Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendiskusikan serangan Iran pada Minggu
(14/04) dalam kabinet perangnya.
SANCAnews.id – Ketegangan di Timur Tengah
meningkat setelah Iran meluncurkan ratusan drone dan rudal bermuatan bahan
peledak ke Israel. Ini adalah respons Iran terhadap serangan Israel ke kompleks
kedutaan mereka di Suriah dua pekan lalu. Sorotan dunia kini terfokus pada
bagaimana Israel akan merespons serangan rudal tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Iran membalas serangan Israel
terhadap gedung konsulat mereka di Damaskus, Suriah, pada 1 April yang
menewaskan tujuh pejabat Korps Garda Revolusi Islam.
Serangan Iran ke Israel kemarin merupakan serangan langsung
pertama mereka terhadap Israel. Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal
ke Israel. Kedua negara ini telah terlibat dalam perang bayangan selama
bertahun-tahun.
Militer Israel mengklaim telah menembak jatuh 99% rudal dan
drone yang ditembakkan Iran. Namun, bagaimana Israel akan “menjawab” serangan
Iran?
Artikel-artikel yang
direkomendasikan
Posisi Iran kira-kira begini: "Masalah kami anggap
selesai. Jangan serang balik kami. Kalau Anda menyerang, kami akan melancarkan
serangan yang jauh lebih besar dan Anda tidak akan bisa menangkisnya."
Namun, Israel sudah bersumpah akan memberikan “respons
signifikan”. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan “bersama
kita akan menang”.
Pernyataan terbaru Netanyahu itu menyusul peringatan otoritas
Israel pekan lalu bahwa apabila Iran menyerang mereka, maka serangan balasan
akan ditujukan langsung ke Iran.
Pemerintahan Israel seringkali disebut yang paling garis
keras dalam sejarah Israel sendiri.
Israel membalas serbuan Hamas pada 7 Oktober 2023 ke wilayah
selatan mereka dalam hitungan jam dan terus menghajar Gaza dalam periode enam
bulan berikutnya.
Kecil kemungkinan kabinet perang Israel untuk tinggal diam
atas serangan langsung Iran ini kendati dampaknya di lapangan sudah terukur dan
terbatas.
Jadi, apa saja opsi
Israel?
Pertama-tama, Israel dapat mendengarkan para negara
tetangganya dan melakukan apa yang disebut “kesabaran strategis”. Alih-alih
membalas Iran dengan setimpal , Israel dapat melanjutkan serangan ke sekutu
bayangan Iran di wilayah seperti Hizbullah di Lebanon atau gudang-gudang
perlengkapan militer di Suriah – seperti yang sudah mereka lakukan
bertahun-tahun.
Kedua, Israel bisa membalas dengan melancarkan sejumlah
serangan yang dipertimbangkan matang-matang berupa rudal jarak jauh dan hanya
menyasar basis peluncuran rudal Iran.
Serangan langsung ke Iran oleh Israel seperti ini (alih-alih
menyasar kelompok bersenjata yang didukung Iran) bakal dipandang sebagai
eskalasi oleh Iran.
Atau yang ketiga: Israel bisa meningkatkan eskalasi dengan
memperluas target respons mereka dengan mencakup pangkalan-pangkalan militer,
banyak kamp pelatihan, dan berbagai pusat komando Korps Garda Revolusi Islam
(IRGC).
Dua pilihan terakhir berisiko memicu balasan lebih sengit
lagi dari Iran. The New York Times – dengan mengutip sumber-sumber intelijen
Israel – mengabarkan target-target utama Iran kemarin tampaknya adalah markas
militer di Dataran Tinggi Golan.
Suara sirine dilaporkan menggema di berbagai penjuru
Yerusalem pada Minggu (14/04), saat serangan terjadi. Ledakan demi ledakan pun
terdengar kala sistem pertahanan udara Israel menjatuhkan misil dan drone Iran
dari atas langit.
Otoritas Israel menyebut sekitar 360 amunisi ditembakkan oleh
Iran, yang terdiri dari 170 drone peledak, 30 peluru kendali jelajah, dan 120
rudal balistik. Namun Israel membuat klaim kerusakan yang terjadi akibat
serangan Iran amatlah minim.
