Latest Post

 

SANCAnews.id – Untuk memperbaiki citranya, Mahkamah Konstitusi (MK) diyakini akan mengabulkan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dengan membahas Capres dan Cawapres Nomor Urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dan melakukan pemungutan suara ulang (PSU).

 

Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengatakan, jika melihat fakta persidangan di Mahkamah Konstitusi, besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan gugatan yang diajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

 

"Kemungkinan besar MK kabulkan gugatan tersebut. Bisa jadi keputusannya itu diskualifikasi paslon nomor 2 dan PSU," kata Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (21/4).

 

Karena, menurut Muslim, proses lolosnya Gibran menjadi cawapresnya Prabowo melanggar UU dan merusak konstitusi.

 

"MK di bawah Ketua Suhartoyo berusaha akan perbaiki citranya. Dengan dasar itu, MK akan diskualifikasi paslon 02, karena dari proses elektoral 02 dari hasil kecurangan, pelanggaran etik KPU dan politisasi bansos," pungkas Muslim. (*)


Pakar hukum tata negara, Refly Harun dalam podcast bersama Bambang Widjojanto/Repro 

 

SANCAnews.id – Moral Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sangat diperlukan untuk menghasilkan putusan yang adil.

 

Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara dari kubu Paslon 1, Refly Harun jelang putusan MK terkait PHPU Pemilu 2024 yang akan dibacakan pada Senin (22/4).

 

"Yang paling menentukan hakim ini adalah moral dan keberanian. Sekarang ini, keberanian yang ditunjang oleh moralitas hukum," kata Refly dalam podcast Bambang Widjojanto sebagaimana dikutip Sabtu (20/4).

 

Sidang putusan PHPU, jelas Refly, akan menjadi pembuktian Hakim MK dalam menegakkan konstitusi.

 

Caranya, apakah akan mengamini praktik kecurangan Pilpres 2024 sebagaimana dituduhkan, atau justru mementahkannya.

 

"Kalau dia (Hakim) yakin bahwa pemilu ini memang curang, ya inilah saatnya untuk menegakkan konstitusi sesungguhnya. Putuskan rantai kecurangan. Kalau enggak, orang (akan) hopeless (tanpa harapan)," tutupnya. (rmol)


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi jajaran Hakim Konstitusi menyimak keterangan dari tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/3/2024). 

 

SANCAnews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) masih menerima amicus curiae atau sahabat pengadilan dari kelompok masyarakat dan perseorangan, hingga Jumat (19/4). Total, MK telah menerima 44 amicus curiae dari berbagai elemen masyarakat.

 

“Ada 44 yang sudah kita terima hari ini,” kata juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (19/4).

 

Fajar memastikan setiap amicus curiae yang masuk tidak dikategorikan berdasarkan kelompok pro dan kontra terkait sengketa hasil Pilpres 2024. Sebab yang akan didalami majelis hakim MK untuk putusan sengketa Pilpres hanya 14 amicus curiae saja.

 

“Tidak, kita tidak mengklasifikasikan itu (Amicus Curiae) dan diserahkan ke hakim semua yang 14,” ucap Fajar.

 

Fajar beralasan, 14 amicus curiae yang bisa menjadi pertimbangan hakim MK hanya yang sudah dimasukkan pada tenggat waktu terakhir penyerahan berkas kesimpulan, yakni pada 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.

 

“Karena 16 April pukul 16 itu kan batas kesimpulan, maka seiring dengan itu Amicus Curiae pada waktu itu juga (ditutup). karena itu kan langsung sudah mulai ini (Rapat Permusyawaratan Hakim),” jelas dia.

 

Fajar memastikan, jika Amicus Curiae tidak ada pembatasan maka hal itu akan terus berdatangan dan bisa mengganggu kelancaran jadwal rangkaian sidang Pilpres 2024.

 

“Ini semuanya berdatangan sampai hari minggu (mungkin) berdatangan terus dan nanti malah kelancaran pembahasan perkara menjadi terhambat,” urai Fajar.

 

Secara teknis, Fajar menegaskan tidak ada kewajiban amicus curiae dibacakan satu per satu saat sidang pengucapan putusan 22 April nanti. Sebab, hanya amicus curiae yang dinilai relevan yang mungkin bisa disampaikan.

 

“Bergantung pada masing-masing hakim konstitusi. oh ini ok, oh ini relevan, ini enggak dan yang memberikan penilaian hukum,memosisikan amicus curiae seperti apa itu keyakinan masing-masing hakim,” pungkas Fajar. (jawapos)


Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu menilai kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tak paham soal amicus curiae atau sahabat pengadilan.  

 

SANCAnews.id – Politisi PDI Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu menilai kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kurang paham soal amicus curiae atau sahabat pengadilan.

 

Hal itu menanggapi pernyataan Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid yang menyebut Megawati dan sejumlah tokoh memiliki amicus curiae sebagai bentuk intervensi peradilan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Masinton menjelaskan, Megawati merupakan Presiden ke-5 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Ia pun menganggap Fahri tidak paham.

 

"Enggak paham itu, itu orang ya gimana, gimana cerita enggak paham. Bu Mega itu yang melahirkan MK," kata Masinton di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024) malam.

