Latest Post

Sejumlah aparat memukul  pengunjuk rasa yang masuk ke kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2208). Aksi tersebut sebagai penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi 

 

SANCAnews.id – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima sedikitnya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Pilkada di depan Gedung DPR, Kamis (22/08). Polda Metro Jaya mengklaim telah menangkap lebih dari 300 pendemo.

 

Menurut tim yang digagas sejumlah lembaga bantuan hukum, puluhan aduan itu dihimpun dengan cara melakukan advokasi langsung, pendampingan di Polda Metro Jaya, serta pemantauan kantor-kantor polisi khususnya di Jakarta Barat dan Polsek Tanjung Duren.

 

"Kami juga mendesak polisi segera membebaskan teman-teman yang tidak bersalah yang ditangkap tanpa alasan," ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/08).

 

Salah satu keluarga demonstran yang diduga ditangkap polisi mengeklaim saat mendatangi Polda Metro Jaya untuk menemui kerabatnya, dia sempat dihalang-halangi oleh polisi. Polisi juga tidak memberikan informasi apa-apa saat ditanya mengenai kerabatnya.

 

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengeklaim pihaknya telah menangkap 301 peserta aksi demonstrasi sehari sebelumnya. Mereka diduga mengganggu ketertiban, beberapa di antaranya diduga melakukan perusakan hingga menyerang petugas.


Artikel-artikel yang direkomendasikan:

'Ada luka lebam di sekitar mata, seperti bonyok'

Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen adalah salah satu pengunjuk rasa yang ditangkap polisi saat mengikuti demonstrasi di komplek gedung DPR pada Kamis (22/08). Dia akhirnya dibebaskan pada Jumat (23/08) pukul 18.00 WIB.

 

Kakak kandung Delpodro, Delpiero Hegelian, mengaku sempat panik lantaran tidak mengetahui keberadaannya sejak Kamis (22/08) pukul 17.00 WIB. Dia menuturkan keluarga semula menduga sang adik ditangkap polisi.

 

Kekhawatiran itu akhirnya terjawab, karena sekitar pukul 21.00 WIB seorang pendamping hukum mengabarkan jika Delpedro telah berada di Polda Metro Jaya.

 

Begitu mengetahui sang adik ditahan, ia langsung mendatangi kantor Polda Metro Jaya namun yang terjadi dirinya malah dihalang-halangi. Bahkan, klaimnya, polisi tidak memberikan informasi apa-apa saat ditanya mengenai informasi adiknya tersebut.

 

"Pada saat saya dan kawan saya sampai di Polda Metro Jaya sebenarnya ada sedikit halangan dari aparat di pintu masuk. Saya akhirnya masuk sendirian. Ketika di dalam pun, saya masih kebingungan karena keberadaan Pedro belum jelas," ungkap Delpedro saat diwawancarai pada Jumat (25/08).

 

"Dia masuk [ke taman DPR] tujuannya untuk mengobservasi, meneliti karena terkait dengan pekerjaannya di Lokataru. Cuma ketika ada peringatan [polisi] untuk mundur, dia itu keburu ditangkap. Jadi dia tidak sempat untuk mundur," bebernya.

 

Delpiero meyakini adiknya tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum di sana. Itu mengapa dia sangat mengecam penangkapan sang adik karena polisi dianggap telah bertindak represif.

 

"Saya amat sangat mengecam karena tidak layak dan tidak etis, juga tidak beradab untuk dilakukan karena demonstrasi dijamin oleh konstitusi dan undang-undang," ungkapnya sembari berharap Delpedro bisa dibebaskan bersama dengan peserta demo lainnya.

 

Merujuk pada informasi pendamping hukum yang menemui sang adik, kondisinya menyedihkan. Ia mengalami luka lebam di sekitar mata. Kendati dia mengaku tak tahu pasti apa penyebabkan, apakah terkena pukulan atau hantaman benda tumpul.

 

"Berdasarkan informasi yang saya terima, ketika Pedro ditangkap ada luka lebam di sekitar mata, seperti bonyok."


