Latest Post

 

SANCAnews.id – Langkah Heru Budi Hartono sebagai Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta yang banyak mengubah arah kebijakan dan juga hasil kerja Gubernur sebelumnya, Anies Baswedan menuai sorotan tajam. Salah-satunya, Heru membuat kebijakan dengan mengaspal trotoar atau pedestrian dan jalur sepeda di kawasan Simpang Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat lalu.

 

Ahli hukum tata negara dan pengamat politik Refly Harun menilai tindakan Heru Budi selama beberapa bulan menjabat Pj Gubernur dengan banyak merombak hasil kerja Anies di Ibu Kota sebagai upaya meninggalkan jejak pembangunan yang telah dikerjakan Anies selama lima tahun menjabat. Ia menegaskan seharusnya Heru Budi melakukan kebijakan yang belum diberlakukan oleh Anies, bukan malah merombak hasil kerja dan kebijakan yang sudah ada.

 

“Heru ini saya lihat kan hanya ingin menghapus jejak kerja Anies saja. Padahal banyak hal yang seharusnya dia tangani yang barangkali belum dikerjakan Anies. Jalur-jalur untuk sepeda dan teritorial pejalan kaki, (itu) ngapain diubah-ubah,” kata Refly saat dihubungi inilah.com di Jakarta, Selasa (18/04/2023).

 

Tak hanya itu, Refly juga mengomentari tindakan agresif warga yang banyak menentang perombakan yang dilakukan oleh Heru Budi. Menurut Refly, kebijakan Heru Budi lebih pro kepada para pengguna kendaraan pribadi roda empat, tidak selaras dengan prinsip Kota Jakarta yang ramah lingkungan dan berbasis Green City.

 

“Menurut saya wajar saja orang marah, orang (kan) menikmati Jakarta sebagai kota ramah lingkungan, karena tempat-tempat yang ramah lingkungan itu mulai dihilangkan sama dia,” jelas Refly.

 

Lebih lanjut Refly juga menyinggung soal Heru Budi yang dijadikan gubernur secara administratif untuk mengisi kekosongan jabatan, sehingga tidak seharusnya terkesan ingin menciptakan legasi sendiri.

 

“Dia kan nunggu, nunggu tuan yang sesungguhnya yang dipilih rakyat karena itu dia harus sadar dia tidak boleh banyak mengubah. Kecuali, hal penting yang ingin dia ubah. Ini kan terkesan dia ingin menciptakan legasi sendiri, padahal dia kan tidak bisa dicatat sebagai gubernur yang sesungguhnya,” terang Refli menegaskan.

 

“Sadar dirilah dia bukan pejabat yang dipilih (oleh rakyat) kira-kira begitu,” tutur Refly.

 

Refly juga menegaskan perlu adanya kontrol dari pihak DPRD DKI Jakarta, terutama dari bidang anggaran dan fasilitas kepada Pj Gubernur Heru Budi.

 

“Ya harusnya DPRD DKI itu mengontrol, kalau ini kan enggak DPRD DKI-nya bisa kongkalikong dengan Pj gubernur terutama dari anggaran, fasilitas. Seharusnya kalau punya hati nurani, Anda kan cuma pejabat sementara Anda tidak boleh melakukan hal-hal yang fundamental untuk mengubah apalagi membuat legasi sendiri,” pungkasnya. (inilah)

 

SANCAnews.id – Terdakwa ujaran kebencian ijazah palsu Presiden Jokowi, Sugi Nur Rahardja alias Gus Nur divonis enam tahun penjara.

 

Vonis itu dibacakan hakim ketua Moch Yuli Hadi dan didampingi hakim anggota Hadi Sunoto dan Bambang Aryanto dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kota Solo, Selasa (18/4/2023).

 

"Menjatuhkan pidana kepada Sugi Nur Rahardja hukuman penjara selama 6 tahun," kata Moch Yuli Hadi dalam membacakan putusan sidang.

 

Vonis itu jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya memberikan tuntutan hukuman 10 tahun penjara.

 

Sementara itu, sidang diawali dengan pembacaan berkas poin-poin putusan oleh Majelis Hakim sebanyak 350 halaman.

 

Selama pembacaan berkas putusan itu sempat diwarnai beberapa interupsi, namun sidang pun dapat dilangsungkan kembali.

