Latest Post

Presiden Jokowi/Net 


SANCAnews.id – Ketua Dewan Guru Besar UI Prof Harkristuti Harkrisnowo mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah berubah.


Menurut Harkristuti, Presiden Jokowi sudah berpaling dari sebelumnya mendengarkan masyarakat, kini hanya mendengarkan suara kelompok tertentu.


Hal tersebut disampaikan Harkristuti dalam acara One Desk The Forum yang tayang di KompasTV pada Rabu (7/2/2024).


"Saya tidak menegasikan bahwa Pak Jokowi banyak melakukan perubahan pembangunan. Kami setuju itu. But it was in the past, yang sama saat ini itulah menjadi masalah," kata dia.


"Kan kita tidak pernah mempersoalkan, 'wah pak Jokowi kerjaannya jelek', kemarin-kemarin kita nggak pernah. Yang kita persoalkan adalah kok sekarang itu terjadi, ada kalau 'bahasa Perancisnya', walik grembyang," lanjutnya.


"Walik grembyang itu berbalik. Dari orang yang tadinya mendengar rakyat, tiba-tiba sekarang yang didengarkan cuma kelompok tertentu saja yang kemudian menimbulkan adanya peristiwa-peristiwa di Mahkamah Konstitusi dan lain-lainnya. Itu adalah menunjukkan bahwa, Apa memang sudah berhenti sih mendengar rakyat?"


Menurut Harkristuti, sikap yang lebih mendengarkan rakyat itulah yang menjadi kelebihan Jokowi, namun sekarang sudah berubah.


"Buat saya, itu adalah salah satu kelebihan beliau di awalnya. Ya jadi semua program-programnya untuk rakyat. Itu membuat rakyat senang, in the beginning," ujarnya.


"Tapi kemudian tadi, walik grembyang. Kenapa walik grembyang, ya teman-teman ahli politiklah yang tahu kenapa itu terjadi," pungkasnya.


Seperti yang diketahui, baru-baru ini mahasiswa dan guru besar dari sejumlah universitas di Indonesia memberikan pernyataan sikap terkait posisi Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.


Sivitas akademika dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UI), Universitas Andalas (Unand), dan Universitas Padjadjaran (Unpad) melontarkan pernyataan yang meminta Pemilu 2024 digelar secara demokratis, dan Presiden berhenti cawe-cawe atau ikut campur.


Pernyataan sikap ini pertama kali dikeluarkan dari UGM, yang merupakan kampus almamater Jokowi pada 31 Januari 2024 lalu.


Para guru besar, dosen, mahasiswa, serta alumni UGM menyampaikan petisi Bulaksumur di mana  mereka merasa prihatin dengan tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini yang dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan, serta keadilan sosial.  


Para sivitas akademika UGM tersebut juga menyinggung pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka pun meminta agar Jokowi berpegang teguh pada jati diri UGM yaitu menjunjung tinggi nilai Pancasila serta memperkuat demokratisasi. (kompas)

 

Ketua Umum Rampai Nusantara Mardiansyah alias Semar (tengah)/Ist 

 

SANCAnews.id – Pernyataan politikus PDIP Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok yang mempertanyakan bukti Gibran dan Joko Widodo (Jokowi) bisa bekerja dinilai hanya mencari sensasi.


Ketua Umum Rampai Nusantara Mardiansyah alias Semar menilai Ahok dan kubunya semakin menunjukkan kekesalan karena peluang mereka memenangkan Pilpres semakin tipis. 


“Cara cari perhatian masyarakat yang dilakukan oleh Ahok dari dulu sama yakni dengan membuat kegaduhan dan ini sama saja menghasut sekaligus sebarkan berita bohong,” kata Semar dalam keterangannya, Rabu (7/2).


"Ahok memang berisik dari dulu, karakternya hanya bisa membuat gaduh publik, dia (Ahok) nggak pernah belajar dari masa lalunya yang gara-gara omongan dia berakibat masuk penjara. Lucunya, dia pernah ucapkan jangan bohongi rakyat hanya untuk memenangkan kontestasi dan sekarang ini justru dia yang sedang bohongi rakyat," tambahnya.


Soal kerja Gibran Rakabuming Raka sebagai walikota Solo dan Presiden Jokowi, menurut Semar, masyarakat yang dapat menilai dan hasilnya penerimaan terhadap kinerja keduanya sangat baik.