 

"Beliau (Megawati) itu ya lebih dari sahabat MK, lebih dari sahabat peradilan. Bu Mega tokoh yang selalu konsisten menempuh jalan legal formal," ujarnya menambahkan.

 

Masinton lalu menceritakan perjuangan Megawati menghadapi pemerintahan orde baru (Orba) Soeharto.

 

Menurutnya, pada peristiwa Kudatuli, yaitu kerusuhan dua puluh tujuh Juli tahun 1996, Megawati menempuh jalan hukum meskipun dikendalikan orde baru.

 

"Tapi beliau (Megawati) percaya pada sistem hukum yang akan bisa memberikan sedikit keadilan meskipun itu aparat peradilan kita dikendalikan oleh kekuasaan," ucap Masinton.

 

Karenanya, Masinton membantah anggapan amicus curiae yang diajukan Megawati sebagai bentuk intervensi peradilan.

 

"Jadi apa yang ditempuh oleh Bu Megawati bukan upaya mengintervensi, tapi itu adalah upaya Ibu Megawati merawat konstitusi dan percaya pada mekanisme hukum kita," imbuhnya.

 

Sebelumnya, Fahri menilai amicus curiae yang diajukan sejumlah tokoh dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 merupakan bentuk intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Sebab, amicus curiae itu diajukan pada saat majelis hakim MK sedang menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk membuat putusan.

 

"Menurut hemat saya (ini) adalah bentuk lain dari sikap intervensi sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format hukum atau pranata amicus curiae," kata Fahri kepada Tribunnews.com, Rabu (17/4/2024).

 

Fahri menjelaskan, sejatinya amicus curiae atau sahabat pengadilan hanya sebatas memberikan opini dalam sebuah perkara.

 

Menurutnya, penggunaan pranata "amicus curiae" secara generik biasanya digunakan pada negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law.

 

Sebaliknya, tidak terlalu umum digunakan pada negara-negara dengan sistem hukum civil law system termasuk Indonesia.

 

"Akan tetapi pada hakikatnya praktik seperti (ini) tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita," ujar Fahri.

 

Fahri menegaskan, secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

"Dan secara praksis hukum, sesungguhnya praktik amicus curiae lebih condong dipraktikan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung," ucap pakar hukum tata negara ini.

 

Dia menyebut bahwa pelembagaan amicus curiae secara samar-samar sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikan dalam persidangan pengujian undang-undang di MK.

 

Menurut Fahri, berdasarkan ketentuan hukum acara MK, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam proses pengujian undang-undang judicial review.

 

Dia menerangkan, konsep itu sebenarnya sedikit identik dengan praktik amicus curiae yang dianut negara-negara dengan sistem hukum common law system.

 

Sesungguhnya, kata dia, berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2020 tentang MK, serta Peraturan MK nomor 4 tahun 2023 tentang tata beracara dalam penyelesaian sengketa Pilpres sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum amicus curiae.

 

Sebab, pada dasarnya hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk PHPU Pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta hukum.

 

"MK tidak memutus suatu perkara konstitusi berdasarkan opini atau pendapat yang dikemas dalam bingkai amicus curiae," ucap Fahri.

 

Apalagi, Fahri menuturkan bahwa jika pihak yang mengajukan amicus curiae mempunyai conflict of interest secara subjektif terhadap perkara itu sendiri.

 

"Pihak-pihak ini tentunya mempunyai intention agar memenangkan perkara in case yang sifatnya kongkrit dengan mencoba mengunakan sarana hukum tersamar amicus curiae atau bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK," jelasnya.

 

Karenanya, Fahri meminta semua pihak untuk membiarkan para hakim memutus perkara sengketa Pilpres secara objektif dengan mengedepankan prinsip Imparsialitas. (tribunnews)


Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu, menilai Ketua Umum Megawati Soekarnoputri tak perlu bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).  
 

SANCAnews.id – Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dinilai tak perlu bertemu lagi dengan Presiden Jowo Widodo.

 

Alasannya, Presiden tidak menghormati konstitusi, demokrasi, dan cita-cita reformasi. Hal itu disampaikan politikus senior PDIP Masinton Pasaribu.

 

"Menurut saya Megawati tidak perlu bertemu dengan orang yang tidak menghormati konsitusi, reformasi, dan demokrasi. Buata apa," kata Masinton di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024) malam.

 

Dia menjelaskan, Megawati merupakan sosok yang menjunjung tinggi konsitusi, reformasi, dan demokrasi.

 

Masinton menuturkan, seorang presiden seharusnya menjunjung tinggi konstitusi, reformasi, dan demokrasi.

 

"Maka bagi saya tidak perlu ada basa basi terhadap orang yang begitu, penguasa yang begitu menafikan konstitusi, reformasi, dan demokrasi," ujarnya seperti dilansir Tribunnews.

 

Dia menegaskan, sekalipun sosok itu adalah presiden jika tidak menghormati konstitusi, reformasi, dan demokrasi.

 

"Sudah lah tidak perlu basa-basi dengan tokoh yang seperti itu, bahkan presiden sekalipun," ucap Masinton.

