Latest Post

Juru Bicara Tim Hukum AMIN, Iwan Tarigan 
 

SANCAnews.id – Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Tim Nasional AMIN), menolak kemenangan pasangan calon peraih suara tertinggi yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.


Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelesaikan rekapitulasi suara Pilpres 2024 di 19 provinsi.


"Kami dari Timnas AMIN menolak kemenangan 02 di 19 Provinsi. Kami dari Timnas AMIN Berpendapat hasil kemenangan 19 Provinsi untuk 02 adalah kemenangan yang di peroleh dengan cara curang yang TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif)," kata Juru Bicara Timnas AMIN, Iwan Tarigan, kepada Akurat.co, Kamis (14/3/2024).


Menurutnya, Timnas AMIN menganggap kemenangan tersebut dibantu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), menggunakan kekuatan aparat dan pemerintah dari jauh sebelum hari pencoblosan. Bahkan bantuan tersebut sudah diberikan jauh sebelum Pilpres dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024.


"Yang sangat mudah kita lihat dengan dugaan memanfaatkan MK, KPU, Bawaslu, Aparat Desa, ASN, PJ Gubernur, Walikota dan Bupati, Aparat Hukum, Menteri aktif menjadi Team Sukses dan penggunaan anggaran Bansos yang berasal dari APBN," beber Iwan.


"Artinya carayang dilakukan meraih kemenangan di Pilpres 2024 ini adalah cara pemenangan paling buruk sejak reformasi 98," imbuhnya.


Dia menegaskan, Timnas AMIN tidak akan membiarkan ini terjadi, dan akan membawa sengketa Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi.


Sebelumnnya, hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan Prabowo-Gibran dinyatakan menang berdasarkan perolehan suara di 19 provinsi.


Di antaranya, Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Bali, Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Sulawesi Barat. (akurat)


Guru Besar hingga Sivitas Akademika Universitas Indonesia Salemba menyampaikan pendapat atas situasi nasional saat ini dan implikasi luasnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

 

SANCAnews.id – Guru besar dan akademisi Universitas Indonesia (UI) Salemba menyoroti berbagai persoalan bangsa yang mempunyai implikasi luas bagi kehidupan bermasyarakat. 


Guru Besar UI Sulistyowati Irianto menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) banyak melanggar aturan konstitusi.


"Konstitusi mewajibkan presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, untuk berdiri di atas semua golongan tanpa terkecuali. Namun amanat Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan semata demi kepentingan kekuasaan," kata Sulis di Gedung IMERI FK UI, Salemba Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).


Sulis menekankan, konstitusi mewajibkan presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan. Namun dalam praktiknya, lanjut dia, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisası yudisial), yang makin meruntuhkan demokrasi.


"Diubahnya pelbagai aturan dan kebijakan melemahkan pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan, dan obat-obatan," bebernya.


Sulis juga menilai aktivitas instrumentalisasi bantuan sosial (bansos) pemerintah dengan alasan menopang rakyat miskın seperti pembiaran terhadap kemiskinan. Menurutnya, penghapusan kemiskinan harus dilakukan dengan upaya memperluas lapangan kerja di segala bidang


"Meningkatkan kapasitas penduduk usia muda agar punya akses pendidikan setinggi-tingginya, memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya," ujar Sulis, menegaskan.


Ia menambahkan, selama 10 tahun pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan yang mereduksi substansi pendidikan menjadi urusan administratif belaka.


"Para pengajar dibebani berbagai barang penilaian, sementara substansi dan profesionalisme pendidik terabaikan Setiap tahun prestasi pelajar kita dalam sains, matematika, dan bahasa semakin merosot (ranking PISA)," ungkapnya. (inilah)



 

SANCAnews.id – Pengamat politik Refly Harun mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat khawatir tidak lagi menjabat sebagai kepala negara setelah masa kepemimpinannya berakhir pada Oktober 2024.


Oleh karena itu, menurut Refly Harun, Jokowi berusaha untuk tetap kokoh berkuasa sehingga Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengusulkan agar eks Wali Kota Solo itu diangkat menjadi ketua koalisi.


"Kita tidak tahu ya kenapa ada usulan seperti itu, tapi paling gampang adalah ya bagaimana memberikan peran politik kepada Jokowi, dan kita tahu bahwa begitu khawatirnya Presiden Jokowi ya kalau tidak lagi menjabat, karena itu dia berusaha tetap menancapkan kuku kekuasaannya," ucapnya, dikutip populis.id dari YouTube Refly Harun, Kamis (14/3).


Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya menjadi sosok yang berada di atas semua partai politik.


Ia pun menyampaikan terdapat usulan dari Ketua Dewan PSI Jefrie Geovanne agar Jokowi menjadi pimpinan koalisi partai politik yang mempunyai kesamaan visi misi menuju Indonesoa Emas, Grace mencontohkan seperti Barisan Nasional di Malaysia.


"Saya pikir ide bagus juga, Pak Jokowi mungkin bisa jadi ketua dari koalisi partai-partai, semacam barisan nasional, partai-partai mau melanjutkan atau punya visi yang sama menuju Indonesia emas," kata Grace dalam program Gaspol! Kompas.com, Minggu (10/3/2024), dikutip dari Kompas.