 

Bambang Tri dinyatakan bersalah, dengan menyiarkan berita atau pemberitauan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat bersama-sama.

 

Seperti yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1 UURI nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan umum pidana, jo pasal 55 ayat 1 KUHP sebagai mana dalam dakwaan perdana primer.

 

Selain itu, sejumlah barang bukti juga disita, seperti 1 flashdisk berisi video unggahan channel youtube Gus Nur 13 Official, dua lembar screenshot postingan video pada akun youtube Gus Nur 13 Official. (suara)

 

SANCAnews.id – Indonesia di era Presiden Jokowi disebut tengah dilanda banyak penyakit, polarisasi politik, dan sangat berbahaya apabila tidak segera diobati.

 

Demikian dikemukakan Ketua Dewan Pengurus LP3ES Abdul Hamid saat membuka diskusi publik bertajuk "Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Berkaca pada Kontroversi 349 T Kementerian Keuangan RI" kerja sama dengan Universitas Paramadina, belum lama ini.

 

Abdul Hamid juga menyatakan bahwa masalah-masalah polarisasi dan politik identitas harus serius diatasi agar tidak terus-menerus menjadi penyakit berkepanjangan yang seringkali dimanfaatkan pada saat terjadinya hajatan politik seperti pemilu dan pilkada.

 

“Negeri ini harus diobati agar tidak terus-menerus ada di dalam siklus kekerasan” lanjutnya.

 

Sebagai narasumber pertama, ekonomi senior Rizal Ramli mendorong intelektual perlu aktif terlibat dalam isu-isu publik.

 

“Melihat refleksi akademisi di masa perang kemerdekaan di mana mereka berani menyuarakan pendapat. Perubahan yang didorong oleh kalangan intelektual di masa kemerdekaan telah menghasilkan prinsip prinsip dasar kemerdekaan,” ujarnya.

 

Menurut Rizal Ramli, reformasi setelah kejatuhan Soeharto berjalan cukup baik, demokrasi dan pers berjalan baik, kebijakan ekonomi Habibie berhasil menjauhkan Indonesia dari krisis.

 

“Namun sayangnya, lambat laun demokratisasi kembali mengalami kemunduran, terutama di masa pemerintahan saat ini. Sikap-sikap otoritarian semakin menguat di era saat ini. Anggota DPR dapat dipecat oleh ketua umum partai apabila bersikap kritis. Berbeda dengan masa era reformasi, DPR bersikap kritis di masa itu,” tutur mantan Menko Kemaritiman era Presiden Jokowi ini.

 

Ketua umum partai di era ini dinilainya cenderung terikat pada kekuasaan, sehingga demokrasi kepartaian berhasil dilumpuhkan. Makanya saran dia, di masa mendatang ketua umum partai tidak boleh memecat anggotanya, kecuali jika terindikasi berbuat kriminal.

 

Ia juga melihat adanya ironi demokrasi saat ini, “Presiden Jokowi menikmati demokrasi namun melemahkan demokrasi dengan mengikat partai-partai, lalu meluncurkan isu islamophobia dan membayar buzzer,” ucapnya.

 

Rizal Ramli menambahkan, fenomena buzzer juga telah mendistorsi fungsi kritik yang seharusnya ada di negara demokrasi.

 

“Rezim pro rakyat memanfaatkan suara media untuk mengkritik diri sendiri, rezim tidak pro rakyat hobi melakukan pencitraan membayar buzzer dan media untuk menutupi keburukan pemerintahannya,” ujarnya.

 

Senada dengan Rizal Ramli, narasumber berikutnya Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto memandang akademisi perlu terlibat aktif dalam menanggapi isu-isu publik. Seperti Pemilu yang akan diselenggarakan di 2024 mendatang.

 

“Pemilu dikhawatirkan menjadi ajang formalitas semata, yang menguasai pemerintahan hanya kelompok-kelompok tertentu,” ujarnya.

 

Dalam paparannya Wijayanto mengungkapkan hasil survei CSIS bahwa 54 persen pemilih di tahun 2024 adalah milenial. Para pemilih muda ini juga memiliki kriteria tersendiri mengenai calon pemimpin ideal.

 

“Mereka berharap memiliki pemimpin yang jujur, tidak korupsi, dan berpikiran progresif. Mereka tidak lagi berharap pada pemimpin yang sederhana,” simpulnya.

