Latest Post

 

SANCAnews.id – Mantan vocalis band Nidji, Giring Ganesha dikabarkan sempat dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena mengalami peradangan pada tubuhnya.

 

Politisi yang juga ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini terlihat tergolek lemah dengan infus di tangannya. Hal ini dikabarkan oleh sang istri, Cynthia Riza di akun instagramnnya pada Selasa (18/4/2023).

 

“Mau cerita sedikit..Pulang dari ngamen solidaritas kemarin besok paginya bangun2 mas giring panasnya 40 derajat celcius ..Aku panik dan langsung bawa ke UGD terdekat , setelah cek darah ternyata ada peradangan tinggi ditubuhnya tapi syukurlah dibolehkan pulang dan rawat jalan dirumah .Ga tega liat mas giring & khawatir bgt karena badannya lemes dan demam masih naik turun,” ujar Cintya Riza di caption unggahannya.

 

Cyntia menyebut bahwa selama ini Giring sudah melewati 4 kali terserang covid-19 dan menurutnya kali ini ia melihat suaminya tersebut sangat lemah.

 

Hal ini pun membuat Cyntia gelisah dan tak bisa berkata banyak karena selalu mengutamakan pekerjaan dan komitmennya tanpa peduli kesehatan diri sendiri.

 

“Kadang suka bingung mau ngomongnya gimana lagi sama mas giring, klo udah urusan kerjaan & komitmen pasti diutamakan ga perduli sama kesehatan dirinya sendiri. Get well soon my love,” tandas Cyntia Riza.

 

Beberapa tokoh pun ikut mengomentari unggahan istri Giring ini.

 

“Get well soon bro @giring,” kata Grace Natalie @Gracenat.

 

“Broooo cepet sembuh yaaaaa @giring,” kata Ifan Seventeen. (suara)

 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo dinilai telah melakukan kesalahan fatal di forum internasional. Padahal, "keseleo lidah" yang dilakukan Jokowi itu memalukan dan membuat nama Indonesia jatuh di mata dunia internasional.

 

"Itu pidato di Jerman, Hannover Messe 2023, keseleo lidah atau tidak paham atas yang tertulis dan apa yang dibaca? Fatal dan sangat memalukan," ujar Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (18/4).

 

Muslim menilai, Jokowi telah melakukan hal yang sangat memalukan lantaran seorang presiden berpidato di forum internasional melakukan kesalahan data.

 

Di mana, dalam pembukaan Hannover Messe 2022 pada Minggu (16/4), Jokowi mengatakan "Di tahun 2023, 23 persen energi berasal dari energi baru terbarukan (EBT), dan di tahun 2025 seluruh pembangkit batubara ditutup". Padahal, seharusnya tahunnya bukan 2025, melainkan 2050.

 

"Itu memalukan dan bikin nama Indonesia di mata internasional jatuh. Masa baca begitu saja salah. Tidak habis pikir," katanya.

 

Lebih disesalkan lagi, kata Muslim lagi, pidato Jokowi dibetulkan oleh Deputi Bidang Pers dan Media Istana, Bey Machmudin.

 

"Di forum internasional saja salah baca, keterlaluan. Lalu apa yang dapat dibanggakan oleh bangsa ini dengan penampilan presidennya seperti itu. Bikin malu," pungkas Muslim. (*)


SANCAnews.id – Kesalahan data yang disampaikan Presiden Joko Widodo di forum internasional terkait penutupan seluruh PLTU dinilai telah mempermalukan negara Indonesia. Tidak hanya Jokowi, pembuat pidato juga harus dievaluasi atas kesalahan ini.

 

Begitu dikatakan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menyoroti pidato Jokowi di pembukaan Hannover Messe 2023 di Hannover, Jerman pada Minggu (16/4).

 

Di mana dalam pidato yang ditonton publik dunia, Jokowi menyatakan bahwa pada 2025, seluruh pembangkit listrik berbahan bakar batubara ditutup. Akan tetapi, sehari kemudian pidato tersebut diralat karena salah. Ralat disampaikan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin.

 

"Sebagai negara ini memalukan, karena bukan lagi soal kemampuan bahasa Jokowi, tetapi ini kesalahan data tahun," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (18/4).

 

Istana menjelaskan bahwa, data sesungguhnya adalah pada tahun 2050 seluruh pembangkit batubara ditutup, bukan pada 2025.

 

Dari peristiwa memalukan ini, dikatakan Ubedilah perlu dilakukan evaluasi serius kepada penyusun pidato Jokowi yang salah fatal itu.

 

"Presiden itu, juga perlu terbiasa membaca detail sesuatu yang amat penting apalagi untuk pidato di forum internasional," pungkas Ubedilah. (*)

 

Oleh: Ridho Rahmadi

 

SUDAH sunatullah, setiap yang memimpin akan lengser dan digantikan pada waktunya. Undang-undang Tuhan ini termaktub di dalam Al Quran Surat Ali Imron 110, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”.

 

Ketika masa pergantian tersebut berusaha ditolak dengan berbagai macam cara oleh kekuatan manusia yang terlampau kecil dibanding ketetapan Allah SWT, maka sejarah mengajarkan kepada kita, kejatuhan yang teramat menyedihkan bagi mereka yang tak mau turun tersebut.

 

Mari kita ambil pelajaran tersebut dari negeri sendiri. Presiden Soeharto yang enggan lengser hingga 30 an tahun memimpin, dipaksa turun oleh rakyat yang tak tahan lagi dengan kondisi negeri.

 

Turun dengan cara seperti ini tidak hanya lengser secara jabatan, tapi jatuh pula harkat, martabat, serta kehormatan dan prestasi yang pernah ditorehkan.

