Latest Post

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin alias Din Syamsuddin, saat menyambangi markas Partai Kebangkitan Bangsa, Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat


SANCAnews.id – Salah satu pertimbangan penting dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden adalah kriteria usia. Capres-cawapres idealnya tidak boleh terlalu tua atau terlalu muda.


Begitu penilaian mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin alias Din Syamsuddin, saat menyambangi markas Partai Kebangkitan Bangsa, Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat, Jumat (3/11).


Sebab, dikatakan Din, calon yang terlalu muda dianggap kurang berpengalaman dan belum siap menghadapi tekanan politik yang kompleks. Sementara calon yang terlalu tua dianggap kurang energik dan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.


"Tapi tidak terlalu tua. Sangat manusiawi dan alami kalau terlalu tua ini suka pikun suka lupa. jangan-jangan lupa nanti Pancasila," katanya.


"Tapi juga jangan terlalu muda, karena jam terbang kepemimpinan itu penting," sambung Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu ini.


Dalam konteks ini, Din berpendapat duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menjadi pasangan capres-cawapres ideal karena mereka berada di tengah-tengah spektrum usia.


"Keduanya bisa dianggap sebagai tokoh muda, atau aktivis organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, jadi belum tua. Rambutnya saja masih hitam," kelakar Din. (rmol)


Peserta tes Gojuryu Karate-do Shinbukan (GOKASI) Indonesia sabuk putih hingga hijau mengikuti Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) di Akademi Maritim Sapta Samudra, Jalan Gaduang By Pass, KM. 18 No. 17, Koto Panjang Ikua Koto, Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, (foto: sanca)


SANCAnews.id – 55 peserta ujian Gojuryu Karate-do Shinbukan Indonesia (GOKASI) sabuk putih hingga hijau mengikuti Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) yang digelar di Akademi Maritim Sapta Samudra di jalan Gaduang By Pass, KM. 18 No. 17, Koto Panjang Ikua Koto, Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (3/1123).


Acara dibuka resmi oleh Ketua DPD Gokasi Sumbar Sensai Jumadi SH dan dilaksanakan terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu 42 peserta ujian senior dan 32 peserta ujian junior.

 

Dalam sambutannya Jumadi mengawali dengan mengucapkan Bismillah kemudian menyampaikan bahwa kegiatan tahunan dan berharap pelaksanaan ujian kenaikan tingkat dapat berjalan dengan lancar dan sukses serta melahirkan karateka Gokasi di lokasi Akademik Maritim.


Ketua Komtek Gokasi Sumbar, Anasrul Leo (paling kanan), Priha (kedua dari kanan), Jumadi (kedua dari kiri) dan Zul Efendi (kiri) 


“Saya yakin dan percaya, apa yang diberikan selama ini latihan oleh pelatih senpainya mudah-mudahan bisa berguna bagi semuanya peserta,” sebutnya.

 

Sebelumnya yang juga menjadi moderator, Ketua Komtek (Komisi Teknis) Gokasi Sumbar, Shihan Anasrul Leo SH dalam acara kegiatan UKT ini disampaikan, “Dalam rangka ujian kenaikan tingkat GOKASI akan dimintai ujian,“ tuturnya. 

 

Tak hanya itu, acara kenaikan level juga dihadiri oleh Sekretaris DPD Gokasi Sumbar Drs H. Asrizal dan 2 anggota MSH (Majelis Sabuk Hitam) yaitu Sensai Zul Efendi dan Senpai Marinir Priha Mendra dari unit YONMARHANLAN ll PDG. (sanca)


Anwar Usman usai diperiksa Majelis Kehormatan MK (MKMK)

 

SANCAnews.id – Sidang pemeriksaan pelapor pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kembali berlanjut pada hari ini, Kamis (2/11). 


Terdapat lima pelapor yang hari ini diperiksa oleh MKMK di antaranya adalah Perhimpunan Pemuda Madani, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), BEM Unusia Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Kantor Advokat Alamsyah Hanafiah.


Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Madani, Furqan Jurdi, sebagai salah satu pelapor menyebutkan bahwa ketiga hakim Mahkamah Konstitusi yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah dan Manahan Sitompul, diduga dengan sengaja membelokkan putusan MK nomor 90 soal syarat capres-cawapres.


"Bahwa para hakim terlapor yaitu hakim terlapor satu Anwar Usman, hakim terlapor dua Guntur Hamzah, hakim terlapor tiga Manahan Sitompul diduga dengan sengaja dan sadar membelokkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 90 dengan mengabulkan permohonan pemohon sebagian dan menyatakan pasal 169 huruf q bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan menambah frasa 'atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Furqan.


Menurut Furqan, penambahan frasa terkait norma tersebut bukanlah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Penambahan tersebut juga tidak disepakati oleh mayoritas hakim.


"Penambahan norma tersebut selain bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, penambahan juga tidak disepakati oleh mayoritas hakim. Putusannya selengkapnya berbunyi kami anggap bacakan 'padahal sebelumnya dalam perkara 29,51,55 mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi bersepakat untuk menyerahkan ketentuan pasal 169 huruf q kepada pembuat Undang-Undang yakni Presiden dan DPR karena pasal tersebut adalah open legal policy'," jelas Furqan.


"Namun dengan sangat manipulatif keputusan tersebut akhirnya dikabulkan hanya oleh 3 orang hakim yang menyatakan setuju terhadap keputusan a quo. Ketiganya ialah hakim konstitusi Anwar Usman selaku terlapor 1, hakim konstitusi Guntur Hamzah selaku terlapor 2, dan Marhan Sitompul selaku terlapor 3," tambah dia.


Menurut Furqan, meski sependapat, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan alasan berbeda alias Concurring Opinion dalam pertimbangan hukumnya yaitu berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur sebagai persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang.


"Dengan demikian kedua hakim tersebut menolak frasa yang disepakati oleh tiga hakim di atas, paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih oleh pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah yang disetujui oleh hakim konstitusi terlapor," kata dia.


Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih saat sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan


Kemudian, Dissenting Opinion diucapkan oleh 4 hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama, hakim Wahiduddin Adams yang mengucapkan seharusnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon.


Kedua, hakim Saldi Isra yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya memutuskan bahwa ketentuan pasal 169 huruf q adalah kebijakan hukum terbuka dan harus dikembalikan ke Presiden dan DPR sebagai pembuat undang-undang.


Ketiga, hakim Arief Hidayat yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi menolak surat pembatalan pencabutan perkara dan menolak mengabulkan pencabutan perkara pemohon karena pemohon tidak serius dan bersungguh-sungguh mengajukan permohonan.


Keempat, hakim Suhartoyo yang berpendapat permohonan pemohon tidak dapat diterima.


"Dari format tersebut terlihat jelas putusan Nomor 90 tidak memenuhi kuorum. Dengan kata lain putusan a quo dengan frasa paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan Kepala Daerah diduga terjadi akibat adanya manipulasi dan penyelundupan hukum sehingga perkara a quo dikabulkan sebagian," tutur Furqan.


"Putusan tersebut baru dianggap kuorum apabila hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan hakim Daniel Yusmic dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan atau jadikan amar putusan," sambungnya.


Bagi Furqan, pengambilan keputusan perkara 90 tidak mencerminkan prinsip kesetaraan di antara para hakim Mahkamah Konstitusi.


Dalam petitumnya, Perhimpunan Pemuda Madani menuntut agar Anwar Usman diberhentikan dengan tidak hormat atau diberhentikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.


"Menjatuhkan hukuman kepada hakim terlapor 1 berupa pemberhentian dengan tidak terhormat dari hakim konstitusi atau setidaknya diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi karena melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," tegas Furqan.


