusi, masyarakat, mahasiswa, buruh, dan kalangan kampus, turun ke jalan melakukan demonstrasi di berbagai daerah dengan mendatangi gedung DPR RI, Gedung DPRD, KPU, KPUD, dan berbagai gedung pemerintah lain.

 

”Mereka bersuara kompak, hentikan kongkalikong Baleg DPR RI yang inkonstitusional itu. Akhirnya, setelah demonstrasi yang merebak di mana-mana dan MK menyerukan agar putusan MK dilaksanakan, sebab bila tidak dilaksanakan maka hasil Pilkada dianggap tidak sah oleh MK, DPR pun bertekuk lutut meski tidak meminta maaf kepada publik atas kebrutalan itu dan mengeluarkan statement bahwa putusan MK yang harus dilaksanakan,” terang Luthfi Yazid.

 

Luthfi Yazid yang pernah menjadi peneliti di University of Gakushuin, Tokyo itu menambahkan, belakangan ini sangat banyak sekali anomali-anomali yang terjadi. Upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan berbagai cara dilakukan.

 

Seperti lahirnya UU Omnibus Law secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan partisipasi publik secara maksimal, ketidaknetralan aparat, cawe-cawe dalam Pilpres/Pilkada, menyempitnya kebebasan sipil, intimidasi terhadap jurnalis.

 

Luthfi menambahkan, lahirnya DePA RI diharapkan memberikan warna lain, di tengah banyaknya sinisme kepada para advokat di tanah air, yang sering disamakan sebagai profesi yang hanya mencari duit dengan kehidupan yang gemerlap namun tidak bersuara saat terjadi penindasan, kedholiman serta penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Luthfi menegaskan, selama memimpin DePA RI, dia berjanji tidak akan pernah bersikap partisan. Tetap akan independen, berdiri di semua golongan dan berpijak pada nilai kebenaran dan keadilan.

 

”Sekali lagi, saya akan berada di tengah bersama rakyat pencinta kebenaran dan keadilan, tidak ke kanan, tidak ke kiri tidak akan membedakan suku, agama, ras, gender serta perbedaan pandangan politik. Saya akan tetap mengawal profesi advokat dan DePA RI untuk terus bersikap objektif dengan nurani, nalar dan selalu berpijak pada Pancasila dan UUD 1945,” ucap Luthfi Yazid. (jawapos)


Prabowo Subianto/Net 

 

SANCAnews.id – Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto, diyakini geram terhadap Presiden Joko Widodo yang haus kekuasaan dengan membiarkan keluarganya menduduki posisi strategis di pemerintahan.

 

Hal itu disampaikan Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam menanggapi pernyataan Prabowo dalam acara penutupan Kongres VI PAN di Kempinski Grand Ballroom, Jakarta, Sabtu malam (24/8). Di mana, Prabowo menyoroti haus kekuasaan yang dapat merugikan bangsa.

 

"Sasaran Prabowo jelas kepada Jokowi yang haus akan kekuasaan. Apa yang disampaikan Prabowo merupakan bentuk kegeraman kepada orang terdekatnya saat ini yang membiarkan keluarganya untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan," kata Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (25/8).

 

Saiful meyakini, pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut merupakan kata hatinya dari lubuk hati yang terdalam.

 

"Prabowo terpaksa mengungkapnya di muka publik, karena telah bosan dengan keadaan saat ini. Hal tersebut merupakan gaya blak-blakan Prabowo yang selama ini ditutup-tutupi selama pilpres berlangsung," pungkas akademisi Universitas Sahid Jakarta ini. (*)


Bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat saat demontrasi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Aksi menolak upaya revisi Undang-undang Pilkada oleh DPR RI tersebut berakhir ricuh dengan pihak kepolisian 

 

SANCAnews.id – Komisi III DPR RI mengecam berbagai tindakan anarkis yang dilakukan aparat keamanan terhadap demonstran saat unjuk rasa menolak RUU Pilkada. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Gilang Dhielafararez, menyoroti dugaan permintaan tebusan dan doxing yang dilakukan aparat terhadap demonstran.

