SANCAnews.id – Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi
Luhut Binsar Pandjaitan buka-bukaan soal kegagalan dalam negosiasi besaran
bunga pinjaman di proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
Dalam lawatannya ke Beijing,
pemerintah China bersikeras menetapkan bunga utang sebesar 3,4 persen.
Sementara pemerintah Indonesia menginginkan bunga turun menjadi 2 persen.
"Ya maunya kita kan 2
persen, tapi kan enggak semua kita capai. Karena kalau pinjam keluar juga
bunganya itu sekarang bisa 6 persen," beber Luhut di Jakarta dikutip pada
Rabu (12/4/2023).
"Jadi kalau kita dapat 3,4
persen misalnya sampai situ ya we're doing okay, walaupun tidak oke-oke
amat," tambah Luhut.
Menteri yang juga pengusaha batu
bara ini berujar, pemerintah Indonesia akan kembali melakukan negosiasi
penetapan bunga pinjaman dari China agar tidak memberatkan keuangan negara.
"Tapi kita masih mau
negosiasi lagi," ucap Luhut.
Sementara itu dikutip dari Harian
Kompas, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman
Septian Hario Seto menambahkan, patokan bunga 2 persen adalah suku bunga yang
berlaku pada 2017.
Namun, tawaran 3,4 persen itu
masih lebih rendah daripada bunga obligasi Pemerintah AS selama 30 tahun yang
mencapai 5,6 persen.
”Jadi bunga yang ditawarkan sudah
lebih rendah dibandingkan bunga Pemerintah AS atau bunga obligasi USD (dollar
AS) dari pemerintah Indonesia. Tetapi kita mau negosiasi lagi,” kata Seto.
Menurut Seto, pembengkakan biaya
ini tak akan berpengaruh pada rentang waktu hingga tercapainya titik impas
(breakeven point), yaitu 38 tahun. Masa konsesi pun tak berubah, tetap di 80
tahun.
Dulu klaim bunga utang 2 persen
Sebagai informasi saja, proyek
Kereta Cepat Jakarta Bandung sudah banjir kritik sejak awal perencanaan.
Awalnya, proyek ini direncanakan digarap Jepang dengan pinjaman dari Japan
International Cooperation Agency (JICA).
Namun di tengah jalan, pemerintah
Indonesia memutuskan untuk menggandeng China, meski hal ini membuat Jepang
kecewa berat.
Alasannya, China menawarkan biaya
proyek yang jauh lebih murah meski dengan bunga utang yang lebih tinggi
dibandingkan proposal dari Jepang yang menawarkan bunga pinjaman 0,1 persen per
tahun.
Proyek ini juga seharusnya
rampung pada 2019, tetapi beberapa kali molor dan diperkirakan baru bisa
selesai di pertengahan tahun 2023. Biaya konstruksi pun membengkak drastis,
dengan pembengkakan (cost overrun) menembus Rp 18,2 triliun.
Menteri BUMN 2014-2019 Rini
Soemarno kala itu menyebut, tawaran dari China dinilai lebih menguntungkan
ketimbang Jepang.
"Begini soal kereta cepat
supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas...
Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah
proposal dari Tiongkok," kata Rini dikutip dari pemberitaan Kompas.com
pada 1 Oktober 2015 silam.
"Karena dari Tiongkok tidak
meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini
transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini lagi.
Ia menerangkan, China menawarkan
bunga sebesar 2 persen per tahun. Dengan skema bunga tetap (fixed) selama 40
tahun pertama.
"Skema pembiayaan kan sudah
jelas. Mereka sudah tawarkan 40 tahun (tenor) dari CDB (China Development
Bank), 10 tahun grace period, 30 tahun pengembalian, bunga 2 persen. Ini 2
persen fixed untuk 40 tahun untuk komponen dollar," kata dia.
Tawaran menggiurkan lainnya dari
China, yakni proyek KCJB digarap tanpa menggunakan dana APBN karena murni
dibiayai utang dan modal konsorsium BUMN Indonesia-China.
Namun belakangan, pemerintah
tetap harus menyuntik duit APBN melalui skema PMN ke PT KAI (Persero) guna
menambal pembangkakan biaya proyek.
Bunga utang dari China untuk
proyek KCJB juga rupanya 4 persen yang kemudian setelah dinegosiasi menjadi 3,4
persen, bukan 2 persen sebagaimana yang diklaim Rini Soemarno sebelumnya. (*)