Juru bicara IDF (Pasukan Pertahanan Israel), Laksamana Muda
Daniel Hagari, mengatakan beberapa misil Iran menghajar wilayah Israel dan
menimbulkan kerusakan kecil di satu pangkalan militer – tetapi tidak memakan
korban.
Hagari berkata, anak perempuan Bedouin berumur 10 tahun
mengalami luka serius karena terkena serpihan dari reruntuhan yang jatuh di
Arad selatan.
Peringatan Iran
Dilansir AFP, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengemukakan bahwa
“apabila rezim Zionis [Israel] atau pendukungnya berperilaku sembrono, maka
mereka akan mendapat balasan yang tegas dan jauh lebih kuat”.
IRGC – cabang terkuat dari angkatan bersenjata Iran –
menyatakan drone peledak dan rudal itu adalah “pembalasan terhadap kejahatan
berulang rezim Zionis [Israel], termasuk serangan ke kedutaan Iran di
Damaskus”.
Usai ratusan drone peledak dan rudal itu dilepas, utusan Iran
ke PBB menyatakan, “persoalan dianggap beres”.
Adapun, Kepala Staf Angkatan Darat Iran Mayjen Mohammad
Bagheri, kepada stasiun TV milik negara Iran, menyebut mereka telah
memperingatkan AS – via Swiss. Isi peringatan itu: jika Amerika mendukung
pembalasan maka basis-basis AS di Timur Tengah akan menjadi target Iran
berikutnya.
Di sisi lain, Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian, seperti
dilansir Reuters, mengaku telah mengatakan kepada AS bahwa serangan terhadap
Israel akan “terbatas” dan sekadar untuk membela diri.
Pertanyaan yang menjadi kunci di sini adalah apakah AS akan
terseret dan mengakibatkan perang terbuka antara Iran dan pasukan AS di
wilayah.
AS mempunyai fasilitas militer di seluruh enam negara Teluk
Arab, termasuk di Suriah, Irak, dan Yordania.
Semua titik ini bisa menjadi sasaran Iran, yang meski
dihadang sanksi internasional selama bertahun-tahun mampu membangun persediaan
besar rudal balistik dan rudal lainnya.
Iran pun bisa melakukan ancaman yang telah lama diumbar apabila
diserang: berupaya menutup Selat Hormuz yang vital nan strategis menggunakan
ranjau, drone, dan kapal serang cepat. Dengan begini, Iran dapat menghambat
hampir seperempat pasokan minyak dunia.
Ini adalah skenario mimpi buruk karena akan menyeret AS dan
negara-negara Teluk ke dalam perang satu kawasan. Banyak negara kini berupaya
sekuat mati untuk menghindarinya.
Bagaimana reaksi dunia
menyusul serangan Iran ini?
Presiden AS Joe Biden berbincang dengan Netanyahu setelah
serangan Iran dan memastikan “komitmen kuat Amerika atas keamanan Israel”.
Biden mengutuk serangan “tak terduga” terhadap Israel. Dia
pun menambahkan bahwa AS membantu Israel dan sekutu untuk “menjatuhkan hampir
seluruh” rudal dan drone Iran.
Biden juga mengatakan akan mengumpulkan “teman-teman pemimpin
G-7 untuk mengkoordinasikan respons diplomatik bersama atas serangan kurang
ajar Iran”.
Pemimpin Dewan Keamanan PBB Vanessa Frazier secara terpisah
mengatakan pihaknya menjadwalkan pertemuan darurat atas serangan Iran.
“Saya secara keras mengutuk eskalasi serius yang
direpresentasikan serangan berskala besar terhadap Israel oleh Iran,” ujar
Sekjen PBB António Guterres dalam pernyataannya.
Guterres menyerukan “gencatan senjata sesegera mungkin” dan
agar semua pihak menahan diri secara maksimal.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyebut serangan Iran
“sembrono”, sementara Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell
mengatakan ini adalah “ancaman luar biasa bagi keamanan Timur Tengah”.
Kemenlu China mendesak semua pihak agar menahan diri. China
melabeli serangan Iran sebagai “imbas teranyar dari konflik Gaza”. Adapun
Kemenlu Rusia menyatakan “keprihatinan luar biasa atas eskalasi yang
berbahaya”.