 

Berdasarkan informasi, lebih dari 300 pengunjuk rasa ditangkap dalam aksi unjuk rasa menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis (22/8). Para pengunjuk rasa yang ditangkap mulai dibebaskan setelah mendapat jaminan dari pimpinan DPR.

 

"Anak muda pejuang demokrasi Indonesia ini harusnya didukung dan dilindungi, bukan malah ditangkap. Kami meminta pihak keamanan untuk segera melepaskan para demonstran yang belum dibebaskan. Bukan hanya yang di Jakarta, tapi di daerah-daerah juga,” kata Gilang Dhielafararez kepada wartawan, Minggu (25/8).

 

Gilang menekankan, Indonesia merupakan negara demokrasi di mana aksi unjuk rasa dilindungi oleh konstitusi. Ia menekankan, aparat keamanan seharusnya tidak melakukan penangkapan kepada demonstran yang tidak melakukan provokasi.

 

"Demonstrasi adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Penting bagi aparat untuk menghormati hak ini selama demonstrasi berlangsung damai dan tidak melanggar hukum," tegas Gilang.

 

"Penangkapan harus dilakukan sesuai prosedur hukum dan hak asasi manusia harus tetap dijaga," sambungnya.

 

Menurut Gilang, jika memang ada yang melakukan provokasi harus didalami sesuai aturan yang berlaku dan jangan asal main tangkap. Menurutnya, aparat keamanan seharusnya dapat melakukan pendekatan yang lebih humanis.

 

"Penggunaan kekerasan yang berlebihan dapat memperburuk situasi dan menciptakan ketidakpercayaan antara masyarakat dan aparat. Seharusnya aparat lebih humanis saat di lapangan agar lebih efektif dalam meredakan ketegangan," terang Gilang.

 

Legislator asal Jawa Tengah II ini juga mengecam berbagai tindakan kekerasan aparat kepada pendemo yang videonya banyak tersebar di masyarakat dan media sosial. Gilang mengatakan, banyak menemukan laporan adanya dugaan pelanggaran aparat dalam bentuk intimidasi, penganiayaan, dan kekerasan kepada pendemo hingga jurnalis yang meliput aksi.

 

“Demonstrasi itu bentuk publik dalam menyampaikan pendapat di negara demokrasi ini. Institusi keamanan harus mengusut anggotanya yang diduga melakukan kekerasan kepada para pendemo, jurnalis, maupun elemen masyarakat lain saat demo kemarin,” tegasnya.

 

Gilang mendukung upaya pimpinan DPR yang akan membentuk tim khusus untuk memantau korban luka akibat bentrokan dalam unjuk rasa itu.

 

"Aparat keamanan harus bertindak profesional dan proporsional dalam menangani demonstrasi. Komisi III DPR mengecam tindakan kekerasan oleh oknum aparat saat demo RUU Pilkada, yang juga banyak merugikan masyarakat umum. Jajaran keamanan harus bertanggung jawab,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Gilang menyoroti dugaan pemerasan oleh oknum aparat yang meminta tebusan uang untuk pembebasan pendemo yang ditangkap.

 

"Permintaan uang untuk pembebasan pendemo yang ditangkap itu sudah masuk kategori pemerasan. Yang benar saja dong, masak aksi membela demokrasi kaya gini kok masih juga dijadikan bahan obyekan. Kalau sampai ini benar terbukti, harus ada evaluasi," cetus Gilang.

 

Sebagaimana diketahui, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) dalam konferensi pers di Gedung YLBHI beberapa waktu lalu menyebutkan, penanganan aparat keamanan pada aksi demonstrasi elemen masyarakat dan mahasiswa menolak revisi UU Pilkada di DPR dinilai brutal. Sehingga banyak pedemo yang mengalami luka-luka akibat penanganan yang dilakukan aparat.

 

Sejumlah aksi brutal diantaranya pemukulan dengan tongkat oleh aparat, hingga penembakan gas air mata secara brutal dan tidak terukur. Akibatnya masyarakat sipil yang tidak ikut demo pun terdampak.

 

Bahkan ada beberapa pendemo yang mengalami cedera serius, seperti mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) yang harus menjalani operasi mata, karena diduga terkena lemparan batu dari arah aparat saat kericuhan terjadi di depan gedung DPRD Jawa Barat di Kota Bandung. (jawapos)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.