SANCAnews.id – Ketika pemerintah bergegas
menyiapkan infrastruktur dasar dan menggelontorkan puluhan miliar rupiah demi
upacara 17 Agustus perdana di Ibu Kota Nusantara, masyarakat sekitar menghadapi
realita berbeda.
“Di sini memang udaranya sangat segar, fresh, dan bersih, dan
itu bagus untuk kesehatan, untuk usia,” ucap Presiden Joko Widodo kepada awak
media di IKN, pada 12 Agustus lalu.
Namun, hanya beberapa kilometer dari lokasi presiden saat
itu, masyarakat Desa Bumi Harapan hidup berselimut debu proyek - setidaknya
selama proses konstruksi berlangsung.
Masyarakat sekitar juga masih harus membeli air karena tak
ada akses air bersih yang layak konsumsi. Padahal tak jauh dari situ, air keran
di dalam IKN bisa langsung diminum.
Di sisi lain, sebagian warga mengaku telah ikut merasakan
manfaat ekonomi dari kehadiran IKN.
Orang-orang yang dulunya bekerja di tambang kini menjadi
juragan kontrakan. Mereka yang dulunya bertani di sawah, kini menyuplai
kebutuhan air bersih ke wilayah sekitar IKN.
Bagaimana rasanya hidup di sekitar pembangunan megaproyek
yang akan menjadi warisan Presiden Jokowi ini?
Apakah nantinya masyarakat lokal di sekitar Nusantara dapat
menikmati fasilitas yang sama? Apakah mereka merasa menjadi bagian dari
perhelatan yang diselenggarakan di ruang hidup mereka?
Debu di Desa Bumi Harapan, Ibu Kota NusantaraSumber
gambar,BBC/Anindita Pradana
Ini adalah kali kedua saya berkunjung ke Nusantara.
Sebelumnya, saya pernah datang ke IKN pada Februari 2024 untuk meliput pemilu.
Sama seperti sebelumnya, tim kami menyempatkan mampir ke Desa
Bumi Harapan untuk mengetahui bagaimana keseharian warga di sekitar proyek IKN.
Desa ini adalah yang paling terdampak oleh pembangunan IKN
karena sebagian wilayahnya masuk ke dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan
(KIPP).
Situasinya masih sama. Debu tebal masih menyelimuti desa ini.
Sekilas, Desa Bumi Harapan tampak seperti desa yang terdampak bencana gunung
berapi. Bedanya, ini bukanlah abu vulkanik, melainkan debu proyek.
Warga yang masih bermukim di desa tersebut menutup rapat
pintu dan jendela rumah mereka. Teras rumah, kendaraan yang diparkir, hingga
tanaman di sekitar telah berselimut debu.
Suara bising kendaraan yang lalu lalang tak pernah berhenti
terdengar.
Sebagian warga desa ini telah pergi meninggalkan rumah-rumah
mereka yang kini diselimuti debu tebal.
Ada yang menjauh dan tersingkir dari IKN karena tak mampu
membeli tanah baru di kawasan ini yang harganya melonjak berkali-kali lipat.
Namun ada pula yang bisa membangun kembali kehidupan mereka tak jauh dari pusat
ibu kota baru.
Rumah warga Desa Bumi Harapan yang telah ditinggalkan
pemiliknya setelah mendapat ganti rugi dalam pembebasan lahan untuk megaproyek IKN
Sebagian lainnya masih bertahan dalam kondisi serba tak
nyaman karena belum mencapai kesepakatan soal penawaran ganti rugi dari
pemerintah.
Ada pula yang tak ingin pindah karena berharap menjadi bagian
dari IKN, seperti Titin Sumarni, 50, yang mengelola sebuah pesantren tak jauh
dari Titik Nol Nusantara.
Ketika Titin Sumarni membangun Pesantren Fastabilqul Khairaat
di Desa Bumi Harapan, Penajam Paser Utara, pada 2018 lalu, orang-orang
terdekatnya mempertanyakan lokasi yang dipilih Titin.
“Kenapa bangun di situ? Enggak ada apa-apa,” kenang Titin.
Tetapi lokasinya yang sunyi dia rasa cocok sebagai tempat
untuk mondok. Satu hal yang tidak mereka ketahui saat itu, kawasan ini ternyata
akan menjadi ibu kota baru Indonesia.
