SANCAnews.id – Ada sejumlah “dosa” besar Presiden
Joko Widodo yang tak bisa diampuni meski sudah meminta maaf kepada masyarakat.
Managing Director Political Economy and Policy Studies
Anthony Budiawan mengatakan, Jokowi terindikasi membuat undang-undang yang
melanggar konstitusi, antara lain Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN), UU Cipta
Kerja, dan Perppu (UU) Covid-19.
Ada dua konsekuensi atas pelanggaran konstitusi ini. Pertama,
apabila terbukti melanggar konstitusi, maka pelanggar konstitusi masuk dalam
kategori pengkhianat negara, sesuai definisi dalam penjelasan Pasal 169 huruf d
UU Pemilu.
Kedua, apabila pelanggaran terhadap konstitusi mengakibatkan
kerugian keuangan negara, maka merupakan tindak pidana korupsi dan diancam
dengan pidana.
"Oleh karena itu, aparat penegak hukum wajib
menindaklanjuti apakah dugaan masyarakat benar, bahwa antara lain UU IKN, UU
Cipta Kerja, UU (Perppu) Covid-19 melanggar konstitusi, dan apakah merugikan
keuangan negara," kata Anthony dalam keterangan tertulisnya yang diterima
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Minggu (4/8).
Anthony menjelaskan, konsep otorita dalam UU IKN diduga
melanggar konstitusi Pasal 18. Karena, menurut pasal 18, bentuk pemerintah
daerah adalah provinsi, kabupaten dan atau kota, dengan kepala daerah
masing-masing dinamakan gubernur, bupati atau walikota, yang dipilih secara
demokratis, dan mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang juga
dipilih secara demokratis.
Maka itu, pemerintah daerah dalam bentuk otorita, dengan kepala
daerah dinamakan kepala otorita, yang diangkat oleh presiden, serta tidak
mempunyai Dewan (DPRD), secara nyata melanggar konstitusi.
"Sebagai konsekuensi, anggaran negara (APBN) yang
dikeluarkan untuk Otorita IKN, kemungkinan besar, merugikan keuangan negara,
dan karena itu diancam pidana," kata Anthony.
Kemudian, UU (Perppu) Cipta Kerja terindikasi juga melanggar
konstitusi, karena pada akhir tahun 2022 tidak ada kegentingan memaksa yang
dapat dijadikan dasar penetapan Perppu Cipta Kerja.
"Dalam hal ini, Jokowi diduga melakukan manipulasi
faktor "kegentingan memaksa"," kata Anthony.
Selain itu, penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang
menggunakan UU Cipta Kerja sebagai dasar hukum, juga melanggar konstitusi,
yaitu melanggar Hak Asasi Manusia, Pasal 28H.
"Khususnya, apabila penetapan PSN digunakan sebagai
dasar untuk mengusir masyarakat setempat secara paksa, seperti yang sedang
terjadi di PIK 2," sambungnya.
Pasal 28H ayat (1) UUD berbunyi: setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 28H ayat (4) UUD berbunyi: setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Anthony menambahkan, jika dugaan pelanggaran konstitusi
seperti dijelaskan terbukti, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara, maka Jokowi dapat dicap sebagai pengkhianat negara, dan
dapat diancam pidana.
"Permintaan maaf Jokowi tidak bisa menghapus kesalahan
pidana tersebut," tutup Anthony. (*)