Oleh: Ridho Rahmadi
SUDAH sunatullah, setiap yang
memimpin akan lengser dan digantikan pada waktunya. Undang-undang Tuhan ini
termaktub di dalam Al Quran Surat Ali Imron 110, “Dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”.
Ketika masa pergantian tersebut
berusaha ditolak dengan berbagai macam cara oleh kekuatan manusia yang
terlampau kecil dibanding ketetapan Allah SWT, maka sejarah mengajarkan kepada
kita, kejatuhan yang teramat menyedihkan bagi mereka yang tak mau turun
tersebut.
Mari kita ambil pelajaran
tersebut dari negeri sendiri. Presiden Soeharto yang enggan lengser hingga 30
an tahun memimpin, dipaksa turun oleh rakyat yang tak tahan lagi dengan kondisi
negeri.
Turun dengan cara seperti ini
tidak hanya lengser secara jabatan, tapi jatuh pula harkat, martabat, serta
kehormatan dan prestasi yang pernah ditorehkan.
Alih-alih nama harum yang
tercatat dalam lembar sejarah Indonesia, tapi malah catatan buruk yang akan
terwariskan selamanya.
Presiden Jokowi harus belajar
dari lengsernya Soeharto, terlebih di masa setelah reformasi ini, rakyat jauh
lebih demokratis dan kritis ketimbang masa Soeharto yang otokratis.
Dukungan untuk Jokowi pada
Pilpres 2019, jika kita berasumsi perhitungan suara nya jujur, tidak lah
terlalu dominan—hanya di sekitaran 55 an persen. Artinya, kira-kira setengah
penduduk Indonesia bukanlah pendukung Jokowi.
Ide untuk menunda Pemilu lewat
amandemen UUD 1945, Musra, aspirasi kepala desa seluruh Indonesia, atau Capres
2024 yang merupakan all president’s men, atau gagasan koalisi besar tidak
memperlihatkan kearifan pimpinan dari Presiden Jokowi. Ide-ide tersebut hanya
menunjukkan betapa Presiden Jokowi sangat tidak ingin turun.
Kalau Presiden Jokowi memilih
untuk tidak turun dengan soft landing pada 2024, dan mengambil resiko apapun
untuk lanjut sekalipun inkonstitusional, kemungkinan penyebabnya barangkali
tidak jauh dari hal-hal berikut.
Pertama, terlalu mencintai
kekuasaan, atau kedua, ada deal ekonomi dengan pihak dari dalam negeri maupun
asing yang belum tuntas, yang kalau sampai tidak tuntas, barangkali akan ada
aib yang dibuka dan lain sebagainya; praktek Hobbesian seperti ini, saat ini
sering kita lihat dilakukan oleh penguasa sendiri. Yang kuat menindas yang
lemah.
Keduanya di atas bukan pilihan
yang baik untuk dituliskan dalam buku sejarah Indonesia di masa mendatang.
Untuk itu, sebagai sesama anak bangsa, saya ingin menyampaikan kepada Pak
Presiden Jokowi yang terhormat, agar sebaiknya legowo lah, berbesar hatilah,
untuk turun pada 2024, dengan pendaratan yang mulus.
Nama harum masih sempat untuk
ditorehkan dengan mempersiapkan pergantian kepemimpinan nasional tersebut.
Kearifan Pak Presiden Jokowi
dapat menjadi contoh, salah satunya dengan cara tidak mencampuri lagi rencana
Pemilu 2024, dan juga tidak menunjukkan keberpihakan kepada nama-nama potensial
yang akan menjadi Capres.
Dengan demikian, mudah-mudahan
rakyat akan mengingat Pak Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang arif dan
bijaksana, yang tidak mencintai jabatan secara berlebihan, dan bebas dari
kepentingan kelompok baik dalam negeri maupun asing. Masih ada waktu.
(Penulis Ketua Umum Partai Ummat)