Latest Post

Ilutrasi Logo PDIP/Net 


SANCAnews.id – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dinilai tengah diterpa hukum alam, karena selama 10 tahun memberikan kepercayaan penuh kepada Presiden Joko Widodo dan mengabaikan masukan dan harapan publik.

 

Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI) Saiful Anam menilai masyarakat menilai kerusakan bangsa yang terjadi saat ini bukan semata-mata kesalahan Jokowi, melainkan campur tangan Megawati dan PDIP yang meninabobokan Jokowi dengan memberikan pembelaan mati-matian.

 

"Kita lihat saja, civil society yang dulu berseberangan dengan pemerintah, kini dirangkul PDIP, harusnya itu dilakukan sejak dulu, untuk melakukan check and balances kepada pemerintahan Jokowi," kata Saiful, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/4).

 

Akademisi Universitas Sahid Jakarta itu juga melihat, PDIP saat ini sedang terkena hukum alam, karena selama 10 tahun berkuasa tidak memperdulikan suara civil society.

 

"Jadi ini hukum alam. Alam tengah menghukum PDIP, yang selama 10 tahun berkuasa terlalu memberi kepercayaan kepada Jokowi, bahkan banyak menyimpang dari masukan dan harapan publik selama ini," kata Saiful.

 

Untuk itu, sambung dia, pesan dari tulisan Megawati yang dimuat koran Kompas, Senin (8/4), dengan judul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi", menjadi tidak bermakna, selain hanya ingin mempertontonkan kebobrokan yang sedang terjadi di PDIP.

 

"Mungkin itu yang bisa dikatakan, sebagai kutukan dari rakyat selama 10 tahun berkuasa. Sudah saatnya PDIP mendekatkan diri pada kepentingan rakyat semesta, bukan kepada kepentingan elite dan kelompok kekuasaan tertentu," pungkasnya. (*)


Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo/Net 

 

SANCAnews.id – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri diduga berusaha membayar kesalahan kadernya, Joko Widodo (Jokowi), yang membiarkan putra kandungnya maju sebagai calon wakil presiden meski tak memenuhi syarat.

 

Upaya membayar kesalahan tersebut dituangkan dalam artikel yang dimuat di Harian Kompas pada Senin (8/4) dengan judul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi”.

 

Menurut pengamat politik dari Motion Cipta Matrix, Wildan Hakim, pendapat yang disampaikan Presiden Kelima RI itu secara tersirat mewakili sikap Megawati yang salah total.

 

Megawati mempertanyakan aspek hukum dan etika bernegara. Dua aspek penting yang harus dipatuhi oleh Presiden Jokowi dan hakim Mahkamah Konstitusi.

 

"Namun seperti yang kita ketahui, ada masalah serius yang berdampak pada penyelenggaraan Pilpres 2024. Masalah pelanggaran etika yang melibatkan KPU dan MK ini sudah terang benderang. Namun tidak mampu mengubah keadaan untuk menghentikan langkah Gibran sebagai cawapresnya Prabowo Subianto," kata Wildan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/4).

 

Dengan artikel opini tersebut, kata dosen ilmu komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia ini, Megawati terkesan berupaya membayar rasa bersalahnya selaku Ketua Umum PDIP.

 

"Pasalnya, Joko Widodo selaku kader partai terbukti membiarkan anak kandungnya yang juga kader partai maju menjadi cawapres meski belum memenuhi syarat," terang Wildan.

 

Sehingga lanjut Wildan, Megawati mengingatkan Jokowi selaku presiden karena anaknya yang akan dilantik menjadi wapres bisa ikut Pilpres 2024 melalui tahapan yang cacat etika.

 

"Kerumitan ini takkan terjadi seandainya Jokowi selaku ayah Gibran melarang anaknya maju sebagai cawapres," pungkas Wildan. (*)


Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Jokowi/Net 

 

SANCAnews.id – Kehancuran bangsa dan negara Indonesia bukan hanya kesalahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tapi juga kesalahan PDIP dan Megawati Soekarnoputri.

 

Menurut Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, sejak awal Megawati mempercayakan segalanya kepada Jokowi.

 

"Dari awal Megawati telah keliru memberikan keris super sakti kepada Jokowi, sampai-sampai keris tersebut harus memakan tuan yang memberikannya," tutur Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/4).

 

Sehingga kata akademisi Universitas Sahid Jakarta ini, publik melihat bahwa kesalahan bukan kepada Jokowi, namun kepada Megawati yang tidak mampu membaca tanda-tanda Jokowi akan melakukan semua ini.

 

"Rakyat menilai semua ini merupakan bagian ketidakmampuan Megawati dalam mengelola potensi konflik dan pendidikan politik yang merupakan ruh dan tujuan dari partai politik,” jelas dia.

 

“Mestinya sebagai parpol yang telah tau pahit getirnya politik, dapat membaca dengan baik semua kemungkinan yang akan terjadi, termasuk kemungkinan Jokowi akan seperti saat ini," tegas Saiful.