Ia menilai Jokowi bisa menjadi sosok yang mempersatukan atau menjembatani kepentingan partai-partai politik. "Enggak banyak sih saya pikir yang dengan orang rela ya untuk menerima dan hari ini saya pikir Pak Jokowi satu-satunya orang," kata Grace.


Grace mengatakan hal tersebut masih berupa usulan, sehingga perlu untuk dibicarakan lebih lanjut, terlebih peran Jokowi di dalamnya.


"Itu kan masih usulan ya, detailnya kita belum tahu juga, kan perlu dibicarakan juga, ini kan banyak partai, banyak kepentingan, banyak kepala, jadi akan seperti apa dinamikanya belum tahu," ujar dia. (populis)



 

SANCAnews.id – Pegiat media sosial Tifauzia Tyassuma atau akrab disapa Dokter Tifa mengungkapkan apa jadinya Indonesia jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memimpin dua periode.


Menurutnya, jika Jokowi tidak menjadi kepala negara, maka tidak akan ada pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kaltim yang berpotensi menelan biaya sekitar Rp500 triliun.


"Kalau tidak ada Jokowi. Jakarta tetap jadi Ibukota. Alokasi dana IKN Rp 500 T digunakan entaskan kemiskinan di banyak daerah," ucap Dokter Tifa, dikutip populis.id dari akun X pribadinya, Kamis (14/3).


Selain itu, utang negara tidak akan bertambah gila-gilaan dan hukum serta konstitusi akan tetap tegak. "Indonesia tidak tambah hutang Rp 8000 T yang harus  ditanggung anak cucu sampai dengan 200 tahun ke depan. Hukum tetap tegak. Konstitusi berdiri kokoh," imbuhnya.


Sementara itu, pegiat media sosial Lis Turyanto merasa tanpa aksi brutal Presiden Joko Widodo (Jokowi), pasangan calon (paslon) nomor urut dua dari Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan sulit menang di Pilpres 2024.


Aksi brutal Jokowi yang dimaksud Lis adalah pembagian bantuan sosial (bansos) dan pengerahan aparat untuk memenangkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. "Jadi bisa dikatakan tanpa aksi brutal Pak Jokowi ini bakal sulitlah buat paslon nomor urut dua buat bisa menang Pilpres," ucapnya.


Sehingga menurutnya tidak heran jika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengusulkan agar Jokowi menjadi ketua koalisi, melihat dari perannya dalam koalisi pendukung Prabowo-Gibran.


"Makanya enggak heran kalau PSI menganggap Pak Jokowi ini luar biasa banget, ya dia ini penting sekali jadi jembatan buat semua partai koalisi Prabowo-Gibran ," ujarnya, dikutip populis.id dari 2045 TV, Rabu (13/3). (populis)





 

SANCAnews.id – Sebanyak 16 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menolak penggusuran paksa demi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). 


Akademisi Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Herdiansyah Hamzah yang mewakili koalisi ini mengatakan, Badan Otorita IKN mengancam masyarakat lokal di kawasan IKN untuk mengambil alih tanah masyarakat atas nama pembangunan. 


"Ancaman Badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Desa Pemaluan dengan dalih pembangunan ibu kota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah," ujar Herdiansyah dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 13 Maret 2024. 


Herdiansyah mengungkapkan Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN, mengancam warga melalui surat Surat Nomor 179/DPP/OIKN/III/2024. Surat itu dikirimkan kepada warga pada 4 Maret 2024 yang menyatakan adanya pelanggaran oleh warga atas pembangunan yang tidak berizin dan atau tidak Sesuai dengan tata ruang IKN. 


Dalam surat tersebut, Badan Otorita IKN menyatakan bahwa Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin telah melakukan identifikasi pada Oktober 2023. Hasilnya, terdapat ketidaksesuaian kondisi di lapangan dengan tata ruang yang diatur pada Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR WP) IKN. 


Dalam surat tersebut, Badan Otorita IKN mengundang warga dalam agenda Tindak Lanjut atas Pelanggaran Pembangunan yang  Tidak Berizin dan Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN juga mengeluarkan Surat Teguran Pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024. 


Dalam surat itu, Badan Otorita IKN meminta kepada warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah memberikan batas waktu kepada warga untuk meninggalkan wilayah tersebut dalam 7 hari. 


Herdiansyah menilai cara yang dilakukan Badan Otorita IKN ini seperti rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara. Menurut dia, penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah kepada warga Desa Pemaluan merupakan bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga. 


Ia mengatakan pemerintah telah berupaya melakukan memaksa masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka. "Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya," ucapnya.


Langkah ini, kata Herdiansyah, merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Khususnya, pelanggaran atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan tanah, dan hak atas pemukiman warga. 


Adapun Badan Otorita menjadikan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN sebagai dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Menurut Herdiansyah, aturan ini pun merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah. 


Dengan demikian, ia menilai langkah pemerintah ini melanggar pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Beleid ini mengamanatkan pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 


Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, Herdiansyah menilai tata ruang yang dibuat justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat. "Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN," ujarnya. (tempo)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.