 

Alih-alih nama harum yang tercatat dalam lembar sejarah Indonesia, tapi malah catatan buruk yang akan terwariskan selamanya.

 

Presiden Jokowi harus belajar dari lengsernya Soeharto, terlebih di masa setelah reformasi ini, rakyat jauh lebih demokratis dan kritis ketimbang masa Soeharto yang otokratis.

 

Dukungan untuk Jokowi pada Pilpres 2019, jika kita berasumsi perhitungan suara nya jujur, tidak lah terlalu dominan—hanya di sekitaran 55 an persen. Artinya, kira-kira setengah penduduk Indonesia bukanlah pendukung Jokowi.

 

Ide untuk menunda Pemilu lewat amandemen UUD 1945, Musra, aspirasi kepala desa seluruh Indonesia, atau Capres 2024 yang merupakan all president’s men, atau gagasan koalisi besar tidak memperlihatkan kearifan pimpinan dari Presiden Jokowi. Ide-ide tersebut hanya menunjukkan betapa Presiden Jokowi sangat tidak ingin turun.

 

Kalau Presiden Jokowi memilih untuk tidak turun dengan soft landing pada 2024, dan mengambil resiko apapun untuk lanjut sekalipun inkonstitusional, kemungkinan penyebabnya barangkali tidak jauh dari hal-hal berikut.

 

Pertama, terlalu mencintai kekuasaan, atau kedua, ada deal ekonomi dengan pihak dari dalam negeri maupun asing yang belum tuntas, yang kalau sampai tidak tuntas, barangkali akan ada aib yang dibuka dan lain sebagainya; praktek Hobbesian seperti ini, saat ini sering kita lihat dilakukan oleh penguasa sendiri. Yang kuat menindas yang lemah.

 

Keduanya di atas bukan pilihan yang baik untuk dituliskan dalam buku sejarah Indonesia di masa mendatang. Untuk itu, sebagai sesama anak bangsa, saya ingin menyampaikan kepada Pak Presiden Jokowi yang terhormat, agar sebaiknya legowo lah, berbesar hatilah, untuk turun pada 2024, dengan pendaratan yang mulus.

 

Nama harum masih sempat untuk ditorehkan dengan mempersiapkan pergantian kepemimpinan nasional tersebut.

 

Kearifan Pak Presiden Jokowi dapat menjadi contoh, salah satunya dengan cara tidak mencampuri lagi rencana Pemilu 2024, dan juga tidak menunjukkan keberpihakan kepada nama-nama potensial yang akan menjadi Capres.

 

Dengan demikian, mudah-mudahan rakyat akan mengingat Pak Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, yang tidak mencintai jabatan secara berlebihan, dan bebas dari kepentingan kelompok baik dalam negeri maupun asing. Masih ada waktu.

 

(Penulis Ketua Umum Partai Ummat)


SANCAnews.id – Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2010-2015 Saleh Daulay merespons keputusan Pemkot Sukabumi dan Pekalongan yang tak mengizinkan Muhammadiyah menggelar salat Id di tempat tertentu. Di Kota Sukabumi, tepatnya di Lapangan Merdeka pada 21 April.

 

Apa kata Saleh yang juga Ketua Fraksi PAN di DPR RI ini?

"Jadi pemerintah daerah diminta untuk menjadi contoh yang baik dalam penerapan toleransi antarumat beragama," kata Saleh, Senin (17/4).

 

Salah satu di antaranya, menurutnya, pemerintah daerah harus menghormati kepercayaan dan praktik keagamaan yang berkembang di masyarakat. Terutama dari organisasi besar keagamaan yang sudah tumbuh dan berdiri sejak lama seperti Muhammadiyah.

 

"Dalam konteks ini permintaan warga persyarikatan Muhammadiyah untuk memakai lapangan kota di Pekalongan dan Sukabumi adalah hal yang sangat wajar yaitu pada tanggal 21 dan 22 April. Tidak ada yang perlu diperdebatkan," jelas dia.

 

Ia menambahkan, budaya toleransi ini sudah berkembang di masyarakat. Baik perayaan Idul Fitri maupun kegiatan keagamaan lainnya.

 

"Dalam hal ibadah-ibadah yang tidak bersifat mendasar itu biasa antara masyarakat berbeda penerapannya. Misalnya salat tarawih, ada yang 23 dan 11 enggak ada persoalan lagi. Orang NU dan Muhammadiyah enggak tabu," tuturnya.

 

"Misalnya soal qunut, ada yang iya atau enggak. Tapi orang Muhammadiyah enggak merasa yang qunut itu salah. Oleh karena itu kita budaya toleransi itu yang dipupuk," sambung dia.

 

Saleh meminta Pemkot untuk membatalkan keputusannya dan mengizinkan salat dihelat di lapangan pada 21 April. Diduga kuat memang pemerintah dan Muhammadiyah akan berbeda dalam penentuan 1 Syawal atau Lebaran 2023.

 

Muhammadiyah sudah menentukan melalui metode hisab dan jatuh pada Jumat 21 April. Sementara pemerintah disebut akan menetapkan 22 April, salah satunya ditandai dengan prakiraan BMKG yang tak melihat hilal pada 20 April petang saat isbat.

 

"Lalu menjelang Idul Fitri kita harus sama sama menjaga keteduhan. Jangan sampai orang berpikir pemerintah sekarang tidak toleran di saat jelang pemilu. Dan itu tidak baik, Saya meminta kepada pemkot Pekalongan dan Sukabumi untuk memberikan izin umat Islam yang salat Id," tuturnya.

 

"Karena masing masing penentuan tanggal memiliki argumentasi yang didukung pemikiran logis dan dasar-dasar rujukan yang terdapat atau anjuran Nabi," tutup dia. (kumparan)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.