"Survei menunjukan kepuasan terhadap kinerja pak Jokowi saat ini mencapai 75 sampai 80 persen lho, itu masyarakat yang menilai, jadi kalo ada yang masih mempertanyakan kerjanya pak Jokowi bagaimana itu memang dia tidak pernah menggunakan akal pikirannya sebelum berucap,” jelasnya.


“Itulah gambaran petugas partai seperti ahok cara membela paslonnya dengan menghasut secara membabi buta tanpa dasar yang bisa dipertanggung jawabkan dan Rampai Nusantara di seluruh Indonesia akan pasang badan untuk membela Jokowi dan Gibran," tegas Semar.


Dia juga menghimbau elite politik tidak menjadi sumbu kegaduhan menjelang pemilu yang tinggal hitungan hari karena yang dirugikan adalah masyarakat.


"Pemilu yang kita harapkan adalah damai, kondusif, tidak ada kecurangan sehingga semuanya bisa berjalan dengan lancar, kok malah ada elit politik yang sengaja memancing kegaduhan," pungkas Semar. (rmol)


Mahasiswa Bekasi-Karawang demo bakar hingga foto-jokowi/ Net 

 

SANCAnews.id – Puluhan mahasiswa Aliansi Mahasiswa Bersatu Karawang Bekasi menggelar aksi di Universitas Islam 45 (Unisma) Jalan Cut Mutia, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Selasa (6/2/2024).


Tindakan tersebut merupakan bentuk kritik terhadap Presiden Jokowi yang dinilai berpihak pada salah satu pasangan calon presiden. 


Perwakilan aksi, Aditya Syahran menilai Presiden Jokowi telah melanggar sumpah jabatannya secara konstitusional.


Ia menilai, sebagai pejabat publik, Jokowi harus bersikap adil terhadap seluruh elemen masyarakat dan tidak boleh memihak pada satu pasangan calon presiden tertentu.


“Namun, pada saat ini presiden tidak lagi menjadi pejabat publik, presiden hanya menjadi satu orang yang mementingkan satu golongan keluarga untuk melanjutkan  kekuasaannya,” kata Aditya kepada tvonenews. 


Selain melakukan orasi, dalam aksi tersebut mahasiswa juga membakar ban bekas di tengah Jalan Cut Mutia, hingga menimbulkan kemacetan panjang. Mereka juga turut membakar foto Presiden Jokowi sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan yang dipimpinnya karena telah keluar dari koridor demokrasi. 


“Itu adalah simbolik menunjukkan kepada rakyat bahwa Jokowi ini sudah tidak sehat dalam berdemokrasi dan kita menuntut kepada Jokowi untuk kembali kepada demokrasi,” tegasnya. 


Dalam aksi tersebut, mahasiswa juga membagikan selembaran kertas yang berisi lima dosa Presiden Jokowi selama periode kedua kepemimpinannya. Aditya menjabarkan kelima dosa yang dimaksud.  Pertama, Jokowi mendukung capres penculikan aktivis 98 dan pelanggaran HAM. 


Menurut dia, dengan mendukung salah satu capres, secara tidak langsung Jokowi telah menggerogoti APBN untuk kepentingan pribadi. “Mempolitisasi bansos itu adalah bukti Jokowi berpihak kepada salah satu Paslon,” ucapnya.


 Yang kedua, lanjut Aditya, Jokowi membangun politik dinasti. Politik dinasti, kata Aditya, adalah salah satu upaya dari penguasa untuk melanjutkan kekuasaannya dengan berbagai cara. 


“Jokowi memang tidak melanggar hukum, tetapi Jokowi melanggar etika moralitas dan berbangsa dan bernegara,” terangnya. Lalu dosa yang ketiga, Jokowi menghidupkan orde baru.


 Menurut Aditya pada tahun 98 mahasiswa sudah berhasil melakukan pergerakan untuk mewujudkan reformasi. 


Namun hari ini, lanjut dia, cita reformasi terancam gagal, akibat keberpihakan Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya. “Cita reformasi adalah menciptakan demokrasi yang seadil-adilnya yang berkualitas. 