Titin Sumarni, pengelola pesantren Sumber gambar,BBC/Anindita
Pradana
Kini, enam tahun berselang, kesunyian itu berganti menjadi
hiruk pikuk proyek pembangunan berskala besar yang tak berhenti selama nyaris
24 jam per hari.
Saat cuaca cerah, debu dari proyek-proyek itu akan
menyelimuti. Tetapi ketika hujan, suasananya tak lantas menjadi lebih nyaman.
Jalan raya di depan pesantren sontak berlumpur dan licin.
Kendaraan yang melintas, kebanyakan truk pengangkut material bangunan, harus
melambat agar tak tergelincir. Kemacetan panjang pun terjadi.
Kalau panas berdebu, tapi ketika hujan, jalan di depan
Pesantren Fastabilqul Khairaat berubah menjadi berlumpur
Lokasi pesantren ini memang strategis, hanya beberapa ratus
meter dari akses masuk menuju kawasan inti pemerintahan. Sedangkan kalau diukur
dari Istana Garuda, jaraknya terpaut sekitar empat kilometer. Kalau diibaratkan
Jakarta, pesantren milik Titin seperti berada di kawasan Menteng.
Jadi, Titin dapat ikut merasakan hawa-hawa kesibukan jelang
upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang untuk pertama kalinya
digelar di Nusantara pada tahun ini.
Apalagi pesantrennya kerap dimampiri oleh para pekerja proyek
atau pengendara yang melintas, sebab ketersediaan toilet umum dan musala di
area ini memang masih terbatas.
Titin pun tak pernah menutup pintu pesantrennya dan
membiarkan mereka memanfaatkan fasilitas yang ada.
“Hitung-hitung saya juga bersedekah,” kata Titin ketika
ditemui.
Pesantren Fastabilqul Khairaat hanya berjarak beberapa ratus
meter dari akses masuk menuju kawasan inti pemerintahan
Persoalannya, pesantren ini sebenarnya tidak memiliki sumber
air bersih untuk menopang kebutuhan tersebut. Setiap hari, mereka harus membeli
air untuk kebutuhan mandi cuci kakus seharga Rp350.000 hingga Rp450.000 per
tangki. Itu belum termasuk kebutuhan untuk air minum yang juga harus dibeli.
"Di sini tidak ada air. Susah banget air di sini. Jadi,
untuk air minum saya perlu beli jauh. Kalau air [yang beli] di sini tidak bisa
dipakai masak, apalagi minum. Kotor," tutur Titin.
Namun pada sore itu, truk pengangkut air bersih yang mereka
pesan tak kunjung tiba. Titin menduga keterlambatan itu disebabkan oleh kondisi
cuaca dan lalu lintas yang tidak bersahabat.
“Mungkin karena hujan, macet, mobilnya enggak bisa masuk ke
area sini,” tutur Titin.
Polusi debu dan sulitnya air bersih adalah masalah yang juga
dialami oleh banyak warga lainnya di sekitar megaproyek IKN.
“Dulu memang alhamdulillah tidak ada debu. Ya, aman. Dulu
santri saya juga piketnya hanya sehari. Sekarang ini selama ada IKN piketnya
jadi dua kali. Itu pun kadang mereka mengeluh kecapean,” ujar Titin.
Terkadang ada santri-santrinya sampai batuk-batuk, meski
Titin tak bisa menyimpulkan apakah itu karena debu proyek atau faktor lainnya.
Salah satu santri bernama Fikrom, merasakan betul perbedaan
pondok pesantrennya antara dulu dan sekarang.
“Dulu segar, beda kayak sekarang, panas, banyak debu. Dulu
pepohonannya hijau, segar lah pokoknya,” kata Fikrom.
“Aktivitas belajar, bermain, olahraga jadi terganggu. Kalau
banyak mobil yang lewat, bising, kadang bisa konsentrasi, kadang enggak. Kalau
sekarang mau pergi jogging, malah cari penyakit," kata Fikrom.
Para santri belajar dan beraktivitas di ruangan yang berdebu
akibat proyek pembangunan di sekitar
Titin mengaku tak masalah menanggung segala ketidaknyamanan
itu untuk sementara waktu. Asalkan, dia dan santri-santrinya tak terusir dan
bisa menjadi bagian dari IKN.
Apalagi, Titin juga telah merasakan dampak ekonomi dari
kehadiran IKN karena menyewakan kamar-kamar kontrakan untuk para pekerja
proyek.
