Latest Post

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD 


 

SANCAnews.id – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pun angkat bicara soal kasus yang menimpa mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari.

 

Melalui akun X (Twitter), mantan calon wakil presiden Ganjar Pranowo mengaku kaget dengan sejumlah fasilitas yang didapat komisioner KPU. Mahfud menilai ini terlalu mewah.

 

"Pasca putusan DKPP memecat Ketua KPU Hasyim Asy'ari kita terus terkaget-kaget dgn berita lanjutannya. Info dari obrolan sumber Podcast Abraham Samad SPEAK UP, setiap komisioner KPU sekarang memakai 3 mobil dinas yang mewah, ada juga penyewaan jet (utk alasan dinas) yg berlebihan, juga fasilitas lain jika ke daerah yang (maaf) asusila. DPR dan Pemerintah perlu bertindak, tidak diam," cuit Mahfud MD dikutip Fajar.co.id, Selasa (9/7/2024).

 

Mahfud MD menilai secara umum susunan komisioner KPU saat ini sudah tidak layak lagi untuk menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencana pada November 2024.

 

Politikus yang pernah mencalonkan sebagai Cawapres pada 2024 itu menilai perlu dipertimbangkan untuk pergantian semua komesioner.

 

"Secara umum KPU kini tak layak menjadi penyelenggara pilkada yang sangat penting bagi masa depan Indonesia. Pergantian semua komisioner KPU perlu dipertimbangkan tanpa harus menunda Pilkada November mendatang, Juga tanpa harus membatalkan hasil pemilu yang sudah selesai diputus atau dikonfirmasi oleh MK," katanya.

 

Menurutnya, hasil pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) tak ada masalah. "Pilpres dan Pileg 2024 sebagai hasil kerja KPU sekarang sudak selesai, sah, dan mengikat," tulisnya lagi.

 

Mahfud MD sempat menyinggung mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal komesioner KPU yang mengundurkan diri.

 

"Ada vonis MK No. 80/PUU-IX/2011 yg isinya 'jika komisioner KPU mengundurkan diri maka tidak boleh ditolakatau tidak boleh digantungkan pada syarat pengunduran itu harus diterima oleh lembaga lain'. Ini mungkin jalan yang baik jika ingin lebih baik," lanjutnya. (fajar)


Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata 


 

SANCAnews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan tidak melihat afiliasi politik dalam pemrosesan perkara hukum korupsi, baik dalam penetapan tersangka maupun pemeriksaan saksi.

 

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata saat ditanya soal pernyataan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang merasa ditarget KPK.

 

"Sudah berulang kali kami sampaikan, KPK tidak pernah menyinggung afiliasi politik para pihak yang kemudian menjadi tersangka, atau sedang diperiksa. Itu penekanan yang sekali lagi kami sampaikan," kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (8/7).

 

Alex juga memastikan tidak ada kebijakan pimpinan KPK yang melihat dan mengaitkan penanganan perkara dengan afiliasi politik.

 

"Jadi saya pastikan, dari kebijakan pimpinan, kita tidak melihat atau tidak mengaitkan penanganan perkara di KPK itu dengan afiliasi politik tertentu," pungkas Alex.

 

Megawati sebelumnya menyoal langkah hukum KPK memeriksa sejumlah politisi PDIP dalam perkara Harun Masiku. Salah satu yang disorot Megawati adalah pemeriksaan Sekjen Hasto Kristiyanto hingga adanya penyitaan barang-barang yang bersangkutan.

 

Bahkan Presiden kelima RI ini menduga akan menjadi target KPK selanjutnya.

 

"Pasti deh, pasti gimana cara manggil Bu Mega ya, bla bla. Ya gue panggilin seluruh ahli hukum. Iya kan, enak saja," kata Megawati saat berpidato di Sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (5/7). (rmol)

 

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai melepas bantuan kemanusiaan untuk korban bencana alam di Papua Nugini dan Afghanistan di Base Ops Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, Senin (8/7/2024) 

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan segera menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian Hasyim Asy'ari dari jabatan Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

 

"(Keppres) belum sampai di meja saya. Kalau sudah sampai di meja saya, saya buka, saya tandatangani," ujar Presiden Jokowi usai melepas bantuan Indonesia untuk penanganan bencana di Papua Nugini dan Afganistan di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (8/7), dikutip dari ANTARA.

 

Keppres Belum Sampai di Meja Presiden

Ketika ditanya mengenai kapan Keppres akan ditandatangani, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa Keppres tersebut belum sampai di mejanya.

 

"Wong belum sampai di meja saya," ujarnya.

 

KPU Tetap Layak Sebagai Penyelenggara Pemilu

Terkait adanya suara publik yang meragukan kelayakan KPU sebagai penyelenggara pemilu akibat kasus Hasyim, Presiden Jokowi membantahnya.