"Sampai pada akhirnya jam 23.55 WIB atau sekitar tengah malam, baru dapat kabar Pedro itu sudah ada di dalam [Polda Metro Jaya]. Saat saya mau masuk pun tidak bisa, hanya pendamping hukum. Tetapi pendamping hukum juga dihalangi petugas untuk melakukan pendampingan."

 

Delpedro diduga ditangkap saat menjalani tugasnya sebagai Direktur LSM Lokataru yakni sedang mengobservasi dan meneliti keputusan Badan Legislasi DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas suara partai politik dan gabungan partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Termasuk ambang batas usia calon kepala daerah.

 

Sang adik, sambungnya, pada Kamis itu berada di area taman DPR ketika diduga ditangkap polisi. Ia bisa masuk dengan melompati pagar yang berhasil dirobohkan para pengunjuk rasa.

 

Saat itu, menurut keterangan adik bungsunya tersebut, polisi sempat memerintahkan massa untuk mundur. Tapi sebelum Delpedro keluar, aparat keburu menangkapnya. Padahal situasi diklaim masih tertib. 

M Fatah Akrom, mahasiswa UIN Salatiga, dirawat di sebuah rumah sakit setelah menjadi korban kekerasan aparat usai demonstrasi di Semarang, Kamis (22/08) 


Sementara itu di Semarang, Jawa Tengah, dua demonstran menjadi korban gas air mata usai kericuhan yang terjadi pascaunjuk rasa di kantor DPRD Jawa Tengah, Kamis kemarin. Menurut perhitungan sejumlah pihak, setidaknya terdapat 18 pengunjuk rasa yang dilarikan ke beberapa rumah sakit di Semarang.

 

Seorang mahasiswa Universitas Diponegoro bernama Dimas Afila terluka karena selongsong peluru gas air mata terbang mengenai batang hidungnya.

 

"Awalnya saya berada di barisan tengah, ketika massa aksi sudah mau masuk. Lalu karena saya merasa cukup lelah saya ke belakang massa untuk minum," ujarnya.

 

"Lalu saya mau masuk lagi ke barisan awal, ternyata massa aksi sudah kaos. Waktu itu sudah ada semprotan water cannon. Belum sempat melihat apa-apa, tiba-tiba selongsong gas air mata mendarat di batang hidung saya," tuturnya.

 

Ketika terkena selongsong itu, Dimas berada di sisi kanan Jalan Menteri Supeno, dekat gerbang DPRD Jateng yang dirobohkan.

 

"Saya langsung lari ke Taman Indonesia Kaya Kota Semarang. Namun karena situasi masih kaos, saya lari ke SMA 1," kata Dimas.

 

Saat di depan sekolah itu, dirinya sempat mendapat penanganan dari tim medis. Namun karena darah masih bercucuran, Dimas dilarikan teman-temannya ke kompleks Magister Undip, untuk menerima pertolongan medis lebih lanjut.

 

"Saat bergeser ke situ, ternyata aparat kepolisian masih mengejar dan menembakan beberapa kali gas air mata," ujarnya.

 

Sekitar pukul 14.00 WIB, saat Dimas dan kawan-kawannya merasa situasi sudah mulai tenang, barulah mereka menuju Rrumah Sakit Roemani.

 

"Saya dapat dua jahitan karena mengalami robek di bagian batang hidung," ucapnya.

 

Tak hanya Dimas, seorang anggota Pers Mahasiswa dari Kampus UIN Salatiga, bernama Muhammad Fatah Akrom, berkata juga menjadi korban gas air mata yang ditembakan aparat kepolisian. Dia bahkan sempat pingsan akibat gas air mata itu.

 

"Waktu itu saya tidak ingat jamnya, karena situasi benar caos. Awal letupan gas air mata pertama itu saya masih berada kerumunan massa aksi. Letupannya didekat saya, karena saking banyaknya orang dan desak-desakan sehingga saya mulai lunglai," ujarnya.

 

Tak lama setelah itu, muncul lagi beberapa kali tembakan gas air mata di dekatnya. Akibatnya, dia jatuh pingsan.

 

"Saya posisi sudah dipinggir, tapi ternyata arah angin ke saya. Kondisi saya lemas, terus terjatuh di situ (trotoar Jalan Menteri Supeno)," ucapnya.