Namun nyatanya, Titin telah diminta untuk pindah dan
ditawarkan uang ganti rugi. Dia menolak tawaran itu hingga bersengketa di
pengadilan.
Lahan milik Titin adalah salah satu dari 2.086 hektare lahan
yang belum dibebaskan.
“Jangan [dilihat] sekarang begini ada dampak debunya, ada
enggak nyaman berisik-berisiknya. Kami bertahan-tahan begini, nanti kami ingin
menikmati [IKN] juga,” kata dia.
Titin pun ingin ikut merasakan kemeriahan perayaan Hari
Kemerdekaan di IKN.
“Ingin merasakan juga kemeriahannya, cuma sampai sekarang
enggak tahu gimana nanti ke depannya,” kata Titin.
Sebagian warga memang diundang untuk ikut upacara di kawasan
istana. Namun, sampai saat ditemui, Titin tidak termasuk di antaranya. Jadi
walaupun berjarak cukup dekat dari pusat kemeriahan, Titin kemungkinan hanya
akan menyaksikan lewat layar kaca.
Padahal Titin punya kontribusi bagi mereka yang lalu lalang
mempersiapkan perayaan itu.
“Air kami pasti terpakai,” kata Titin.
Pekerja proyek dan orang-orang yang melintas juga ikut
memanfaatkan air di pondok pesantren milik Titin
'Selamat datang di Nusantara'
“Udara sejuk. Udara bersih, sesuai yang kita impikan. Bahwa
kita ingin sebuah ibu kota yang 'green', baik energinya, baik kendaraan
listriknya, baik lingkungannya, udaranya, semuanya,” kata Presiden Jokowi
ketika mengajak menteri-menterinya ngopi di salah satu embung di Nusantara pada
Senin (12/08).
Agenda itu adalah salah satu rangkaian dari kunjungan
Presiden Jokowi ke Nusantara sebelum menggelar sidang kabinet perdana di Istana
Garuda.
Esok harinya, Jokowi memamerkan Nusantara kepada para kepala
daerah dari seluruh Indonesia.
"Selamat datang di Nusantara," kata Jokowi,
disambut tepuk tangan para kepala daerah.
Pada momen itu, Jokowi menceritakan bagaimana dia selama 10
tahun terakhir merasa dibayang-bayangi oleh “bau-bau kolonial” ketika berada di
istana di Jakarta dan Bogor.
"Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi,
Belanda. Bekas gubernur jenderal Belanda, dan sudah kita tempati 79 tahun.
Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi,"
kata Jokowi.
Pembangunan IKN ini, sambung dia, adalah pembuktian bahwa
Indonesia bisa membangun ibu kota sesuai dengan keinginan sendiri.
Presiden Joko Widodo menggelar sidang kabinet perdana di
Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara pada Senin (12/08/2024)
Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, turut
menghadiri rangkaian kegiatan Jokowi di IKN pada 12-14 Agustus.
Berdasarkan pengamatan Raja, Istana Garuda memang lebih luas
dan besar kalau dibandingkan dengan Istana Merdeka, Jakarta.
Ukiran kayu di dinding dan lampu kristal di langit-langitnya
membuat Istana Garuda terasa megah, walaupun belum banyak interior.
Tetapi, hawa-hawa bangunan baru masih begitu terasa.
Debu-debu pembangunan masih ada, dan bau cat masih tercium.
Saat menghadiri pengukuhan Paskibraka, cat putih di tembok
Istana Negara masih luntur dan mengenai bajunya.
Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau saat
menghadiri pelantikan Paskibraka di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara pada
Selasa (13/08/2024)
Air keran layak minum hingga hotel bintang lima
Dua hari sebelum Presiden Jokowi tiba, saya juga sempat
berkeliling di kawasan inti pemerintahan di Nusantara.
Di sekitar Istana Garuda, suasananya terasa kontras dengan di
luar sana. Aura pembangunan memang masih terasa, tapi setidaknya, udara yang
saya hirup di area ini tak lagi bercampur dengan debu. Saya bisa membuka masker
saya dan bernapas dengan lega.
Hamparan rumput yang hijau terlihat di depan Istana Garuda
dan Istana Negara. Desain istana yang menyerupai burung garuda, karya seniman
Nyoman Nuarta, menjadi pusat perhatian yang mencolok di antara gedung-gedung
pemerintahan lainnya.