Ia juga menuntut agar Guntur Hamzah dan Marhan Sitompul diberhentikan dengan tidak hormat dari Mahkamah Konstitusi.


"Menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan tidak terhormat kepada hakim terlapor 2 karena diduga menyalahi asas independensi, asas integritas, asas ketidakberpihakan atau melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," imbuhnya.


"Menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan tidak terhormat kepada hakim terlapor 3 karena diduga melanggar asas independensi, integritas dan ketidakberpihakan atau melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," sambung dia.


Pihaknya juga menambahkan tuntutan baru yakni pembatalan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90.


"Dan kami tambahkan satu lagi yang mulia, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 batal demi hukum karena melanggar ketentuan pasal 17 ayat 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman," pungkas dia. (kumparan)




SANCAnews.id – Tampilan sederhana Presiden Joko Widodo sejak menjabat sebagai Walikota Solo hingga menjadi RI 1 diakui sempat membuat begawan ekonomi sekelas Rizal Ramli tertipu.


Di mata Rizal Ramli, kesederhanaan Jokowi memberi harapan besar untuk membawa rakyat Indonesia lebih makmur dan sejahtera. Namun penilaian itu perlahan luntur seiring kebijakan dan pemerintahan yang dipimpin Jokowi.


"Dalam kasus saya, jujur saja gue ketepu (saya tertipu) dengan kesederhanaan Jokowi. Sederhana banget gitu loh," kata Rizal Ramli dikutip dari diskusi Ruang Dialek yang kembali diunggah di akun Instagramnya, Kamis (2/11).


Rizal Ramli lantas menceritakan kedekatannya dengan Presiden Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Jokowi meminta tolong kepada Rizal Ramli untuk melobi Jepang agar proyek MRT bisa lebih murah.


"Saya itu simpati dengan rakyat. Penampilannya (Jokowi) kan sangat merakyat sekali. Waktu dia jadi Gubernur DKI, dia minta tolong saya (untuk) menegosiasi proyek MRT lebih murah," jelas Rizal Ramli.


Melihat kesederhanaan Jokowi, RR, sapaan Rizal Ramli lantas membantu Jokowi. Ia lalu bertemu dengan Tanaka Akihiko-san yang merupakan pemegang mayoritas proyek di Indonesia, termasuk MRT.


Namun penilaian Rizal Ramli tersebut perlahan berubah. Kini, RR menilai Jokowi telah memiliki kepentingan lain dari sekadar menyejahterakan rakyat.


"Mas Jokowi tidak pernah berjuang untuk demokrasi, dia sibuk cari duit doang. Dia bisa jadi presiden kan karena demokrasi. Tapi begitu jadi presiden, dia preteli komponen demokrasi," tegas RR. (rmol)




SANCAnews.id – Partai Hijau Indonesia (PHI) menilai pemerintah saat ini melakukan upaya pengkhianatan terhadap konstitusi dengan meloloskan gugatan batas usia capres cawapres.


Presidium Nasional PHI, John Muhammad mencium adanya campur tangan kuat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait putusan MK.


“PHI juga mencermati adanya dugaan kuat intervensi Presiden Jokowi kepada Mahkamah  Konstitusi melalui Ketuanya, Anwar Usman – yang sekaligus merupakan saudara ipar Jokowi,” ujar John dalam jumpa pers di M Bloc Space, Blok M, Kamis (2/11).


Menurutnya, putusan majelis hakim itu harus diperiksa dengan teliti oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Lantaran, kuat dugaan adanya upaya nepotisme dalam putusan tersebut.


“Putusannya yang meloloskan putra sulung Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden patut diperiksa lebih jauh sebagai penyelewengan konstitusi,” tegasnya.


Atas dasar itu, PHI meminta agar Presiden Joko Widodo dimakzulkan, karena melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi.


“Praktik ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan konstitusi yang memiliki konsekuensi hukum yang serius, pemakzulan,” tandasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.