 

Lanjut dia, ppesan yang diinginkan Megawati melalui tulisan di Harian Kompas pada Senin (8/4) dengan judul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi" adalah untuk memberikan peta jalan kepada MK agar tidak salah arah dalam memutus sengketa pemilu.

 

"Tulisan tersebut tentu sah-sah saja, jika semangatnya adalah perbaikan bangsa dan negara ke depannya," pungkas Saiful. (*)


Pasangan capres - Anies Baswedan dan  capres -Prabowo Subianto  saat Pengundian dan Penetapan nomor urut Capres dan Cawapres di kantor KPU, Jakarta, Selasa, 14 November 2023. 

 

SANCAnews.id – Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin Mustofa Nahrawardaya mengatakan, saat ini Anies Baswedan sedang fokus pada urusan dalam negeri dan silaturahmi jelang libur Idul Fitri 2024. Hal itu disampaikan Mustofa saat ditanya soal pertemuan Anies dan Prabowo Subianto dalam rangka rekonsiliasi politik.

 

“Dalam masa-masa Idul Fitri, selama awal Syawal, untuk sementara Pak Anies akan menghindari urusan politik,” ujar dia ketika dihubungi, Kamis, 11 April 2024.

 

Mustofa mengatakan saat ini belum ada pemberitahuan apapun soal pertemuan dengan Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka. “Kalau berita-berita keinginan Prabowo atau Gibran ketemu Anies, memang sudah ada sejak coblosan waktu itu. Namun hanya berita-berita di Medsos,” tuturnya.

 

Namun, kata dia, belum ada pemberitahuan resmi atau formal yang diterima dari calon presiden atau wakil presiden lain. “Pak Anies bilang ke saya, sementara gak akan memikirkan politik dulu. Nanti pada waktunya saja.”

 

Jubir Amin itu juga menyebut Anies kemarin sudah seharian menerima tamu-tamu dalam rangka menjalin silaturahmi. Dia mengklaim ada ribuan masyarakat yang hadir ke Pendopo Anies Baswedan di Lebak Bulus. Sementara hari ini, Anies berencana meninggalkan Jakarta dan menghabiskan waktu untuk silaturahim ke luar kota.

 

Sementara Gibran sebelumnya menyampaikan keinginan bertemu dengan calon presiden dan wakil presiden lain setelah salat Idulfitri di Solo. Mereka adalah Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud Md. (tempo)


Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri/Ist 

 

SANCAnews.id – Kesedihan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dinilai terlambat dan seolah ingin menegaskan independensi Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Hal itu disampaikan Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, menanggapi tulisan Megawati yang dimuat di surat kabar Kompas pada Senin (8/4) bertajuk “Statemanship Hakim Mahkamah Konstitusi”.

 

Menurut Saiful, tulisan Megawati sulit lepas dari unsur politik yang melatarbelakanginya, karena tak lain karena posisinya sebagai ketua partai politik pengusung calon Presiden yang dinyatakan kalah dan sedang dalam proses pencalonan sengketa di MK.

 

"Kegundahan Megawati dapat dikatakan terlambat, apalagi instrumen hukum sebelumnya tidak dilakukan seperti misalnya melakukan keberatan atas pencalonan Prabowo-Gibran sampai misalnya melakukan challenge ke Bawaslu tidak dilakukannya," kata Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/4).

 

Bahkan, kata Saiful, PDIP juga sangat terlambat karena baru melakukan gugatan ke PTUN.

 

"Jika saja tulisan Megawati tersebut dilakukan pada pra atau pada saat pencalonan Prabowo-Gibran maka publik masih memakfumi, namun jika saat ini di mana sengketa sedang berproses di MK, maka sulit untuk membedakan antara kepentingan parpol dengan kepentingan bangsa," terang Saiful.

 

Mestinya, kata akademisi Universitas Sahid Jakarta ini, tulisan Megawati menjadi sangat bermakna apabila ditulis oleh pakar atau akademisi berkaliber, bahkan tokoh masyarakat yang didengar publik.

 

"Jika Megawati jelas-jelas publik menilai syarat dengan kepentingan yang melatarbelakanginya," tutur Saiful.

 

Saiful menilai, tulisan Megawati tersebut juga tidak masuk ke dalam narasi akademisi fundamentalis, apalagi terkesan terlambat, serta ditulis oleh orang yang tidak tepat.

 

"Dari segi subjek mestinya bukan Megawati yang menyuarakan yang jelas-jelas ia berada pada posisi sebagai ketua umum parpol yang mengusung kandidat yang kalah," jelas Saiful.

 

Selain itu, dari sisi momentum juga tidak pas, mestinya jika akan mempersoalkan pencalonan Prabowo-Gibran, dilakukan pada saat atau sebelum pencalonannya.

 

"Jika sekarang maka terkesan seperti sedang ingin melakukan penekanan terhadap independensi MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil Pilpres yang sedang berlangsung di MK," pungkas Saiful. (*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.