 

Fatah digotong dua orang temannya. Mereka membawa Fatah untuk mendekat ke ambulans agar mendapatkan oksigen.

 

"Namun karena tak kunjung dapat bantuan medis, saya dibawa ke pelataran taman Indonesia Kaya yang menjadi titik berkumpulnya para korban," ucapnya.

 

Nahasnya, tembakan gas air mata saaat itu masih terus ditembakkan aparat, bahkan mengarah ke lokasi gawat darurat untuk para korban di Taman Indonesia Kaya.

 

"Saat tengah dalam perawatan disitu (Taman Indonesia Kaya), teman saya menyaksikan kembali terjadi penembakan gas air mata tepat dilokasi saya dirawat," katanya.

 

Karena tembakan gas air mata tersebut, Fatah sempat ditinggalkan temannya yang tunggang langgang menghindari efek gas air mata.

 

"Sadar-sadar saya sudah di RS Roemani, saya kira sudah malam, ternyata saat itu baru pukul 15:00 WIB," ucapnya.

 

"Saya dehidrasi, tenggorokan kering dan kepala langsung pusing. Waktu itu mungkin karena kelelahan begadang semalaman dan capek karena usai menempuh perjalanan dari Salatiga," ujarnya.

Seorang mahasiswa meletakkan bunga pada barikade polisi yang menjaga aksi unjuk rasa di Gerbang Pancasila, kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024) 


'Kami diadang dan diteriaki'

Pengacara publik dari LBH Jakarta, Muhammad Fadhil dan Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengatakan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) setidaknya menemukan apa yang disebutnya sebagai tindakan brutal aparat polisi dalam pengamanan aksi demonstrasi penolakan RUU Pilkada, pada Kamis (22/08).

 

Tindakan itu di antaranya penembakan gas air mata secara tidak terukur ke berbagai arah, dugaan penggunaan tongkat sebagai oleh satuan Brimob, dugaan pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang, termasuk penggeledahan tak sesuai prosedur serta represi terhadap kebebasan pers.

 

"Penembakan gas air mata secara brutal di lapangan dan itu dilakukan secara tidak terukur karena menembak ke berbagai arah. Akibatnya tidak hanya membahayakan massa, tapi warga sipil yang tidak ikut aksi," ungkap Andrie.

 

"Ada pula penggeledahan handphone yang semestinya dilakukan atas izin pengadilan serta dugaan pelanggaran terkait proses hukum terhadap anak yang tidak memenuhi sistem peradilan anak," jelasnya.

 

Buntut dari tindakan kekerasan polisi tersebut, Polda Metro Jaya disebut setidaknya menahan puluhan orang yang diduga peserta demonstrasi berdasarkan pemantauan lapangan.

 

Fadhil mengatakan pihaknya menerima kabar soal akan adanya peserta aksi demo yang akan diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk diproses hukum lebih lanjut pada Kamis (20/08) pukul 20.00 WIB.

 

Malam itu juga, Tim TAUD langsung menyambangi Polda Metro Jaya untuk memberikan bantuan hukum.

 

"Itu kewajiban kami sebagai pendamping hukum," ujar Fadhil dalam konferensi pers di Jakarta.

 

"Itu juga merupakan hak bagi siapa pun bagi yang berhadapan dengan proses peradilan pidana," sambungnya.

 

Fadhil mengeklaim, ketika sedang menjalankan tugas, pihak Polda Metro Jaya melakukan tindakan-tindakan pelecehan terhadap marwah profesi, yakni menghalang-halangi kerja profesional advokat.

 

Tindakan-tindakan itu antara lain mengadang, meneriaki, dan memberikan argumentasi tidak logis.

 

"Argumentasi itu adalah kami tidak memiliki kedudukan hukum untuk mendampingi para massa aksi yang dibawa, intinya tidak ada teken surat kuasa."

 

Padahal menurutnya, kedudukan hukum seorang advokat tidak hanya ditentukan oleh surat tertulis, akan tetapi "kuasa secara lisan" juga memiliki kekuatan hukum yang kuat.

