Hakim Konstitusi Saldi Isra bertanya kepada empat menteri
dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta, Jumat
(5/4/2024)
SANCAnews.id – Guru Besar Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK)
bisa membatalkan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena adanya unsur
dugaan kecurangan yang terjadi secara sistematis dan masif terstruktur (TSM)
terpenuhi.
Salah satunya dugaan keterlibatan Penjabat Kepala Daerah (Pj)
untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo Subianto dan
Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Menurut Djohermansyah yang juga menjadi saksi ahli dalam
persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden (PHPU) Presiden 2024 di
Mahkamah Konstitusi, menegaskan, kemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024
yang diraih melalui kecurangan yang terstruktur dan sistematis, terlihat jelas,
sehingga dapat dibatalkan oleh MK
"Unsur kecurangan terstruktur dan sistematis itu, antara
lain penunjukan Pj gubernur, wali kota, dan bupati oleh Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Bahkan, rangkaian rapat koordinasi yang dilakukan dengan kepala desa
hingga Babinsa," kata Djohermansyah dalam acara 'Speak Up' di YouTube
Channel Abraham Samad, dikutip Selasa (16/4).
Djohermansyah menjelaskan, penggunaan aparatur sipil negara
(ASN) sebagai Pj kepala daerah membuat presiden dapat mengarahkan atau
mengendalikan dukungan yang harus diberikan kepada paslon yang berkontestasi di
Pilpres 2024.
"Apalagi Presiden Jokowi secara terang-terangan
menunjukkan dukungan kepada paslon nomor urut 2. Hal itu antara lain dengan
melakukan makan bersama Prabowo di masa kampanye, dan hasil perolehan suara
Pilpres 2024 rata-rata di atas 50 persen di daerah-daerah yang kepala daerahnya
merupakan Pj yang ditunjuk presiden," ujar Djohermansyah.
Djohermansyah membeberkan, sebanyak 271Pj kepala daerah atau
hampir 90 persen jumlah penduduk Indonesia di bawah kepemimpinan para Pj kepala
daerah gubernur, bupati dan walikota.
"Kalau Pj ini nyata sekali bahwa ucapan, perbuatan,
tindakan Presiden Joko Widodo untuk bisa mengontrol Pj. Jadi ada teori saya:
mendongkrak suara dalam Pilpres. Paslon 02 kan lama sekali suaranya sekitar
30-40 persen (selama kampanye Pilpres-Red), tidak sampai 50 persen. Harus ada
cara mendongkrak, mentriggernya suara itu bisa meloncat tinggi," paparnya.
Dengan keterlibatan Presiden tersebut, lanjut Djohermansyah,
dalam membantu Paslon 02, maka bisa dibilang pemilu 2024 fraud. Karena itu,
seperti wasit di pertandingan bola, MK bisa menganulir dengan menganulir golnya,
dan memberikan kartu kuning bahkan kartu merah kepada paslon yang meraih
kemenangan dari kecurangan.
"Dengan menganulir hasil kemenangan Paslon nomor urut 2,
maka harus dilakukan Pilpres ulang. Paslon 2 bisa tetap ikut jika hanya
mendapatkan kartu kuning dari MK. Tetapi jika mendapat kartu merah, maka
Prabowo-Gibran tak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024," paparnya.
Djohermansyah berpendapat, kartu kuning dan kartu merah yang
diberikan MK bukan hanya kepada paslon, tetapi juga kepada pihak-pihak yang
ikut terlibat, seperti presiden dan para menteri yang mendukung paslon.
Hal itu layak dilakukan karena preferensi dari presiden dan
para menteri yang menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai atau berasal dari partai
pendukung paslon di Pilpres 2024 sudah ketahuan.
“Karena ada unsur nepotisme dan bisa menabrak konstitusi yang
harus dihindari, maka MK bisa memberikan kartu kuning dengan mengistirahatkan
atau meminta pejabat negara mengambil cuti karena tak dapat dipungkiri
preferensi mereka mendukung calon tertentu sudah terlihat,” ujar Djohermansyah.
Mantan Dirjen Otonomi Daerah pada era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) itu mengungkapkan, sangat mungkin untuk melakukan Pilpres
ulang, meskipun ada jadwal Pilkada serentak, pada 27 November 2024.
Jika MK membuat putusan PHPU yang sesuai jadwal berakhir pada
26 April 2024, maka Pilpres ulang dapat dijadwalkan pada Juli 2024, tanpa
mekanisme kampanye. Jika tidak ada paslon yang mencapai 51% suara maka Pilpres
tahan II dapat dilakukan di September 2024 bersamaan dengan Pilkada.
“Jangan bilang waktu sudah mepet. Itu enggak benar, sebab
kita sudah punya pengalaman menyelenggarakan pemilu dengan tahapan yang pendek
sejak 2004-2009. Yang perlu diperhatikan itu pemilu harus jujur dan adil, bukan
apapun hasilnya diterima saja, sehingga mengabaikan rasa keadilan di
masyarakat, masih ada yang mengganjal, terus memicu konflik berkepanjangan, dan
gerakan-gerakan protes yang bisa mengarah pada ketidakstabilan pemerintahan,
maka lebih baik pemilihannya dibenerin,” tutur Djohermansyah.
Ia berharap, Hakim MK memiliki sikap kenegarawan untuk dapat
membuat putusan terkait PHPU yang didasarkan pada kepentingan bangsa ke depan,
dan keberlangsungan demokrasi yang bermartabat.
Djohermansyah mengungkapkan saat menjabat sebagai Dirjen
Otonomi Daerah di era Presiden SBY, dia sempat mengajari Presiden Joko Widodo
yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo, tentang tata kelola pemerintahan
yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Hal itu, juga berlangsung saat
Jokowi menjadi Gubernur DKI.
Dia mengaku, mengenal sosok Jokowi sebagai pemimpin yang
populis, dekat dengan rakyat, namun ada kekurangannya, yaitu pragmatis. Ia
berujar, sifat itu yang membuat Jokowi dapat melakukan upaya mengatasi
persoalan sesuai kebutuhannya, termasuk membuat kebijakan padahal belum ada
anggaran dan payung hukumnya.
“Padahal enggak bisa begitu karena birokrasi itu harus tertib
dan teratur. Setiap pejabat harus ikut itu enggak bisa politisi, memaksa
birokrasi mengikuti kebutuhannya atau keinginannya, karena akhirnya birokrasi
itu berjalan tidak profesional,” pungkas Djohermansyah. (jawapos)