SANCAnews.id – Jajaran pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi)
membela kepala negara karena dianggap lawan bicara dalam urusan Pilpres 2024.
Mereka juga menyerang orang-orang yang mempertanyakan campur tangan Jokowi
dalam demokrasi lima tahun.
Jokowi dianggap tidak salah
mengumpulkan para ketua umum partai politik koalisi pemerintahan di Istana
Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu. PDIP menganggap, sangat melecehkan hati
masyarakat jika Jokowi dianggap cawe-cawe di Pilpres 2024 karena mengumpulkan
para ketua umum tersebut.
"Bertemu dengan Presiden
Jokowi adalah sangatlah pantas, bahkan penting mengingat para ketua umum
partai-partai tersebut saat ini menopang dan bekerja sama dengan Pemerintahan
Presiden Jokowi dan KH Ma'ruf Amin," kata Ketua DPP PDI Perjuangan Said
Abdullah kepada wartawan, Minggu (7/5).
PDIP mempertanyakan kesalahan
Presiden Jokowi mengumpulkan para ketua umum partai politik koalisi pemerintah.
PDIP menegaskan, apabila para ketua umum partai menghendaki tatanan yang saat
ini dibangun Presiden Jokowi, maka penting untuk dilanjutkan. Sehingga tak ada
salahnya untuk didiskusikan.
PDIP mencontohkan sikap Jokowi
menghargai putusan politik Partai NasDem yang memutuskan untuk mengusung Anies
Baswedan sebagai capres. Sementara, Partai NasDem sampai saat ini masih menjadi
bagian dari partai koalisi pemerintahan Jokowi hingga 2024.
"Sebab Presiden Jokowi tahu
batasan demokrasi bahwa hak dan kewenangan partai politik mencalonkan calon
presiden dan wakil presidennya masing masing," tegasnya.
Tak hanya itu, PPP menyinggung
saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden namun juga menjabat sebagai tim pemenangan
Jokowi-Ma'ruf saat masih menjabat sebagai wapres tahun 2019.
"Pak JK tahun 2019 sebagai
wapres sekaligus menjadi dewan penasihat TKN Jokowi-Ma'ruf Amin. Apakah juga
dapat dimaknai cawe-cawe untuk penggantinya di posisi wapres?" kata Ketua
DPP PPP Achmad Baidowi alias Awiek kepada wartawan, Senin (8/5).
Dia pun menilai, pertemuan antara
ketum parpol dan Jokowi hal wajar. Apalagi pertemuan di luar jam kerja dan
tidak ada UU yang melanggar dinilai sah-sah saja.
"Pertemuan Presiden Jokowi
dengan 6 parpol itu lebih banyak bicara masalah ekonomi, bonus demografi dan
middle income trap dan Indonesia emas 2045. Kalau kemudian ada yang menyerempet
isu politik hal itu tak bisa dihindari. Namanya saja pertemuan ketum
parpol," tegasnya.
"Pertemuan itu digelar di
malam hari, di luar jam kerja. Sejauh tidak ada UU yang dilanggar ya
boleh-boleh saja," imbuh dia.
Sementara, Sekjen PDIP Hasto
Kristiyanto menanggapi santai sindiran Jusuf Kalla (JK), terkait tidak
diundangnya Nasdem dalam pertemuan para ketua umum parpol anggota Koalisi
Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hasto menjelaskan, pertemuan para
ketua umum parpol tersebut bukan hal baru, karena para presiden sebelumnya juga
melakukan hal sama, yakni melakukan pertemuan dengan ketua umum parpol koalisi
pemerintahan.
"Ya sebenarnya secara
empiris ini juga dilakukan sebelumnya oleh presiden sebelumnya, kemudian juga
oleh Pak JK sekalipun ketika berbicara dan beliau kan juga menjadi dewan
pengarah di dalam tim kampanye dari Pak Jokowi-KH Ma'rif Amin (di Pilpres
2019)," kata Hasto, saat ditemui di Gelora Bung Karno (GBK).
"Tetapi tentu saja Pak JK
berpendapat, ya beliau memang punya kebebasan menyampaikan pendapatnya,"
sambungnya.
Hasto menegaskan bahwa tidak ada
pembahasan soal politik, sebab yang dibicarakan adalah hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan bangsa dan negara.
"Sebagai pihak yang saat itu
mendengar secara langsung dari ibu Megawati Soekarnoputri, terhadap apa yang
dibicarakan di Istana Negara, itu sesuatu hal yang betul-betul berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan negara ke depan," ujar Hasto.
Terkait tidak diundangnya Partai
NasDem, Hasto menegaskan bahwa itu terkait dengan rekam jejak sosok Anies
Baswedan, sosok capres usungan Nasdem, yang menjadi antitesa dari Presiden
Jokowi.
Sementara kebutuhan bangsa saat
ini tentu saja meneruskan apa yang sudah dijalankan Presiden Jokowi.