 

Dan yang lebih mengherankan, katanya, tindakan menghalang-halangi upaya bantuan hukum oleh polisi disandarkan pada dalih "belum adanya arahan dari atasan".

 

Perdebatan seperti ini, lanjutnya, terjadi sebanyak lima kali.

 

"Bagi kami enggak masuk akal."

 

Dengan akses yang masih terbatas tersebut, Fadhil mengatakan hingga saat ini pihaknya baru bisa mendampingi 40 orang demonstran yang masih berada di Polda Metro Jaya.

 

Tapi, seperti apa kedudukan hukum mereka apakah sebagai saksi atau tersangka masih tidak jelas, ungkapnya.

 

Ini karena proses pemeriksaan dituangkan dalam secarik kertas yang berjudul "berita acara interogasi"—yang tak dikenal dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

'Kami menemukan ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR'

Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengeklaim berdasarkan penelusuran mereka di lapangan dan mendengarkan pengakuan seorang korban kekerasan polisi yang masih ditahan di Polda Metro Jaya, terdapat apa yang disebutnya sebagai ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR.

 

Di ruang penahanan sementara itu, klaim Andrie, peserta demonstrasi yang ditangkap dipukuli habis-habisan sampai berdarah hingga akhirnya diboyong ke Polda Metro Jaya.

 

Andrie Yunus menceritakan pengakuan seorang korban yang tak disebutkan namanya, yang bersaksi bahwa ketika tembakan gas air mata berlangsung di sekitar halaman depan gedung DPR pada Kamis (22/08) malam, dia sebetulnya hendak lari demi menyelamatkan diri. Namun sial, korban tertangkap polisi dan jatuh tersungkur. 


Korban lantas dipukuli oleh sekitar 15 orang polisi di bagian kepala, kemudian ditendang, sampai dipaksa mengakui bahwa dia melakukan pelemparan batu dan melakukan perobohan terhadap gedung DPR.

 

"Yang mana pemaksaan pengakuan dengan penyiksaan... tuduhan-tuduhan itu tidak pernah dilakukan oleh korban," ucapnya.

 

"Selain itu ketika korban ditangkap di halaman depan DPR dan dibawa ke posko di area DPR, dia dioper lagi ke kantor-kantor polisi lain," sambungnya.

 

"Selama satu titik posko menurut korban mengalami tindakan kekerasan seperti dipukul dan ditendang."

 

Pengakuan korban itu, kata Andrie, oleh tim TAUD lantas ditelusuri ke lapangan.

 

Tim mengecek langsung ke salah satu ruangan di dalam kompleks DPR yang diklaim "dijadikan tempat penahanan sementara sebelum dilimpahkan ke Polda Metro Jaya".

 

Di ruang tersebut, ungkapnya, banyak terdapat ceceran darah yang baginya kian menguatkan apa yang disebut sebagai brutalitas kepolisian sejak penangkapan di area sekitar gedung DPR.

 

Selain kekerasan fisik, tim TAUD juga meyakini terjadi kekerasan psikis dan verbal.

 

Polisi: 301 orang yang diamankan'

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengeklaim 301 peserta aksi demonstrasi telah diamankan oleh kepolisian.

 

Mereka yang ditangkap terdiri dari 50 orang diamankan oleh Polda Metro Jaya, 143 orang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Timur, 3 orang oleh Polres Jakarta Pusat dan 105 orang oleh Polres Metro Jakarta Barat.

 

"Dari proses pengamanan ada 301 orang yang telah diamankan oleh jajaran Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, Polres Jakarta Timur, dan beberapa Polsek dan Polres Jakarta Barat,” ungkap Ade kepada wartawan di kantor Polda Metro Jaya, Jumat (23/08).

 

Ade mengungkapkan mereka yang ditangkap termasuk di antaranya yang membakar mobil patroli polisi di Pejompongan, Jakarta Pusat.

 

Ade mengatakan mereka yang ditangkap diduga mengganggu ketertiban. Beberapa di antara mereka juga melakukan perusakan hingga menyerang petugas.

 

"Orang-orang yang diamankan ini diduga mengganggu ketertiban, diduga merusak, diduga tidak mengindahkan peringatan petugas kami di lapangan, ada juga yang diduga melakukan kekerasan terhadap petugas," ujarnya.

