Pakar hukum Tata negara Refly Harun
SANCAnews.id – Pakar hukum tata negara Refly
Harun mengatakan, kebijakan penyaluran bantuan sosial (bansos) El Nino
melanggar hukum dan konstitusi negara. Menurut Refly, jika menyimak pernyataan
empat Menteri Kabinet Indonesia Maju pada sidang perselisihan hasil Pilpres
2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Anda akan terkesan bahwa penyaluran bansos El
Niño sudah sesuai dengan ketentuan peraturan dan kebijakan anggaran.
Empat menteri yang memberikan keterangan terkait bansos dalam
sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi adalah Menteri Koordinator Perekonomian
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dan
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
"Soal bansos, kita ditipu oleh para menteri, yang empat
itu. Seolah-olah everything is ok, tapi setelah kita kulik-kulik waduh ada
pelanggaran hukum bahkan konstitusi," kata Refly kepada wartawan, Jumat
(19/4).
Dia mengungkapkan, pembuktian tentang penyaluran bansos el
nino yang melanggar peraturan dan konstitusi telah disampaikan Tim Kuasa Hukum
Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar,
dalam kesimpulan perkara PHPU kepada MK, pada 16 April 2024.
Dalam kesimpulan, tim hukum paslon 1 mencatat ada pendapat
yang berbeda antara Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Menko Perekonomian
Airlangga Hartarto terkait Bantuan Sosial. Sri Mulyani menyebut bansos el nino
adalah bagian dari perlindungan sosial (Perlinsos) yang dananya sebesar Rp
496,8 triliun di APBN.
"Bayangkan tahun anggarannya baru dimulai langsung ada
pemotongan. Biasanya pemotongan dilakukan karena Realisasi Pendapatan di bawah
target, agar APBN tetap bisa dipertahankan, ini enggak," ujar Refly.
Selain itu, Sri Mulyani menyebut anggaran Kementerian/Lembaga
yang dipotong 5 persen dan uangnya menjadi triliunan itu bukan untuk bansos,
tetapi lini masa berita-berita yang disertakan dalam kesimpulan Tim Hukum
Paslon 1 menunjukkan Airlangga Hartato mengatakan itu untuk Bansos.
Terkait dengan pelanggaran hukum dari bansos el nino, Refly
mengungkapkan, APBN 2024 disahkan pada bulan September 2023, tetapi kebijakan
untuk perpanjangan bansos el nino dicapai pada bulan November 2023, dan tidak
tanggung-tanggung dari Januari-Juni 2024.
"Kenapa Juni, karena ada putaran kedua Pilpres, saya
ngomong apa adanya, makanya kemudian dipatok Juni. Perpanjangan 6 bulan
tersebut tidak sesuai dengan APBN," ungkap Refly.
Dia pun mengutip keterangan saksi ahli Anthony Budiawan,
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) dalam sidang PHPU
yang menyebut perpanjangan Bansos selama enam bulan melanggar tidak hanya hukum
tapi juga konstitusi.
"Karena pengajuan perpanjangan Bansos seharusnya dengan
persetujuan DPR. Rupanya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, tidak
lazim lagi yang namanya APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan), bikin aja Peraturan Presiden untuk mengubah nomenklatur di APBN dan
DPR-nya diam saja," tutur Refly.
Dia mengungkapkan, kebijakan menggunakan Perpres untuk
mengubah alokasi APBN diberikan kepada eksekutif melalui Perppu Nomor 1 Tahun
2020, namun hal itu dengan pertimbangan situasi pandemi Covid-19.
"Saat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dikeluarkan, DPR
memberikan kewenangan kepada eksekutif untuk mengubah APBN terkait kondisi
pandemi, tapi ternyata praktik tersebut tetap dilakukan eksekutif meskipun
pandemi Covid-19 sudah berakhir. Nah, ini melanggar," tegas Refly.
Tak hanya bansos dalam bentuk beras, Refly juga menyoroti
pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 200.000 per bulan mulai
Januari-Maret 2024, yang dicairkan sekaligus pada Februari 2024 menjelang hari
pemungutan suara Pemilu 2024.
"Biasanya anggaran kalau dirapel itu di awal atau di
akhir, tapi pencairan BLT pada bulan Februari, jadi di tengah, waktunya
menjelang pencoblosan. Nah timing-nya ini yang mempengaruhi
elektabilitas," ujar Refly.
Dia pun mengutip pendapat ahli, Vid Adrison, yang mengatakan
pertumbuhan ekonomi tidak meningkatkan elektabilitas. Berdasarkan ekonometri,
disebut yang bisa meningkatkan elektabilitas adalah kemiskinan. Semakin miskin
atau semakin kecil pendapatan penduduk, maka Bansos itu makin besar pengaruhnya
atas dukungan masyarakat kepada presiden, termasuk paslon yang didukung
presiden.
"Kan orang dikasihkan bantuan Rp 600.000. Coba bayangkan
kalau rakyat yang pendapatannya saja tidak ada dan menjelang Pemilu dikasih Rp
600.000 gimana pengaruhnya, itu yang kita garis bawahi dalam kesimpulan,"
ungkap Refly.
Dia menambahkan, pembagian Bansos juga menjadi alat pendorong
untuk memuluskan upaya kemenangan Paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan
Gibran Rakabuming Raka menang Pilpres 2024 dalam 1 putaran.
Meskipun Menko PMK Muhadjir Effendy, menyebut tidak ada
perintah macam-macam dari dari Presiden Jokowi terkait penyaluran bansos,
lanjut Refly, tapi melalui pemberitaan bahkan cuplikan video berita yang
beredar di publik, Jokowi mengatakan lebih baik pemilu satu putaran saja biar
duitnya hemat.
"Ya memang bansos bukan dari duit Jokowi, tapi kan kalau
enggak ada tanda tangan dia, juga Perpres begini dan lain sebagainya, maka
tidak akan ada perubahan dan kebijakan soal Bansos. Bukti itu kita sertakan juga
di kesimpulan," pungkas Refly. (jawapos)