Jokowi bersama anak-anak di Sentani, Papua, Senin, 1 April
2019. Sumber : Twitter @jokowi
SANCAnews.id – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan utang pemerintah mencapai Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024. Angka tersebut meningkat sekitar 1,33 persen dibandingkan Desember 2023 sebesar Rp8.144,69 triliun.
Menurut perhitungan ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, jika utang pemerintah ditanggung oleh setiap warga negara Indonesia, berarti setiap orang akan menanggung beban utang pemerintah sebesar Rp 30,5 juta.
Bhima memperkirakan beban utang yang ditanggung warga kemungkinan bertambah hingga Rp 40 juta. Sebab, postur belanja pemerintah akan semakin ekspansif dalam beberapa tahun ke depan.
"Sekarang kita lihat realistis saja, rencana defisit APBN mau dinaikkan pada 2025, sementara tahun ini pendapatan dari pajak dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding kenaikan utang," kata Bhima kepada Tempo, Kamis, 29 Februari 2024.
Adapun pemerintah merencanakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2025 berada di rentang 2,45 persen sampai 2,8 persen dari produk domestik bruto.
Bhima menjelaskan, PNBP pada tahun ini jelas merosot karena terlalu bergantung pada swing harga komoditas nikel yang juga oversupply, sehingga harganya anjlok. Selain itu, kata dia, negara tujuan ekspor sedang melemah permintaannya.
Dia melanjutkan, belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif. Belum lagi beban BUMN Karya yang sebagian utangnya ditanggung negara.
"Praktik utang ugal-ugalan tanpa solusi untuk rem utang bakal menghambat pertumbuhan ekonomi," tutur Bhima.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, angkat bicara soal utang pemerintah yang mencapai Rp 8.253,09 triliun per akhir Januari 2024. Angka ini setara dengan 38,75 persen dari PDB.
"Risiko utang pemerintah terkendali," kata Suminto, kepada Tempo, Rabu, 28 Februari 2024.
Dia menjelaskan, rasio utang pemerintah per akhir Januari 2024 mengalami perbaikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Yakni, 39 persen dari PDB pada Desember 2023, 39,7 persen pada Desember 2022, 40,7 persen pada Desember 2021, dan 39,4 persen pada Desember 2020.
Menurut Suminto, rasio utang terhadap PDB alias debt to GDP ratio sempat mengalami kenaikan cukup besar karena pembiayaan pandemi Covid-19. Pada 2019 lalu, rasio utang terhadap PDB adalah 30,2 persen. Rasio ini juga meningkat pada 2020 hingga 2021.
"Meskipun begitu, dibandingkan banyak negara emerging markets, debt to GDP Indonesia tergolong terendah," ucap Suminto.
Dia menjelaskan, debt to GDP ratio pada 2022 Malaysia adalah 60,4 persen, Filipina sebesar 60,9 persen, Thailand sebesar 60,4 persen, Vietnam sebesar 37,1 persen, India sebesar 89,26 persen, Argentina sebesar 85 persen, Brazil sebesar 72,87 persen, Mexico sebesar 49,6 persen, dan Afrika Selatan sebesar 67,4 persen.
Dari sisi risiko portofolio utang pemerintah, lanjut dia, risiko terkendali dan semakin membaik. Misalnya, currency risk alias risiko nilai tukar yang turun.
Porsi utang dengan valuta asing atau valas per 31 Januari 2024 adalah 28,40 persen. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan Desember 2023 yang sebesar 28,27 persen, tapi lebih rendah dibandingkan 2022 (29,61 persen), 2021 (30,05 persen), 2020 (33,57 persen), 2019 (40,97 persen), dan 2018 (41,59 persen).
"Dari sisi risiko suku bunga (interest risk), level risiko juga membaik," tutur Suminto.
Di luar surat berharga negara atau SBN SKB Kemenkeu-BI, kata dia, porsi utang Pemerintah yang menggunakan suku bunga mengambang (variable rate) adalah 9,6 persen pada Januari 2024 dan Desember 2023. Ini sedikit meningkat dibandingkan 2022 (8,2 persen), 2021 (7,4 persen), dan 2020 (7,6 persen).
"Porsi variable rate ini cukup rendah sehingga kewajiban bunga atas outstanding utang (utang eksisting) tidak banyak terpengaruh oleh pergerakan suku bunga di pasar. Meskipun tentunya pergerakan suku bunga di pasar ini akan mempengaruhi biaya bunga atas utang yang baru diterbitkan," kata Suminto.
Dia menilai, dari sisi risiko pembiayaan kembali alias refinancing risk juga terkendali demgan rata-rata tenor utang alias average time to maturity per 31 Januari 2024 adalah 7,97 tahun
Suminto melanjutkan, pemerintah terus mengantisipasi dan melakukan mitigasi risiko untuk menghadapi pasar keuangan yang dinamis. Ini termasuk sinergi dan koordinasi dengan Bank Indonesia.
"Strategi pembiayaan dilakukan secara pruden, fleksibel, oportunistik, dan terukur. Fleksibilitas pengadaan utang meliputi aspek timing, sizing, instrument, maupun currency mix untuk mendapatkan cost of fund yang optimal," ujar Suminto. (tempo)