 

Beberapa orang yang ditangkap di antaranya sudah dipulangkan dan beberapa orang lainnya masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

 

"Jadi untuk yang di Jakarta Barat semuanya sudah selesai. Di Polda itu tujuh yang sudah dipulangkan, enak anak dan satup perempuan. Sebanyak 43 masih dilakukan pedalaman. Di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat masih dilakukan pendalaman," ungkap dia. (bbc)


Ratusan pelajar STM melakukan aksi lanjutan Kawal Putusan MK dan menolak pengesahan revisi UU Pilkada menggeruduk Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta, Jumat 23 Agustus 2024. Aksi demonstrasi muncul setelah adanya upaya dari DPR yang disebut-sebut bakal menganulir putusan MK. Upaya anulir putusan MK itu dilakukan melalui agenda rapat Badan Legislasi atau Baleg DPR. Aksi demonstrasi dimulai pada Kamis, 22 Agustus 2024, yang diikuti berbagai elemen masyarakat mulai dari mahasiswa hingga koalisi sipil  

 

SANCAnews.id – Beberapa media massa Jepang menyoroti isu terkini menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, yaitu demonstrasi pada Kamis lalu yang memprotes revisi RUU Pilkada pasca putusan MK terkait syarat usia minimum calon kepala daerah.

 

The Japan Times, misalnya, dalam artikelnya yang berjudul "Power struggle between Indonesia’s court and parliament sparks protests" menulis bahwa DPR Indonesia telah menunda pengesahan revisi RUU Pikada yang telah memicu protes, menyusul penolakan undang-undang tersebut karena dianggap memperkuat pengaruh politik Presiden Joko Widodo yang akan lengser.

 

Media itu mengatakan perubahan RUU Pilkada yang ditentang banyak pihak akan menghalangi kritik keras pemerintah dalam pemilihan gubernur Jakarta.

 

Perubahan itu juga membuka jalan bagi putra bungsu Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam pemilihan kepala daerah di Jawa pada bulan November ini.

 

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pengesahan dalam sidang paripurna DPR RI itu ditunda karena jumlah anggota yang hadir  tak memenuhi syarat kuorum.

 

Namun, adu kekuatan antara parlemen dan lembaga yudikatif itu disebutkan terjadi di tengah perkembangan politik yang dramatis selama sepekan di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia itu dan terjadi di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo periode kedua.

 

Manuver politik itu juga memicu gelombang protes daring yang memunculkan poster berlatar belakang warna biru bertuliskan “Peringatan Darurat” di atas lambang negara Indonesia burung Garuda di berbagai media sosial.

 

Ratusan peserta aksi mengenakan baju hitam berkumpul di luar gedung DPR, Jakarta, Kamis. Aksi dengan tuntutan senada juga pecah di beberapa kota lain seperti Surabaya dan Yogyakarta. Sebanyak 3.000 personel polisi telah dikerahkan untuk mengantisipasi masa di Jakarta.

 

Dalam putusan MK terhadap permohonan perkara No.70/PUU-XXII/2024 itu, salah satunya diatur usia kandidat yang berhak maju dalam Pilkada minimal 30 tahun saat penetapan calon.

 

“Aturan tersebut secara efektif menjegal pencalonan putra bungsu Jokowi, Kaesang yang masih berusia 29 tahun, dari kontestasi wakil gubernur di Jawa Tengah dan memungkinkan Anies Baswedan, yang saat ini favorit, untuk melangkah di Pilkada Jakarta,” tulis The Japan Times.

 

Media itu juga menyebutkan bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan segera dilantik pada 20 Oktober 2024 dengan wakil presiden terpilih yang merupakan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

 

Selain The Japan Times, media ekonomi Nikkei Asia juga menyoroti isu serupa dalam beritanya yang berjudul "Prabowo extends grip on Indonesia parliament as parties join his coalition".

 

Genggaman Prabowo Subianto disebut semakin kokoh di parlemen setelah nyaris seluruh partai politik bergabung bersama koalisinya.