Prancis menyarankan warganya yang berada di Iran untuk
sementara angkat kaki dari sana karena adanya eskalasi militer.
Paus Fransiskus dalam pidato publiknya di Vatikan menyuarakan
“permohonan dari hati agar semua pihak menahan tindakan apapun yang dapat
memicu berkembangnya kekerasan yang berisiko menyeret Timur Tengah ke konflik
yang jauh lebih besar”.
Ketegangan di Timur Tengah kian meningkat sejak serangan
Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menyerang Israel dan menewaskan 1.200 orang.
Operasi militer Israel di Gaza usai peristiwa itu, di sisi
lain, telah membunuh 33,729 orang. Sebagian besar korban itu adalah warga
sipil.
Agen mata-mata Israel Mossad membuat klaim bahwa pihak
perunding Hamas menolak proposal terbaru yang diajukan para mediator dalam
negosiasi perdamaian.
Mossad dalam pernyataannya mengatakan hal ini membuktikan
pemimpin Gaza dari Hamas, Yahya Sinwar, “tidak menginginkan perjanjian
humaniter dan mengembalikan para sandera” dan “terus mengeksploitasi ketegangan
dengan Iran”.
Pada Sabtu (13/04), Hamas mengukuhkan tuntutannya untuk gencatan
senjata permanen di Gaza, penarikan pasukan Israel seutuhnya dari Jalur Gaza,
pengembalian warga Palestina yang terusir dari rumahnya akibat perang, dan
peningkatan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
AS tidak akan ikut
dalam serangan balasan ke Iran
Kendati membantu menjatuhkan sebagian besar drone dan rudal
serta mengutuk serangan Iran, Gedung Putih memperingatkan Israel bahwa AS tidak
akan berpartisipasi dalam serangan balasan ke Iran dalam bentuk apa pun.
Pejabat senior AS kepada para wartawan hari Minggu (14/04)
mengatakan Presiden Biden meminta PM Netanyahu untuk “berpikir secara
masak-masak dan strategis” tentang bagaimana pasukannya membalas serangan
langsung Iran yang baru kali ini terjadi.
Pejabat yang sama menambahkan pemerintahan Biden meyakini
Israel “menang telak” dalam perseteruan yang dimulai dari serangan mereka ke
kedutaan Iran di Damaskus yang menewaskan tujuh pejabat Iran.
AS juga membuat klaim, operasi melumpuhkan 99% drone dan
rudal Iran memperlihatkan keunggulan militer Israel dibandingkan Iran.
Pesawat dan armada laut AS menjatuhkan puluhan proyektil Iran
saat serangan terjadi. Lebih dari 80 drone dan setidaknya enam rudal balistik
dijatuhkan pesawat dan kapal perang AS atau lewat pasukan pertahanan udara
lewat Irak.
Pusat Komando (Centcom) militer AS dalam data terbarunya
mengatakan jumlah ini termasuk tujuh drone dan rudal balistik yang baru hendak
diluncurkan dari Yaman.
Biden dan Netanyahu berkomunikasi saat “emosi membuncah”
setelah 100 rudal balistik Iran secara bersamaan terbang menuju Israel.
Dalam pembicaraan via telepon itu, kedua pemimpin negara
mendiskusikan “bagaimana cara melambatkan situasi dan berpikir matang-matang” –
di sinilah Biden menekankan bahwa Israel “sudah menang telah”.
Meski begitu, pejabat tadi menolak mengatakan bahwa Gedung
Putih memperingatkan Israel untuk tidak bereaksi secara signifikan. Dia
menyebut ini adalah “perhitungan yang harus dilakukan Israel sendiri”.
Juru bicara keamanan nasional AS John Kirby berulang kali
menyebut dalam wawancara yang disiarkan di berbagai TV AS bahwa negaranya sudah
mempertegas kepada Israel untuk menghindari konflik yang lebih besar. Pesan
yang sama juga disampaikan AS lewat kanal diplomatik.
Kirby dan pejabat yang namanya tidak disebutkan tadi
mengatakan AS akan terus membela Israel, tetapi menolak berpartisipasi dalam
respons Israel apa pun itu.
Di dalam AS sendiri, posisi ini menuai kritik dari para
legislator dan mantan pejabat dari berbagai sisi politik.