Namun hari ini terancam kemunculan orba, cita-cita reformasi terancam, makanya kami dari seluruh mahasiswa untuk mencegah terjadinya orba,” imbuhnya. 


Aditya melanjutkan, dosa keempat Jokowi yaitu adanya pelemahan pemberantasan korupsi.  


“Disini kami melihat potensi munculnya orba, potensi munculnya oligarki itu akan berdampak terhadap kestabilan negara, berdampak pada praktik praktik korupsi yang akan terjadi di masa depan yang akan datang,” jelasnya. 


Lalu dosa kelima yang dimaksud oleh mahasiswa yaitu, karena Jokowi abai terhadap kesejahteraan masyarakat. 


Aditya mengatakan point terakhir ini penting. 


Keberpihakan Presiden terhadap salah satu capres, akan berdampak terhadap kesejahteraan rakyat. 


“Kinerja para pejabat publik tidak mengendepankan fungsinya sebagai publik service, pejabat publik pasti mementingkan kepentingannya hal hal yang seharusnya diberikan kepada rakyat namun di politisasi, seperti bansos,” tutupnya. (tvone)


Aprilia Supaliyanto MS.SH didampingi Bedi Setiawan, SH (kiri dan Armen Dedi.SH usai pembacaan pernyataan sikap di gedung badan wakaf universitas isam Indonesia UII Yogyakarta Rrabu, (7/2/2024) 


SANCAnews.id – Tak hanya akademisi, guru besar, dan aktivis dari berbagai elemen, kini giliran elemen profesi penegak hukum yang tergabung dalam Aliansi Advokat Yogyakarta (AAY) yang melancarkan pernyataan. 


Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung, mereka mendesak jika tetap cawe-cawe dalam pesta demokrasi, mereka mendesak Joko Widodo (Jokowi) mundur dari jabatan presiden demi kehormatan bangsa, negara. kehidupan berbangsa dan bernegara. 


“Demi kemaslahatan NKRI, Konstitusi dan Demokrasi serta etika bernegara, kami Aliansi Advokat Yogyakarta menyarankan dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden,” demikian poin pertama tuntutan yang disampaikan Ketua AAY, Advokat Aprilia Supaliyanto MS SH, di Kantor Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta, Rabu (7/2/2024). 


Pembacaan pernyataan sikap diawali menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri ini berlangsung hidmat. Cukupn menarik, diikuti sekitar 100 advokat yang sebagian diantara mereka adalah anggota Tim Hukum pasangan capres 03 dan 01. 


Meski demikian mereka menegaskan dalam kontek pernyataan sikap tersebut tidak membawa bendera pendukung capres, tetapi murni keterpanggilannya sebagai advokat yangt punya peran mengawal konstitusi. “Jadi kami tegaskan, ini merupakan gerakan moral. 


Bukan partisan. Kami sebagai advokat punya peran mengawa jalannya pemrintahan berdasarkan konstitusi,” tegas Aprillia. 


Tampak di antara mereka Advokat Daris Purba SH, Ivan Bert SH, Armen Dedy SH, Fahrur Rozi SH, Ryan Nugroho SH, Heru Lest SH, Bedi Setiawan SH, Kardi SH (Advokat mantan Kajari Yogya), Irsyad SH, Ferry Hantoro SH, Rudi Hermanto SH, dan Iqba SH. 


Aprillia menyatakan jika tidak mundur dari jabatannya, maka setidaknya Jokowi segera memposisikan diri sebagai Presiden yang negarawan. 


Harus menghormati dan patuh kepada hukum-konstitusi, menjunjung tinggi etika keadaan dalam bernegara, yang mengayomi semua rakyat tanpa membeda-bedakan. “Presiden harus berdiri di tengah, netral dalam kontestasi Pilpres,” tegasnya. 


Pernyataan sikap juga mendesak agar aparatur negara tidak memanfaatkan dan menyalahgunaan semua fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan paslon tertentu. Termasuk tidak melakukan politisasi Bansos, politisasi hukum dan konstitusi. 


Demikian pua terhadap partai politik (parpol) secara kelembagaan perlu mengambil sikap konkret atas keadaan negara ini, melakukan langkah-langkah politik untuk kebaikan bangsa. Selain itu imbauan netralitas kepada unsur penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu. 


