Pengacara 6 Laskar FPI Dukung KPK Usut Dugaan Gratifikasi Kasus KM 50 di MA
IlustrasiNet
SANCAnews.id – Pengacara 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi korban pembunuhan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek) mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas dugaan penerimaan gratifikasi atas putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Hal itu disampaikan pengacara 6 korban pembunuhan KM 50, Azis Yanuar, menanggapi pernyataan KPK mengusut dugaan gratifikasi dan pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh (GS) terkait penanganan kasus perkara KM 50.
"Ini adalah petunjuk sangat kuat bahwa dari awal hingga akhir kasus KM 50 diduga sarat dengan kejahatan yang keji dan terstruktur, penuh rekayasa dan tipu daya," kata Azis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (26/3).
Azis meyakini, bahwa sampai kapanpun kebenaran tidak akan bisa dilawan, dan kebenaran akan melawan sampai kapanpun.
"Dan semua yang terlibat di dalam perlawanan atas kebenaran itu akan menemui ganjarannya di dunia apalagi di akhirat," terang Azis.
Untuk itu, Azis mendesak berbagai pihak untuk mengungkapkan kasus KM 50 hingga tuntas. Mengingat, hal tersebut merupakan utang kemanusiaan dari negara terhadap kasus tersebut.
"Semua pihak yang memang hari nurani masih ada. Ini masalah kemanusiaan, masalah anak bangsa. Apalagi KPK, kita dukung doakan dan siap bantu sesuai tupoksinya," pungkas Azis.
Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pihaknya mendalami terkait penanganan perkara Kasasi kasus KM 50 saat memeriksa para Hakim Agung yang mengadili perkara kasasi Kasus KM 50, yakni Desnayeti dan Yohanes Priyana, sebagai saksi dalam perkara dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU Gazalba di Gedung Arsip MA, Senin (25/3).
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain kaitan adanya musyawarah dalam proses pengambilan putusan dalam perkara KM 50 dengan salah satu komposisi Majelis Hakimnya saat itu adalah tersangka GS," kata Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (26/3).
Sebelumnya, MA menolak kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pembunuhan anggota FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek). Dua polisi yang menjadi terdakwa di kasus itu, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella, tetap lepas seperti putusan pengadilan sebelumnya.
Putusan dengan nomor perkara 938 K/Pid/2022 dan 939 K/Pid/2022 itu diambil dalam sidang yang digelar Rabu, 7 September 2022. Vonis diambil oleh majelis hakim yang diketuai oleh Desnayeti dan beranggotakan Gazalba Saleh dan Yohanes Priyana.
Sejatinya, ada tiga polisi pelaku penembakan. Namun Inspektur Polisi Dua Elwira Priadi meninggal dunia sebelum persidangan.
Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan terhadap keenam laskar FPI pengawal Habib Rizieq dalam kejadian pada Desember 2020 itu. Ada dua peristiwa penembakan tersebut, pertama baku tembak di jalan yang membuat dua anggota FPI meninggal. Saat itu laskar FPI tengah mengawal Habib Rizieq.
Peristiwa kedua, pada saat penembakan empat anggota FPI di dalam mobil ketika dibawa dari Rest Area KM 50 Tol Cikampek ke Polda Metro Jaya. Para polisi itu divonis lepas karena hakim menilai peristiwa itu merupakan upaya bela diri.
Pada pengadilan tingkat pertama, terungkap alasan Majelis Hakim memvonis lepas pelaku pembunuhan 6 laskar FPI. Hakim menilai Yusmin Ohorella dan Fikri Ramadhan terbukti menghilangkan nyawa orang lain dalam peristiwa yang terjadi di sekitar KM 50. Namun, hal itu dinilai merupakan upaya membela diri atas serangan yang mereka terima.
Dalam perkara ini, Gazalba Saleh resmi ditahan KPK pada Kamis 30 November 2023. Dia diduga menerima gratifikasi sekitar Rp15 miliar.
Uang gratifikasi itu berasal dari pengondisian amar isi putusan yang mengakomodir keinginan dan menguntungkan pihak-pihak berperkara yang mengajukan upaya hukum di MA.
Dari pengondisian isi amar putusan tersebut, Gazalba menerima pemberian sejumlah uang sebagai bentuk penerimaan gratifikasi, di antaranya untuk putusan dalam perkara Kasasi Edhy Prabowo, Rennier Abdul Rahman Latief dan Peninjauan Kembali (PK) dari Jafar Abdul Gaffar. (***)