Perwakilan Partai Republik Ohio Mike Turner, yang mengetuai
komite intelijen parlemen, menyebut pernyataan Kirby untuk mengurangi eskalasi
konflik adalah “salah”.
“Kondisinya sudah bereskalasi dan pemerintahan AS perlu
menanggapinya,” ujar Turner kepada NBC.
John Bolton, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat
keamanan nasional AS di bawah Donald Trump, mengatakan AS harus bergabung
dengan Israel apabila mereka melakukan serangan balasan ke program nuklir Iran.
“Saya rasa Israel dapat menghancurkan atau merusak sebagian
dari program itu secara substansial, kalau tidak keseluruhannya,” ujar Bolton
kepada NewsNation.
“Jujur saja, kalau Israel siap menyerang program nuklir Iran,
AS harus dengan kepala tegak bergabung.”
Adapun Mike Johnson, yang memimpin dewan parlemen AS,
mengatakan pihaknya akan “kembali mencoba” mengesahkan bantuan militer ke
Israel setelah negara itu diserang Iran.
Upaya-upaya sebelumnya untuk mengirimkan bantuan lebih ke
Israel terganjal setelah Demokrat menyerukan paket bantuan juga harus mencakup
bantuan ke Taiwan dan Ukraina.
Mick Mulroy, mantan wakil menteri pertahanan AS untuk Timur
Tengah, kepada BBC mengatakan bahwa bantuan untuk Israel semestinya disahkan
“tanpa penundaan”.
“Kalau bukan karena bantuan keamanan AS, kita sudah
menghadapi perang wilayah yang besar,” ujarnya. “Bantuan itu dan yang untuk
Ukraina dan Taiwan adalah bagian dari kepentingan nasional kami. Ini bukanlah
bantuan amal, melainkan bagian dari pertahanan nasional AS.”
Apakah akan pecah
Perang Dunia III?
Dalam penelusuran BBC Indonesia di jejaring media sosial X
(sebelumnya dikenal sebagai Twitter), salah satu kekhawatiran yang diutarakan
warganet Indonesia adalah serangan Iran ini bisa memicu Perang Dunia III.
Kishino Bawono, dosen Hubungan Internasional dari Universitas
Katolik Parahyangan dengan fokus kajian Timur Tengah, mengakui eskalasi konflik
di Timur Tengah kali ini berbeda dari apa yang pernah terjadi. Alasannya, meski
Israel sudah pernah menyerang sekutu Iran, ini baru pertama kalinya hal ini
memancing Iran untuk menyerang balik.
“Namun, kalau untuk memicu perang dunia ketiga, kita masih
harus tunggu beberapa waktu. Jikalau harus ada perang – semoga tidak ada, saya
pikir eskalasi Israel-Iran akan menjadi latar belakang, bukan jadi pemicu dari
perang,” ujar Kishino kepada BBC News Indonesia.
Kishino menyebut butuh eskalasi yang lebih masif untuk
menarik negara-negara besar mendeklarasikan perang. Menurutnya, saat ini
negara-negara besar masih terlihat memberikan kecaman atau kutukan alih-alih
deklarasi perang.
Di sisi lain, pengamat menyebut Iran sendiri mengesankan
keengganan perang terbuka dengan memperingatkan AS agar tidak aktif terlibat
dalam eskalasi ini.
“Di sisi lain, AS sebagai pendukung terbesar Israel, juga
telah menyatakan tidak akan terlibat aktif dalam serangan atau perang ofensif
Israel dengan Iran,” ujar Kishino.
“Rusia, China, dan negara-negara Eropa pun juga menyatakan
hal yang sama: de-eskalasi dan kutukan – bukan retorika agresif untuk
berperang.”
Kishino menilai negara-negara besar pun sadar bahwa perang
selalu mahal dan memakan biaya – ekonomi, sosial, dan politik – yang besar, dan
tidak ada yang mau berperang tanpa justifikasi yang benar-benar jelas.
Meski begitu, Kishino mengakui bahwa jika tidak ada penurunan
eskalasi pasca serbuan drone dan rudal Iran ini, maka tensi dunia akan terus
naik.
“Dan ini yang ditakutkan bisa jadi momok bahwa akan ada
perang besar dalam masa hidup kita,” pungkasnya. (***)