 

Koalisinya itu saat ini didukung13 parpol, termasuk tujuh dari delapan parpol yang memenangkan kursi DPR dalam pemilihan legislatif Februari lalu.

 

“Mereka akan menguasai 80 persen kursi DPR, dua kali lipat dari jumlah yang diperoleh anggota koalisi sebelumnya, termasuk Partai Gerindra milik Prabowo,” tulis Nikkei.

 

Hanya PDIP sebagai pemenang Pemilu legislatif 2024 dengan perolehan 17 persen suara yang tampaknya berperan sebagai oposisi.

 

Peralihan parpol ke Koalisi Indonesia Maju Plus itu dikaitkan dengan pemilihan gubernur, wali kota dan bupati yang harus mengumpulkan dukungan sedikitnya 20 persen di DPRD.

 

Namun, MK menguji abang batas tersebut yang dianggap “angin segar” bagi para aktivis pro-demokrasi di tengah kekhawatiran aturan lama.

 

Dalam putusan MK yang disambut baik kalangan akademisi dan berbagai elemen masyarakat itu disebutkan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak punya kursi DPRD.

 

Kelegaan itu tidak berlangsung lama sebab DPR menggelar revisi RUU Pilkada untuk menganulir putusan MK tersebut yang akhirnya menuai protes baik secara daring maupun aksi demonstrasi di depan gedung DPR. (tempo)


Massa aksi dari elemen mahasiswa berhasil menjebol pintu Gerbang utama DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024) 

 

SANCAnews.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pembuat undang-undang, baik legislatif maupun eksekutif. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah baru dan dapat digugat kembali melalui uji materi.

 

Praktisi hukum Henry Indraguna mengatakan DPR seharusnya tidak menafsirkan apa yang sudah jelas diatur dalam putusan MK.

 

"Saya menyarankan regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada hanya perlu dibenahi dan disesuaikan dengan Putusan MK, bukan dibuat berbeda dengan Putusan MK tersebut," ujarnya, Jumat (23/8).

 

Henry mengatakan, dari putusan MK tersebut dapat dipastikan ketersediaan calon beragam. Jadi, masyarakat pun memiliki pilihan yang beragam.

 

"Dalam putusannya, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD," katanya.

 

"MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada," tambah Henry.

 

Selain itu, MK juga memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.

 

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh gugatan terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada. Gugatan nomor 70/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh dua orang mahasiswa Fahrur Rozi, dan Anthony Lee. Mereka menggugat syarat minimal usi pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur.

 

Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e disebutkan bahwa calon gubernu berusia paling rendah 30 tahun dan wakil Gubernur. Kemudian berusia minimal 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.

 

Aturan ini digugat karena adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyebutkan bahwa seseorang maju jadi calon kepala daerah berusia 30 tahun saat pelantikan, bukan ditetapkan sebagai calon.

 

Sedangkan, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati batas usia cagub-cawagub merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA). Yakni minimal 30 tahun sejak pelantikan kepala daerah terpilih.

 

Kesepakatan ini diambil setelah disetujui oleh mayoritas fraksi, kecuali fraksi PDIP dalam rapat Panja RUU Pilkada di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8).

 

Kesepakatan itu kembali membuka peluang Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep untuk berlaga pada Pilkada Serentak 2024 di level provinsi alias pilgub.

 

Sebelumnya, peluang Kaesang tertutup untuk Pilkada 2024 level provinsi, karena Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan usia cagub-cawagub minimal 30 tahun pada saat ditetapkan sebagai calon. (jawapos)

Ilustrasi pengeroyokan 

 

SANCAnews.id – Kasus dugaan penganiayaan yang dialami jurnalis FAJAR berinisial BS tertahan di Polda. Sudah lebih dari seminggu dilaporkan, namun belum ada perkembangan.

 

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Makassar Kompol Devi Sujana saat dikonfirmasi belum memberikan penjelasan terkait perkembangan kasus tersebut. Namun, ia memastikan pihaknya akan memberikan perhatian khusus.

 

"Saya cek dulu bro. Segera diatensi," singkat Devi kepada FAJAR, Rabu, 21 Agustus 2024.

