Latest Post

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai melepas bantuan kemanusiaan untuk korban bencana alam di Papua Nugini dan Afghanistan di Base Ops Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, Senin (8/7/2024) 

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan segera menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian Hasyim Asy'ari dari jabatan Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

 

"(Keppres) belum sampai di meja saya. Kalau sudah sampai di meja saya, saya buka, saya tandatangani," ujar Presiden Jokowi usai melepas bantuan Indonesia untuk penanganan bencana di Papua Nugini dan Afganistan di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (8/7), dikutip dari ANTARA.

 

Keppres Belum Sampai di Meja Presiden

Ketika ditanya mengenai kapan Keppres akan ditandatangani, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa Keppres tersebut belum sampai di mejanya.

 

"Wong belum sampai di meja saya," ujarnya.

 

KPU Tetap Layak Sebagai Penyelenggara Pemilu

Terkait adanya suara publik yang meragukan kelayakan KPU sebagai penyelenggara pemilu akibat kasus Hasyim, Presiden Jokowi membantahnya.

 

"Oh kan sudah sukses, menyelenggarakan pemilu pilpres dengan baik dan lancar tidak ada masalah," kata Jokowi.

 

Keputusan DKPP RI

Sebelumnya pada Rabu (3/7), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari terkait dugaan kasus asusila.

 

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy'ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum RI terhitung putusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam sidang pembacaan putusan di Kantor DKPP RI, Jakarta, Rabu (3/7).

 

Instruksi untuk Presiden

DKPP RI juga mengabulkan pengaduan pengadu seluruhnya dan meminta Presiden RI Joko Widodo untuk mengganti Hasyim dalam kurun waktu tujuh hari sejak putusan dibacakan.

 

"Presiden Republik Indonesia untuk melaksanakan putusan ini paling lama tujuh hari sejak putusan dibacakan," ujarnya. (fajar)

 

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra 

 

SANCAnews.id – Hilangnya status tersangka pembunuhan Vina Cirebon, Pegi Setiawan, menjadi momentum perlindungan hak konstitusional warga negara dapat terlaksana dengan baik.

 

Hal tersebut antara lain disampaikan Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menanggapi putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang dipimpin hakim tunggal PN Bandung, Eman Sulaeman hari ini, Senin ( 8/7).

 

"Selain monumental yang dinanti publik, ini juga sekaligus merupakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum aparatur yang melampaui batas," kata Azmi kepada Kantor Berita PolitikRMOL.

 

Azmi juga berpandangan, putusan praperadilan tersebut menunjukkan peran kualitas Hakim dan ketegasan hukum acara pidana oleh Hakim Eman.

 

Sejalan dengan itu, Azmi mendukung langkah berani Hakim Eman. Sebab, putusan ini dilakukan dengan ideal, benar dan memuat rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat.

 

"Hakim ini merupakan pendekar keadilan yang jujur dan konsisten. Putusan ini layak diapresiasi sebab berani dan tegas menyusun fakta maupun dalam pertimbangan hukumnya mengharmonisasikan keadilan dan kepastian hukum," tegasnya.

 

Azmi menekankan, keadilan sejatinya harus ada dalam hukum. Sebab hubungan hukum atau peristiwa hukum dalam masyarakat itu berwujud salah satunya melalui  putusan hakim.

 

"Putusan ini benar-benar mengusung semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan nilai kebenaran," pungkasnya. (*)


Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto 

 

SANCAnews.id – Putusan praperadilan yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung terkait penetapan tersangka Pegi Setiawan dalam kasus dugaan pembunuhan Vina Cirebon, mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak.

 

Ada anggapan penyidik ​​dalam kasus ini tidak mengikuti prosedur sebenarnya sehingga polisi dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya.

 

Penilaian salah satunya datang dari pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.

 

Ia bahkan menilai kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi semakin menurun pasca Polda Jabar kalah dalam gugatan praperadilan Pegi Setiawan.

 

Hakim tunggal Eman Sulaeman memutuskan mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar sebagai tersangka. Artinya, Pegi Setiawan bebas dari tuntutan hukum dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon.

 

Bambang mengatakan, kelalaian polisi dalam menetapkan tersangka telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

 

Hal ini membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam penetapan tersangka pembunuhan yang terjadi pada tahun 2016.

 

“Artinya publik akan makin meragukan kinerja dan hasil kerja penyidik kepolisian ke depan,” kata Bambang dilansir dari JPNN, Senin (8/7/2024).

 

“Bahwa dengan kewenangan yang besar yang diberika negara tanpa ada kontrol dan pengawasan yang ketat, dan sistem yang transparan dan akuntabel, risikonya mereka bisa melakukan abuse of power dalam penetapan seseorang menjadi tersangka,” sambung dia.

 

Ia mengungkapkan, dalam kasus ini, ada banyak pihak yang dirugikan. Tidak hanya Pegi Setiawan sebagai korban salah tangkap, tetapi juga institusi Polri.

 

“Rakyat yang sudah membayar pajak untuk membiayai kepolisian, institusi Polri yang harus dijaga marwahnya sebagai penegak hukum yang profesional, dan marwah penegakan hukum yang terkonfirmasi dengan kasus tersebut rapuh,” ungkapnya.

 

Sebelumnya, hakim tunggal Eman Sulaeman memutus untuk mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan atas penetapan tersangka oleh Polda Jabar. Hakim menilai penetapan tersangka oleh penyidik tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yakni pemeriksaan atau klarifikasi sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Hakim tidak sependapat penetapan tersangka hanya berdasarkan dua alat bukti. Harus dilakukan pemeriksaan calon tersangka terlebih dahulu. Alasan-alasan praperadilan, patut dikabulkan. Maka seluruh tindakan termohon menjadi tidak sah," ucap Hakim Eman saat membacakan amar putusan.