Di depan tiang bendera di Plaza Seremoni –lapangan tempat
upacara 17 Agustus akan digelar—sejumlah anggota Paskibraka tengah berlatih.
Bagaimana rasanya hidup di sekitar kemegahan megaproyek IKN?
Untuk menuju ke kawasan istana ini, kami melewati jalan
beraspal selebar 50 meter. Di sisi kanan kirinya terdapat trotoar yang lebar.
Nantinya, moda transportasi autonomous rail transit (ART) akan beroperasi di
jalan-jalan seperti ini.
Di sisi kiri jalan dari arah kami datang, rumah jabatan
menteri juga telah berdiri. Pemerintah menggelontorkan anggaran Rp14 miliar per
unit untuk membangun rumah jabatan berkonsep rumah pintar itu.
Belasan rusun ASN diklaim sudah siap dibangun. Rencananya,
kloter pertama ASN akan pindah ke IKN pada September. Mereka akan menghuni
rusun ini secara gratis sebagai rumah dinas.
Namun ketika diklarifikasi, Presiden Jokowi mengatakan “tidak
akan memaksakan” kalau memang fasilitas pendukungnya belum siap.
"Kalau memang belum siap, ya diundur," tutur
Presiden Jokowi menjawab pertanyaan wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben
Lumbanrau.
Salah satu yang “spesial” dari rusun ini adalah fasilitas tap
water sehingga air kerannya dapat langsung dikonsumsi. Sumber air bakunya
berasal dari Bendungan Sepaku Semoi dan Intake Sepaku.
Salah satu kamar di hunian ASN di IKN
Saya mencicipi air dari fasilitas tap water itu. Airnya
jernih dan tak berbau. Rasanya juga layaknya air biasanya saja - seperti minum
dari air keran yang sudah dimasak. Bedanya, saya tak perlu repot-repot untuk
memasak air keran ini.
Saya bertanya kepada Agung Wicaksono, Deputi Bidang Pendanaan
dan Investasi Otorita IKN yang saat itu mendampingi kami berkeliling, dari mana
sumber air yang layak minum ini?
“Sumber airnya ada dua, ada Bendungan Sepaku-Semoi dan intake
Sepaku. Kalau Bendungan Sepaku-Semoi itu sumber airnya dari Sungai Tengin,
kalau intake dari Sungai Sepaku. Yang sudah dialirkan ke sini itu dari intake
Sepaku. Kemudian diolah di water treatment,” jelas Agung.
Baru belakangan, setelah saya menyicip air itu, Agung
mengungkap bahwa masih perlu dipastikan apakah kualitas airnya masih sama
layaknya dengan yang sudah teruji di titik pengelolaan air minum.
“Pak Basuki [Menteri PUPR] sudah pernah minum kan, itu di
water treatment. Untuk ke sini kan masih melewati pipa lagi, itu yang masih
diuji lagi apakah kualitasnya sama layaknya,” jelas Agung.
Untungnya, saya merasa baik-baik saja setelah meminum air
itu.
Hunian ASN di IKN dilengkapi dengan fasilitas tap water. Air
yang mengalir dari keran dapat langsung dikonsumsi
Kami melanjutkan perjalanan ke salah satu embung yang akan
menjadi area konservasi air. Nantinya, ketika IKN sudah dihuni, embung-embung
ini bisa menjadi tempat rekreasi.
Hotel bintang lima pertama di Nusantara, Swissotel, juga
telah siap beroperasi menyambut tamu-tamu VVIP dengan harga kamar per malam
mulai Rp2,2 juta hingga Rp20 juta.
Tetapi selain di kawasan istana, pembangunan IKN masih jauh
dari rampung. Jalan di depan rusun para ASN pun masih tanah bergelombang.
Rumah sakit masih juga masih dibangun dan, menurut
pemerintah, baru akan difungsikan lantai dasarnya sebagai layanan unit gawat
darurat saat upacara 17 Agustus digelar. Masih banyak fasilitas-fasilitas
publik yang juga perlu dibangun.
Secara fisik, itulah yang tercapai dalam dua tahun
pembangunan kawasan inti pemerintahan di IKN.
“Kami tidak membangun hanya untuk bulan Agustus saja. Ini
adalah bagian dari pembangunan, kami memulai sesuatu untuk masa depan negara
ini,” kata Ketua satgas percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara, Danis
Sumadilaga. (bbc)