"Dan kemudian mengapa dari
bapak Surya Paloh tidak diundang, sangat jelas penjelasan dari bapak Presiden
Jokowi, karena memang dari rekam jejak yang disampaikan oleh bapak Anies
Baswedan, itu kan juga menunjukkan hal-hal yang sifatnya berbeda," tegas
Hasto.
Kendati demikian, Presiden Jokowi
tentu saja akan mendengar segala masukan termasuk kritik yang disampaikan.
"Sebagai tokoh yang terus
mendengarkan kritik, mendengarkan masukan, dan kepemimpinannya merangkul, bapak
Jokowi mendengarkan seluruh aspek-aspek, masukan, kritik, dan sebagainya,"
imbuh dia.
4 dari 5 halaman
Diberitakan, Ketum Partai NasDem
Surya Paloh gelisah. Dia merasa Presiden Joko Widodo ikut cawe-cawe dalam
urusan Pilpres 2024. Campur tangan Jokowi dalam demokrasi lima tahunan begitu
kentara.
Paloh pun blak-blakan
mengutarakan kegelisahannya itu saat bertemu dengan Menko Kemaritiman Luhut
Binsar Pandjaitan saat pertemuan di Wisma Nusantara, Jakarta Pusat, Jumat
(5/5).
Paloh meminta Jokowi memposisikan
dirinya sebagai seorang negarawan. Mestinya, pejabat publik harus bisa
membatasi diri sebagai pemilik privilese sebagai presiden.
"Pak Surya melihat bahwa
hal-hal yang selama ini berlangsung kalau diamati Pak Surya itu kurang sehat.
Bahwa, bahkan disebut tidak sehat kalau caranya begini," ujar Ketua DPP
NasDem Sugeng Suparwoto kepada wartawan, dikutip Sabtu (6/5).
"Ya mestinya, mohon maaf,
presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara itu harus
memposisikan sebagai negarawan," jelasnya.
Menurut pandangan Paloh dan
NasDem, endorse yang dilakukan Jokowi bukan hal yang baik. Ia meminta mantan
Gubernur DKI Jakarta itu untuk netral sebagai presiden di Pemilu 2024.
"Bagaimana mengendorse satu
per satu itu menurut hemat kita tidak bagus. Dalam konteks cawe-cawe lah kalau
bahasa umumnya," ujar Sugeng.
"(Surya Paloh) menginginkan
(Jokowi netral), iya dong. Bukan sekedar menginginkan, mengharuskan
bahkan," tegasnya.
Tak hanya Paloh, Wakil Presiden
RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla menilai, seharusnya Jokowi tidak terlibat lebih
jauh dengan urusan Pemilu 2024. JK mencontohkan Presiden Megawati Soekarnoputri
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akhir masa pemerintahannya.
"Menurut saya, Presiden
seharusnya seperti Ibu Mega, SBY, itu akan berakhir, maka tidak terlalu jauh
melibatkan diri," ujarnya usai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum PKB
Muhaimin Iskandar di kediaman Jusuf Kalla di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan,
Sabtu (6/5).
"Maka tidak terlalu jauh
melibatkan diri, dalam suka atau tidak suka, dalam perpolitikan. Supaya lebih
demokratis lah," tegas JK.
Capres Koalisi Perubahan Untuk
Persatuan Anies Baswedan juga ikut buka suara. Dia meminta agar negara tidak
ikut campur dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Menurutnya, yang berhak terlibat
dalam rangkaian Pilpres adalah kontestan dan rakyat. Anies menekankan negara
harus netral dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.
"Biarkan rakyat tanpa
dipengaruhi negara, tanpa campur tangan negara, negara netral dan percayakan
rakyat bahwa rakyat menitipkan kewenangan kepada yang punya niat baik dan track
record," kata Anies saat memberikan pidato di acara Amanat Nasional
(ANIES), di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (7/5).
Anies menegaskan jika negara
sampai intervensi namanya negara sedang melecehkan rakyat. Dia menilai, rakyat
sudah matang dan mampu menentukan kepada siapa kewenangan itu dititipkan.
"Jadi tidak perlu ada
intervensi," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Dia menegaskan bahwa kontestasi
pergantian kekuasaan harus dilakukan lima tahun sekali. Maka, dia menyebut tak
perlu ada pihak tertentu yang takut untuk kehilangan kekuasaan.
"Bila ada yang khawatir
kehilangan kekuasan maka dia tidak paham prinsip dasar demokrasi. Karena
kekuasan itu tidak hilang tidak berpindah itu ada pada saudara semua rakyat
Indonesia," ujar Anies.
Anies berpesan kepada rakyat
Indonesia untuk tetap menjaga independensi hingga jadwal pemilihan nanti. Dia
menyebut, rakyat berperan untuk menentukan arah bangsa Indonesia dalam lima
tahun ke depan.
"Kepada kekuatan pada rakyat
bukan pada yang lain. Jaga kekuasan sampai nanti di TPS. Ini bukan statistik
hitungan, itu hak untuk menentukan perjalanan bangsa," imbuh Anies. (mdk)