 

"Dengan demikian, petitum dalam peradilan secara hukum dapat dikabulkan secara seluruhnya," lanjut Eman. (fajar)


Kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/6) 

 

SANCAnews.id – Kuasa hukum Pegi Setiawan, Iswandi Marwan meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengambil langkah tegas setelah praperadilan kliennya dimenangkan PN Bandung.

 

Ia mendesak agar Kapolda Jabar Irjen Pol Akhmad Wiyagus dan Dirreskrimum Polda Jabar Kompol Surawan dicopot dari jabatannya.

 

"Ini harus bertanggung jawab. saya meminta agar Dirkrimum bahkan Kapolda dicopot. Ini permintaan ku kepada Kapolri," kata Iswandi kepada wartawan, Senin (8/7).

 

Iswandi menilai Polda Jawa Barat harus bertanggungjawab atas kekeliruannya dalam menetapkan Pegi sebagai tersangka. Sebab, Pengadilan Negeri Bandung sudau memutuskan penetapan tersangka tidak sah secara hukum.

 

"Termasuk yang memimpin beberapa kali gelar perkara itu harus dicopot, harus bertanggungjawab. ini kan sudah hak asasi manusia, pelanggaran hak asasi manusia, ini kesewenang-wenangan," jelasnya.

 

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Bandung memutuskan mengabulkan praperadilan yang diajukan oleh Pegi Setiawan alias Perong alias Robi Irawan. Hakim Tunggal Eman Sulaiman menilai penetapan tersangka Pegi tidak sah secara hukum.

 

"Mengadili satu mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," kata Eman dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Senin (8/7).

 

"Dua menyatakan proses penetapan tersangka kepada pemohon berdasarkan surat ketetapan nomer SK/90/V/RES124/2024/DITRESKRIMUM tanggal 21 Mei 2024 Atas nama Pegi Setiawan beserta surat yang berkaitan lainnya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum," lanjutnya.

 

Atas dasar itu, Hakim memerintahkan Polda Jawa Barat menghentikan penyidikan kepada Pegi. Sebab, proses penyidikan dianggap tidak sah.

 

"Memerintahkan kepada termohon Untuk menghentikan penyidikan terhadap berita penyidikan kepada pemohon," jelas Eman. (jawapos)

 

Ibunda Afif Maulana, Anggun Andriani bersama keluarga dan kuasa hukum melakukan audiensi di kantor Komnas HAM, Jakarta. 

 

SANCAnews.id – Netizen mengkritik Polda Sumbar terkait meninggalnya mahasiswa bernama Afif Maulana. Dia diduga tewas karena dianiaya petugas polisi. Informasi kerusakan CCTV dan pernyataan polisi akan mencari pihak yang membuat kasus tersebut viral justru membuat netizen geram.

 

Netizen mengkritik Polda Sumbar terkait meninggalnya mahasiswa bernama Afif Maulana. Dia diduga tewas karena dianiaya petugas polisi. Informasi kerusakan CCTV dan pernyataan polisi akan mencari pihak yang membuat kasus tersebut viral justru membuat netizen geram.

 

Lalu seberapa mungkin Afif Maulana, seperti kata Polda Sumbar, melompat dari atas jembatan guna menyelamatkan diri?

 

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan, pada usia seperti Afif 13 tahun, teman sepermainan punya pengaruh besar. Baik dalam berpikir maupun beraktivitas.

 

Posisi Afif dalam kegiatan pada malam tersebut lanjut dia, sebagai pihak yang diajak. Dia diajak mengikuti kegiatan oleh teman yang beberapa tahun lebih tua daripada dirinya.

 

”Afif berumur puber, sementara temannya berusia pasca puber. Bisa dipastikan Afif bukan pengendali, apalagi penginisiasi,” papar Reza.

 

Berdasar keterangan lanjut dia, situasi pada malam itu boleh dibilang kritis bahkan menakutkan. Mereka dikejar polisi.

 

”Kombinasi ketiga hal tersebut mendorong bekerjanya sistem berpikir 1, bukan sistem berpikir 2. Sistem berpikir 1 berlangsung secara sangat cepat. Data di-bypass sangat ekstrem, sehingga proses berpikir laksana garis lurus tanpa percabangan,” terang Reza.

 

”Tidak ada opsi keputusan yang bersifat majemuk. Opsi tunggal, yakni menyamakan diri dengan keputusan atau perilaku orang-orang lain,” tambah dia.

 

Sehingga, menurut dia, hitung-hitungan di atas kertas, kalau teman-temannya lari, Afif juga akan lari. Kalau teman-temannya melawan, Afif juga akan melawan, dan sejenisnya.

 

”Andai dibayangkan bahwa ketika teman-temannya menyerah kepada polisi, Afif justru menjadi satu-satunya orang yang melompat dari jembatan, perilaku Afif sedemikian rupa bertolak belakang dengan rumusan tadi,” ujar Reza.

 

Dia mengatakan, kemungkinan Afif melompat, selalu ada.

 

”Namun landasan berpikir saya condong mengarah ke probabilitas yang lebih besar bahwa dalam situasi genting pada saat dikejar polisi, Afif akan membuat keputusan untuk juga melakukan apa yang dilakukan teman-temannya,” ucap Reza. (jawapos)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.