Capres-Cawapres, Pakar Hukum Administrasi Ungkap Kebobrokan KPU Siapkan PKPU
Pakar Hukum Administrasi dari Universitas Islam Indonesia, Prof Dr Ridwan, saat memaparkan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, Senin (1/4)/Repro
SANCAnews.id – Penyusunan aturan teknis yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kedapatan bermasalah oleh saksi ahli yang dihadirkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), dalam Hasil Pemilihan Umum Sidang Sengketa (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden.
Adalah pakar Hukum Administrasi Universitas Islam Indonesia,
Prof Ridwan yang menjadi saksi ahli pasangan Amin dalam Sidang Lanjutan Perkara
Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024, di Ruang Sidang Utama. Gedung Mahkamah Konstitusi,
Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (1/4).
"Pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam perspektif
hukum administrasi, saya menyimpulkan itu tidak sah," kata Ridwan.
Dia memaparkan, dalam dokumen penetapan pasangan
capres-cawapres berupa Surat Keputusan KPU 1362/2023 termuat dasar hukum yang
tidak sesuai dengan Peraturan KPU tentang pencalonan yang direvisi dan sesuai
Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.
"Ini yang saya aneh, dari perspektif saya sebagai ahli
hukum administrasi adalah pada konsiderans menimbang huruf a. Di sana
disebutkan untuk melaksanakan Pasal 52 ayat (1) PKPU Nomor 19 Tahun 2023,"
ujarnya.
Dia memaparkan, dalam Pasal 52 ayat (1) PKPU 19/2023 masih
diatur mengenai batas usia capres-cawapres minimum 40 tahun. Sementara,
penetapan Gibran seharusnya didasarkan pada Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang
juga telah diatur dalam PKPU Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hasil
revisi yang diberi nomor 23/2023.
"Padahal keputusan tentang penetapan pasangan peserta
pemilu itu diterbitkan tanggal 13 November. Sementara peraturan KPU itu sudah
diubah pada tanggal 3 November. Kok masih dijadikan dasar pertimbangan
menimbang, konsiderans menimbang?" ucap Ridwan keheranan.
Karena itu, dia memandang secara hukum administrasi, poin
pertimbangan KPU dalam Surat Keputusan KPU 1362/2023 tidak tepat, karena
menggunakan dasar hukum yang sudah tidak berlaku lagi.
"Mestinya yang menjadi pertimbangkan adalah UU yang
baru, peraturan yang baru," tandas Prof Ridwan. (rmol)