 

Diketahui, dugaan pengeroyokan dialami BS di tempat ia menumpang tinggal di Kantor Yayasan Zakat Infaq Sedekah Pemburuh Amal Saleh Jl Komp. Ukhuwah UMI, Makassar, pada Jumat, 9 Agustus 2024, sekitar pukul 14.00 Wita.

 

Terduga pelakunya adalah dua orang pria yang bekerja di yayasan tersebut. Masing-masing yaitu Rifaldi dan Hermansyah alias Aso.

 

BS menceritakan, pengeroyokan dialaminya berawal ketika dirinya sedang makan siang. Di saat bersamaan datang Rifaldi menegurnya dengan nada yang menyinggung.

 

BS yang tidak terima lantas membalas singgungan Rifaldi, hingga terjadi ketegangan antara keduanya.

 

"Saat itu saya sedang makan siang, pelaku Rifaldi tiba-tiba datang dan menegur saya dengan nada yang menyinggung," ujar BS menceritakan pristiwa nahas yang dialaminya.

 

Saat ketegangan di antara keduanya terjadi, terduga pelaku lainnya yaitu Aso datang untuk membela Rifaldi dengan meneriaki BS. Kemudian sambil berlari, ia menghujani pukulan kepada BS secara membabi buta.

 

"Sebelum saya dipukul itu, Rifaldi lebih dulu memiting saya," ucapnya.

 

"Nah, dalam kondisi terdesak karena dipiting dan dipukuli, saya merasa sulit bergerak dan bernafas. Saya kemudian mencari sesuatu untuk melepaskan diri, dan menemukan pisau dapur," sambungnya.

 

Pisau dapur yang digenggam BS itu digunakan untuk menakut-nakuti Rifaldi dan Aso, agar keduanya berhenti melakukan pemukulan terhadap dirinya. Namun, bukannya berhenti, Aso justru mengambil badik.

 

"Pisau saya genggam baru bilang ke mereka untuk melepaskan saya, kalau tidak saya tusuk. Tujuan saya bilang begitu hanya agar dilepaskan dari pitingannya Rifaldi," tutur BS.

 

"Tapi Aso ini kemudian lari menuju kamar, mengambil badik, dan mengayunkannya ke arah saya. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara saya dan Aso. Dalam peristiwa itu, kami sempat berhadapan dan tangan saya terkena badik yang diayunkan pelaku," imbuhnya.

 

Setelah kejadian itu, keesokan harinya pada 10 Agustus 2024, BS melapor ke Mapolrestabes Makassar dan menjalani visum di RS Bhayangkara Makassar. Namun disesalkannya, laporannya hingga saat ini belum ada perkembangan.

 

"Saya berharap laporan saya bisa segera diusut, dan polisi menangkap para pelaku yang telah mengeroyok saya waktu itu," tukasnya. (*)


Diskusi publik Suaranetizen+62/Ist  

 

SANCAnews.id – Diskusi publik yang digelar Suaranetizen+62 mencuat setelah para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga bertugas melindungi keluarga Joko Widodo pasca-lengsernya.

 

Hal itu dipertanyakan Iskandar Sitorus selaku moderator kepada para pembicara yang hadir, termasuk Roy Suryo selaku konsultan IT KPK saat pertama kali berdiri.

 

"Awal KPK pertama berdiri independen sesuai UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, lembaga yang tidak bergantung pada siapa pun," kata Roy Suryo, Jumat (23/8).

 

Begitu diubah UU KPK No 19 Tahun 2019 di era Presiden Jokowi kemudian langsung berbeda auranya.

 

Sesuai Pasal 1 ayat 3 UU KPK, lembaga anti rasuah itu berubah menjadi badan eksekutif, bukan lagi lembaga independen.

 

Roy Suryo juga mengkritisi ayat 6 UU KPK yang menyebutkan anggota KPK adalah seorang ASN.

 

"Artinya ASN tunduk pada pimpinan, jadi kita minta KPK dikembalikan sebagai lembaga independen," kata Roy Suryo.

 

Sementara Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai KPK saat ini dipakai sebagai alat politik.

 

"Jadi alat politik untuk melindungi dinastinya," kata Sugeng. (rmol)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.