 

Hubungan Presiden Jokowi dan PDIP memang sedang tidak baik karena pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

 

Sebab, dalam Pilpres 2024 Jokowi tak mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang diusung PDIP.

 

Sebaliknya, Jokowi mendukung anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang diduetkan dengan Prabowo Subianto.

 

Padahal, saat ini status Jokowi masih sebagai kader partai berlambang banteng moncong putih itu.

 

Tak percaya Jokowi sejak lama

Masinton mengaku sudah tak mempercayai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak akhir tahun 2021.

 

Mulanya, Masinton menegaskan, dirinya menolak ketika Jokowi berupaya melanggengkan kekuasaannya.

 

Sebab, dia menilai pelanggengan kekuasaan tidak senafas dengan semangat reformasi dan demokrasi.

 

"Apakah layak kita dukung? Tidak, dia adalah musuh," kata Masinton dalam sebuah diskusi di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024) malam.

 

Karenanya, Masinton mengaku sudah tak mempercayai Jokowi sejak tahun 2021 akhir meskipun PDIP mengusungnya.

 

"Sejak 2021 di akhir-akhir itu saya sudah enggak percaya sebenarnya presiden hari ini, walupun saya berasal dari partai politik yang mengusung presiden, tapi sikap saya itu menolak dan saya tidak percaya," ujarnya.

 

Menurutnya, Jokowi telah melakukan kebohongan. Hanya saja, dia tak menyebut kebohongan yang dimaksud.

 

"Karena (Jokowi) mereproduksi kepalsuan dan kebohongan," ucap Masinton.

 

Masinton juga mengkritisi pelaksanaan Pemilu 2024 yang dianggap penuh dengan intervensi kekuasaan.

 

Dia pun mengajak seluruh anak muda untuk melakukan suatu gerakan reformasi dan demokrasi.

 

"Bangsa ini kita bisa menemukan momentum reformasi demokrasi kita bukan melalui MK, bukan melalui Pemilu, tapi melalui gerakan teman-teman anak muda," imbuh Masinton.

 

Berpeluang bertemu Prabowo

Secara terpisah politikus PDI Perjuangan Chico Hakim menjawab peluang rekonsiliasi Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

 

Ini disampaikan Chico merespons kabar rencana pertemuan Megawati dengan Prabowo dan Jokowi yang berembus baru-baru ini.

 

Menurut Chico, Megawati dan Prabowo memiliki hubungan baik. Tidak ada persoalan pribadi antara kedua elite politik.

 

“Kalau kita bicara hubungan antara Ibu Megawati dengan Pak Prabowo sampai hari ini memang tidak ada dan tidak pernah ada masalah-masalah pribadi dan masalah-masalah yang mendasar yaitu hubungan mereka,” kata Chico.

 

Kendati kerap berbeda jalan dan bersaing dalam kontestasi pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres), kata Chico, PDI-P selalu menghargai dan menghormati Partai Gerindra.

 

Oleh karenanya, Chico menyebut, peluang pertemuan Megawati dengan Prabowo terbuka lebar.

 

“Bilamana ada pertemuan antara Bu Mega dan Pak Prabowo itu tidak akan menjadi suatu hal yang mengejutkan, karena itu tadi dengan alasan-alasan memang hubungan pribadi yang baik dan sudah cukup lama dan juga hubungan antarkepercayaan yang jelas,” ujarnya seperti dilansir Kompas.com

 

Namun, tidak demikian dengan Jokowi.

Chico mengatakan, jajaran kader PDIP belum bisa menerima perlakuan Jokowi dan keluarga terhadap negara belakangan ini.

 

Itulah mengapa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto melempar sinyal penolakan terhadap wacana pertemuan Jokowi dengan Megawati.

 

“Memang ada suasana kebatinan yang umum di kalangan kader dengan simpatisan, di kalangan pemilih kami, sampai hari ini masih belum bisa menerima apa yang dilakukan di beberapa bulan terakhir oleh Pak Jokowi maupun keluarganya terkait dengan bangsa dan negara ini,” katanya.

 

Chico menyebut, suasana kebatinan kader PDIP tercermin dari gugatan partai banteng terhadap hasil Pemilu 2024 yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Dalam gugatan itu, PDI-P mendalilkan adanya dugaan pelanggaran pemilu, yang antara lain meliputi nepotisme, abused of power atau penyalahgunaan kekuasaan, politisasi bantuan sosial (bansos), hingga pengerahan aparat.

 

Menurut Chico, berbagai dugaan pelanggaran ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa.

 

“Ini bukan suatu hal yang sifatnya egosistik atau egois atau hanya memikirkan terjadi pengkhianatan dari kader-kader PDIP terhadap partai.

 

Tetapi juga kami melihat ini pengkhianatan terhadap cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia,” ujarnya.

 

Kendati demikian, Chico menyebut, Hasto tidak pernah menyatakan pelarangan wacana pertemuan Jokowi dengan Megawati.

 

Hanya saja, menurutnya, sampai saat ini belum ada upaya komunikasi dari pihak yang ingin bertemu dengan Mega. (wartakota)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.