Mantan Pimpinan KPK Turun Gunung, Beri Pesan Moral untuk Jokowi
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 Basaria Panjaitan (tengah) saat membacakan pernyataan sikap dan imbauan Panca Laku bersama mantan pimpinan KPK lainnya di Gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Senin (5/2/2024).
SANCAnews.id – Seruan keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang dinilai kehilangan pedoman moral, etika, dan orientasi hukum jelang pemilu 2024 terus santer terdengar. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2019 ini turun menyampaikan keprihatinan dan imbauan moralnya kepada para pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo.
Seruan moral disampaikan sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung lama KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (5/2/2024). Mereka antara lain Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana Hardjapamekas, Amien Sunaryadi, M Busyro Muqqodas, Abraham Samad, Chandra M Hamzah, Waluyo, Bibit Samad Riayanto, Mas Achmad Santosa, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif, Adnan Pandu Praja, M Jassin, Haryono Umar. dan Zulkarnain.
Erry Riyana menjelaskan, seruan moral yang dinamakan ”Panca Laku” itu digagas baru-baru ini dalam sebuah pertemuan makan siang yang diikuti sejumlah pemimpin KPK periode 2003-2019. Mereka bersepakat untuk tidak diam saja melihat situasi bangsa dan negara belakangan ini.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas (kanan) memberikan pidato pembuka saat berkumpul bersama mantan pimpinan KPK lainnya dan menyatakan sikap terkait perkembangan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Taufiequrachman Ruki saat menjawab pertanyaan mengenai seburuk apa kondisi Indonesia sehingga mantan pimpinan KPK turun gunung mengungkapkan, hal tersebut terlihat dari sejumlah indikator yang dinilainya tidak menggembirakan. Dari sisi indeks persepsi korupsi, Indonesia pernah mencapai skor 40 (dari 0-100) pada 2019. Namun, dalam lima tahun terakhir, angka tersebut tidak naik, bahkan peringkat Indonesia malah turun.
”Artinya, negara lain maju, kita tidak maju-maju. Lalu, kita cari indeks lain, misalnya indeks demokrasi kita 6,7. Kita dinyatakan sebagai negara demokrasi yang gagal kalau menurut saya. Bukan cacat,” kata Ruki.
Mengacu pada hasil survei The Economist Intelegent Unit, Indonesia tergolong ke dalam negara flawed democracy atau demokrasi cacat. Sementara pada 2023 Varieties of Democracy Project juga menempatkan Indonesia dengan skor 25 dan menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan praktik kartel partai politik (parpol) karena maraknya bagi-bagi kekuasaan di antara parpol dengan akuntabilitas yang sangat kurang terhadap pemilih.
Semua ini terkait dengan persoalan moral. Negara di ambang bahaya kalau ini dibiarkan terus. Oleh karena itu, pimpinan KPK merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu.
Ruki mengungkapkan, ada tiga faktor yang menyebabkan indeks persepsi korupsi Indonesia sulit naik, antara lain persoalan demokrasi politik, pelayanan publik, dan ketaatan hukum. Menurut dia, tiga hal tersebut tidak pernah disentuh oleh pemerintah.
”Semua ini terkait dengan persoalan moral. Negara di ambang bahaya kalau ini dibiarkan terus. Oleh karena itu pimpinan KPK merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu. Karena ini kami ini para mantan, ya, mengimbau dengan Panca Laku. Negara ini di tangan-tangan pejabat. Jangan biarkan terpuruk lagi,” kata Ruki.
Panca Laku
Dalam kesempatan itu, Basaria menguraikan Panca Laku, yakni pesan moral dari para mantan pimpinan KPK untuk Presiden Jokowi dan seluruh penyelenggara negara. Salah satunya adalah memperkuat agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Selain itu, menjadi teladan atau role model dalam menjalankan sikap antikorupsi serta menghindari segala bentuk kepentingan (conflict of interest) karena benturan kepentingan adalah akar dan langkah awal menuju praktik rasuah.
Mantan pimpinan lembaga antirasuah itu juga menyerukan agar Presiden dan penyelenggara negara memperbaiki tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), khususnya tata kelola penyaluran bantuan sosial (bansos). Bansos mesti diatur agar tepat sasaran, sesuai nama dan alamat.
”Tata kelola bantuan sosial akhir-akhir ini menjadi sorotan karena dilakukan dalam rentang waktu menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum 2024 dan tidak memperhatikan prinsip-prinsip good governance,” kata Basaria.
Para mantan pimpinan KPK tersebut juga meminta para penyelenggara negara, khususnya aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, serta TNI, bersikap imparsial, adil, dan tidak berpihak untuk memenangkan kandidat, baik capres dan cawapres maupun calon anggota legislatif (caleg) tertentu.
Sementara itu, Laode menegaskan, pesan moral tersebut disampaikan bukan untuk mendukung atau tidak mendukung pasangan calon tertentu. Menurut dia, mantan pimpinan KPK turun gunung karena melihat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan semakin masif mendekati hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
”Sebagai orang tua, kami merasa masak, sih, diam saja atas kondisi penyelewengan seperti ini,” kata Laode saat didesak mengapa baru memberikan pernyataan sikap saat ini.
Para mantan pemimpin KPK mengingatkan rakyat agar menjadikan komitmen pemberantasan korupsi capres-cawapres sebagai pertimbangan dalam memilih. Mengenai siapa kandidat yang dinilai memiliki komitmen, Laode menyerahkannya kepada publik.
Ruki juga menyampaikan agar rakyat Indonesia berhati-hati dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan. Masyarakat harus memilih presiden yang memiliki komitmen kuat dan konsisten memberantas korupsi. Sebab, Presiden merupakan panglima tertinggi sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemberantasan korupsi.
”Kalau kita pilih presiden yang tidak punya strong komitmen, yang cuma mengatakan kami akan pimpin sendiri pemberantasan korupsi, cuma pencitraan, enggak akan bergerak kita. Negeri ini akan semakin lama semakin terpuruk,” kata Ruki.
Bagi Ruki, pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak memiliki kesadaran mengenai merosotnya indeks persepsi korupsi Indonesia. Seolah-olah, urusan menaikkan indeks persepsi korupsi adalah urusan KPK semata. Padahal, jebloknya IPK Indonesia lebih disebabkan adanya korupsi di sektor bisnis dan perizinan. ”Siapa yang mengelola bisnis, ya BKPM, ya Badan Pertanahan, dan segala macamnya. Izin-izin segala macam itu,” kata Ruki.
Sayangnya, aparatur pemerintahan saat ini tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki IPK. ”Siapa yang harus berkomitmen? Ya, presiden,” ujarnya.(kompas)