Aprilia mengungkapkan, sikap imbauan dan desakan ini berangkat dari kondisi riil atau fenomena perilaku inkonstitusional yang dilakukan presiden atas sejumlah praktik politik kepentingan. 


Fenomena itu bisa diihat sejak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kemudian menjadi pintu gerbang Gibran maju sebagai cawapres, serta sejumah pelanggaran lain. 


“Presiden sesungguhnya telah mendgradasi Indonesia sebagai Negara Hukum (rechstaat) menjadi Negara Kekuasaan (machstaat),” tukasnya disambut gemuruh desakan agar Jokowi meletakkan jabatannya. (tvone)


Presiden Joko Widodo (Jokowi) 

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mendapat perhatian dari berbagai lapisan masyarakat, terutama dari kalangan akademisi dan aktivis demokrasi. 


Pasalnya, tingginya tensi pemilu 2024 disebabkan adanya rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya agar putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024.


Lolosnya Gibran sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024 membuat Anwar Usman yang juga paman Gibran, Rakabuming Raka, dipecat dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. 


Begitu pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang mendapat sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Baik Anwar Usman maupun Hasyim Asy'ari terbukti melanggar kode etik yang melekat pada jabatannya.


Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El-Guyanie mengatakan, rezim Jokowi lebih parah dari rezim Soeharto. Hal ini didasarkan pada sikap Jokowi yang rakus akan kekuasaan, bahkan melebihi rakusnya Presiden Soeharto yang dikenal otoriter. 


“Kalau Soeharto wajar, dia tidak dibatasi oleh konstitusi, karena konstitusi sebelum amandemen. Karena tidak pernah ada batasan, tidak pernah ada norma yang membatasi Presiden berapa periode, hanya menyebut Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali. Tapi tidak lupa konstitusi itu membatasi beberapa kali,” kata Gugun El-Guyanie dalam Diskusi Daring bertajuk "Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang?" yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam. 


Sementara Jokowi, lanjut Gugun, karena lahir dari UU pasca amandemen, aturannya tegas bahwa Presiden dipilih lima tahun sekali dan tidak dapat dipilih kembali setelah menjabat dua periode. 


Namun, karena Jokowi haus kekuasaan, akhirnya aturan tersebut diotak-atik dimulai dari upaya amandemen UUD 1945, menambah jabatan presiden menjadi 3 periode, mantan presiden bisa maju sebagai wakil presiden, lalu yang lebih vulgar adalah mengabulkan batas usia capres menjadi di bawah 40 tahun bagi kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu di MK. 


“Ketiga dengan cara yang vulgar juga, yakni mengakali agar anak Jokowi bisa menjadi Cawapres dengan cara minta pendapat MK atau memaksakan MK  agar membatalkan syarat usia cawapres. Itu dilakukan dengan cara meruntuhkan lembaga atau the garden of konstitusi,” tutur Sekretaris Prodi Hukum Tata Negara di UIN Yogya ini. 


Gugun menegaskan bahwa Jokowi rakus kekuasaan melebihi Presiden Soeharto, dia mengorbankan Anwar Usman dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang disidang karena etik imbas dari permainan politik Jokowi. 


Tak hanya soal Pemilu, Jokowi juga secara nyata telah merusak muruah KPK dengan merevisi UU tentang pemberantasan korupsi. Padahal, kata dia, KPK adalah salah satu lembaga yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat. 


“Sikap Jokowi ini jelas merusak muruah KPK,” pungkasnya. 


Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang. Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024. 


“Padahal kita tahu bahwa demokrasi itu ya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya itu jauh dari semangat penguasa saat ini,” ujarnya. 


Melalui diskusi bersama kelompok pemuda dan mahasiswa, Sutisna ingin mendorong agar ikhtiar menjaga demokrasi terus dilakukan. Baginya, akal sehat dan idealisme harus terus dipertahankan agar kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh praktik KKN, yang mulai terlihat di negeri ini. 


“Kita akan terus berdiskusi  mengkritisi yang salah dari perjalanan demorkasi kita,” pungkasnya. 


Diketahui, Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda menghadirkan Pemerhati Sosial Politik Surya Fermana, Akademisi UIN Sunan Kalijaga El Guyanie dan Aktivis 98 Prijo Wasono sebagai narasumber. 


Hadir pula puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta dalam diskusi tersebut. (wartaekonomi)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.