 

"Oh kan sudah sukses, menyelenggarakan pemilu pilpres dengan baik dan lancar tidak ada masalah," kata Jokowi.

 

Keputusan DKPP RI

Sebelumnya pada Rabu (3/7), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari terkait dugaan kasus asusila.

 

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy'ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum RI terhitung putusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam sidang pembacaan putusan di Kantor DKPP RI, Jakarta, Rabu (3/7).

 

Instruksi untuk Presiden

DKPP RI juga mengabulkan pengaduan pengadu seluruhnya dan meminta Presiden RI Joko Widodo untuk mengganti Hasyim dalam kurun waktu tujuh hari sejak putusan dibacakan.

 

"Presiden Republik Indonesia untuk melaksanakan putusan ini paling lama tujuh hari sejak putusan dibacakan," ujarnya. (fajar)

 

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra 

 

SANCAnews.id – Hilangnya status tersangka pembunuhan Vina Cirebon, Pegi Setiawan, menjadi momentum perlindungan hak konstitusional warga negara dapat terlaksana dengan baik.

 

Hal tersebut antara lain disampaikan Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menanggapi putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang dipimpin hakim tunggal PN Bandung, Eman Sulaeman hari ini, Senin ( 8/7).

 

"Selain monumental yang dinanti publik, ini juga sekaligus merupakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum aparatur yang melampaui batas," kata Azmi kepada Kantor Berita PolitikRMOL.

 

Azmi juga berpandangan, putusan praperadilan tersebut menunjukkan peran kualitas Hakim dan ketegasan hukum acara pidana oleh Hakim Eman.

 

Sejalan dengan itu, Azmi mendukung langkah berani Hakim Eman. Sebab, putusan ini dilakukan dengan ideal, benar dan memuat rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat.

 

"Hakim ini merupakan pendekar keadilan yang jujur dan konsisten. Putusan ini layak diapresiasi sebab berani dan tegas menyusun fakta maupun dalam pertimbangan hukumnya mengharmonisasikan keadilan dan kepastian hukum," tegasnya.

 

Azmi menekankan, keadilan sejatinya harus ada dalam hukum. Sebab hubungan hukum atau peristiwa hukum dalam masyarakat itu berwujud salah satunya melalui  putusan hakim.

 

"Putusan ini benar-benar mengusung semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan nilai kebenaran," pungkasnya. (*)


Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto 

 

SANCAnews.id – Putusan praperadilan yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung terkait penetapan tersangka Pegi Setiawan dalam kasus dugaan pembunuhan Vina Cirebon, mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak.

 

Ada anggapan penyidik ​​dalam kasus ini tidak mengikuti prosedur sebenarnya sehingga polisi dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya.

 

Penilaian salah satunya datang dari pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.

 

Ia bahkan menilai kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi semakin menurun pasca Polda Jabar kalah dalam gugatan praperadilan Pegi Setiawan.

 

Hakim tunggal Eman Sulaeman memutuskan mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar sebagai tersangka. Artinya, Pegi Setiawan bebas dari tuntutan hukum dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon.

 

Bambang mengatakan, kelalaian polisi dalam menetapkan tersangka telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

 

Hal ini membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam penetapan tersangka pembunuhan yang terjadi pada tahun 2016.

 

“Artinya publik akan makin meragukan kinerja dan hasil kerja penyidik kepolisian ke depan,” kata Bambang dilansir dari JPNN, Senin (8/7/2024).

 

“Bahwa dengan kewenangan yang besar yang diberika negara tanpa ada kontrol dan pengawasan yang ketat, dan sistem yang transparan dan akuntabel, risikonya mereka bisa melakukan abuse of power dalam penetapan seseorang menjadi tersangka,” sambung dia.

 

Ia mengungkapkan, dalam kasus ini, ada banyak pihak yang dirugikan. Tidak hanya Pegi Setiawan sebagai korban salah tangkap, tetapi juga institusi Polri.

 

“Rakyat yang sudah membayar pajak untuk membiayai kepolisian, institusi Polri yang harus dijaga marwahnya sebagai penegak hukum yang profesional, dan marwah penegakan hukum yang terkonfirmasi dengan kasus tersebut rapuh,” ungkapnya.

 

Sebelumnya, hakim tunggal Eman Sulaeman memutus untuk mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan atas penetapan tersangka oleh Polda Jabar. Hakim menilai penetapan tersangka oleh penyidik tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yakni pemeriksaan atau klarifikasi sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Hakim tidak sependapat penetapan tersangka hanya berdasarkan dua alat bukti. Harus dilakukan pemeriksaan calon tersangka terlebih dahulu. Alasan-alasan praperadilan, patut dikabulkan. Maka seluruh tindakan termohon menjadi tidak sah," ucap Hakim Eman saat membacakan amar putusan.

 

"Dengan demikian, petitum dalam peradilan secara hukum dapat dikabulkan secara seluruhnya," lanjut Eman. (fajar)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.