 

Pemilih muda juga menaruh perhatian pada isu kesejahteraan dibanding isu-isu politik identitas dan polarisasi.

 

“Pemilih muda memandang isu ketimpangan ekonomi dialihkan pada isu politik identitas dan polarisasi yang digunakan untuk menyembunyikan ketimpangan ekonomi yang dirasakan oleh publik” urainya.

 

Oleh karenanya Wijayanto menyarankan isu kesejahteraan ini perlu terus digulirkan sebagai bagian dari agenda kampanye pemilu. Hal ini berkaca pada negara maju yang berhasil membangun negara dengan mengedepankan kampanye kesejahteraan dan layanan publik.

 

“Mengapa negara maju bisa mewujudkan negara kesejahteraan? Pertama karena adanya kesadaran warga negara, yang kedua, tingginya partisipasi politik warga negara, dan yang terakhir adalah kesadaran pemimpin negara,” pungkas dia. (populis)

 

SANCAnews.id – Mantan vocalis band Nidji, Giring Ganesha dikabarkan sempat dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena mengalami peradangan pada tubuhnya.

 

Politisi yang juga ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini terlihat tergolek lemah dengan infus di tangannya. Hal ini dikabarkan oleh sang istri, Cynthia Riza di akun instagramnnya pada Selasa (18/4/2023).

 

“Mau cerita sedikit..Pulang dari ngamen solidaritas kemarin besok paginya bangun2 mas giring panasnya 40 derajat celcius ..Aku panik dan langsung bawa ke UGD terdekat , setelah cek darah ternyata ada peradangan tinggi ditubuhnya tapi syukurlah dibolehkan pulang dan rawat jalan dirumah .Ga tega liat mas giring & khawatir bgt karena badannya lemes dan demam masih naik turun,” ujar Cintya Riza di caption unggahannya.

 

Cyntia menyebut bahwa selama ini Giring sudah melewati 4 kali terserang covid-19 dan menurutnya kali ini ia melihat suaminya tersebut sangat lemah.

 

Hal ini pun membuat Cyntia gelisah dan tak bisa berkata banyak karena selalu mengutamakan pekerjaan dan komitmennya tanpa peduli kesehatan diri sendiri.

 

“Kadang suka bingung mau ngomongnya gimana lagi sama mas giring, klo udah urusan kerjaan & komitmen pasti diutamakan ga perduli sama kesehatan dirinya sendiri. Get well soon my love,” tandas Cyntia Riza.

 

Beberapa tokoh pun ikut mengomentari unggahan istri Giring ini.

 

“Get well soon bro @giring,” kata Grace Natalie @Gracenat.

 

“Broooo cepet sembuh yaaaaa @giring,” kata Ifan Seventeen. (suara)

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo dinilai telah melakukan kesalahan fatal di forum internasional. Padahal, "keseleo lidah" yang dilakukan Jokowi itu memalukan dan membuat nama Indonesia jatuh di mata dunia internasional.

 

"Itu pidato di Jerman, Hannover Messe 2023, keseleo lidah atau tidak paham atas yang tertulis dan apa yang dibaca? Fatal dan sangat memalukan," ujar Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (18/4).

 

Muslim menilai, Jokowi telah melakukan hal yang sangat memalukan lantaran seorang presiden berpidato di forum internasional melakukan kesalahan data.

 

Di mana, dalam pembukaan Hannover Messe 2022 pada Minggu (16/4), Jokowi mengatakan "Di tahun 2023, 23 persen energi berasal dari energi baru terbarukan (EBT), dan di tahun 2025 seluruh pembangkit batubara ditutup". Padahal, seharusnya tahunnya bukan 2025, melainkan 2050.

 

"Itu memalukan dan bikin nama Indonesia di mata internasional jatuh. Masa baca begitu saja salah. Tidak habis pikir," katanya.

 

Lebih disesalkan lagi, kata Muslim lagi, pidato Jokowi dibetulkan oleh Deputi Bidang Pers dan Media Istana, Bey Machmudin.

 

"Di forum internasional saja salah baca, keterlaluan. Lalu apa yang dapat dibanggakan oleh bangsa ini dengan penampilan presidennya seperti itu. Bikin malu," pungkas Muslim. (*)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.