Latest Post

 

SANCAnews.id – Mantan anggota dewan perwakilan rakyat Republik Indonesia (DPRD), Anas Urbaningrum dinyatakan bebas dari sel tahanannya di Lapas Kelas 1 Sukamiskin pada Selasa (11/4/2023).

 

Setelah menjalani hukuman selama 9,3 tahun dipenjara, Anas Urbaningrum akhirnya dinyatakan keluar dari Lapas Sukamiskin dengan mengikuti program cuti menjelang bebas.

 

Hal ini mengartikan bahwa Anas Urbaningrum masih memiliki keharusan untuk melakukan wajib lapor ke Lapas selama tiga bulan lamanya.

 

Anas Urbaningrum juga menyampaikan permohonan maaf yang ditujukan kepada berbagai pihak yang menyusun skenario besar demi memisahkan dirinya dengan sahabat perjuangan dan keluarga karena hal tersebut tidak terjadi.

 

"Mohon maaf kalau ada yang berpikir bahwa dengan waktu saya yang agak lama disini (penjara) terhitung tepat 9 tahun 3 bulan yang hampir sama dengan 2 periode DPRD, kemudian bisa memisahkan saya dengan sahabat perjuangan," ungkap Anas ketika didampingi oleh Kepala Lapas Kelas 1 Sukamiskin.

 

Selain itu, Anas juga menyebut sebagai seorang aktivis maka dirinya akan terus berjuang dan berpegang teguh pada Kamis kehidupannya yakni perjuangan keadilan meskipun akan menuai berbagai permusuhan.

 

Adapun ketika Anas hendak keluar dari penjara, ratusan massa yang membawa atribut organisasi juga menggunakan pakaian berwarna putih memenuhi lapangan luar Lapas Sukamiskin untuk menyambut kebebasannya.

 

Massa tersebut diketahui merupakan bagian dari berbagai elemen organisasi eksternal tempat dahulu Anas menempa dirinya di kampus yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). (suara)

 

SANCAnews.id – Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kubu Moeldoko terhadap Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) nampaknya punya motif politik beragam. Hal tersebut, diyakini sejumlah kalangan.

 

Salah satunya, diutarakan mantan pejabat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni mantan penasihat Wakil Presiden (Wapres) periode 2009-2014, Abdillah Toha. Dia mempertanyakan apa sebetulnya motivasi Moeldoko yan merupakan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dengan manuvernya itu.

 

"Apa sih maunya Moeldoko. Staf resmi Istana kok bermanuver politik di depan hidung presiden," ujar Toha dalam cuitannya di Twitter, Senin (10/4).

 

Toha menengarai, ada ketidaksenangan Istana pada Partai Demokrat. Setidaknya, setelah Paratai Demokrat mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang akan diusung.

 

"Jangan anggap kita semua bodoh. Kita juga tahu ini memang main kasarnya Jokowi," katanya.

 

Menurutnya, menjegal Demokrat memang menjadi jalan untuk menjegal langkah Anies. Pasalnya, tanpa Demokrat, maka Nasdem dan PKS tidak akan memenuhi ambang batas 20 persen untuk mencalonkan Anies pada Pilpres 2024.

 

Jika dugaan itu benar, kata Toha lagi, mungkin saja Moeldoko memang diutus untuk mematikan jalan politik Anies.

 

"Mau jegal pencapresan Anies dengan kudeta Partai Demokrat. Kali ini dengan ajukan PK ke MA. Takut Anies menang Pak?" tandasnya. (rmol)

 

SANCAnews.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan 55 dari 86 anggota DPR yang menduduki posisi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, tak patuh melaporkan harta kekayaan penyelenggara neegara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasam Korupsi (KPK).

 

Laporan ICW yaitu jenis ketidakpatuhan yakni 22 orang tidak tepat waktu pelaporan, maksudnya melewati batas pelaporan 31 Maret. Lalu, 16 orang tidak berkala (tidak melapor harta kekayaan setip tahun), 9 orang tidak tepat waktu dan tidak berkala, dan 8 orang tidak melaporkan sama sekali.

 

Meski demikian, ICW tidak menguak secara rinci identitas puluhan anggota DPR tersebut.

 

"Dari total 86 pimpinan AKD, hanya 31 yang dikategorikan patuh. Yang tidak patuh jumlahnya lebih besar mencapai 55 orang," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Minggu, 9 April 2023.

 

Kurnia menjelaskan, pencarian dan pengumpulan data dilakukan ICW pada Maret 2023. Dia merasa heran karena puluhan anggota DPR tak memahami aturan yang dibuatnya sendiri yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

 

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan dari 55 orang yang tidak patuh itu, yang terbanyak yakni dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) dan Golkar yang masing-masing sebanyak 11 orang. Kemudian, PKB 10 orang, Gerindra 6 orang, Nasdem dan PAN sama-samaa 5 orang, Demokrat 3 orang serta PPP dan PKS masing-masing 2 orang.

 

Atas temuan ini, ICW bakal melaporkan 55 anggota DPR yang menduduki jabatan sebagai pimpinan AKD ke MKD. Laporan rencananya dilayangkan pada Senin, 10 April 2023.

 

"ICW akan melaporkan 55 orang yang tidak patuh melaporkan LHKPN ke MKD. Nanti kami akan bawa bukti-bukti yang relevan yang kami kumpulkan dan serahkan ke MKD. Sekaligus menguji MKD apakah mereka sebagai yang mempunyai mandat menjaga etik DPR RI akan objektif atau tidak, akan berani atau tidak menjatuhkan sanksi administratif," kata Kurnia.

 

Kemudian, ICW juga mendorong pemerintah segera merevisi UU Pemberantasan Korupsi dan memasukkan ketentuan mengenai illicit enrichment. Selain itu, DPR juga diminta segera merevisi kode etik karena di dalamnya tidak mengatur mengenai sanksi bagi anggota DPR RI yang tak patuh melaporkan LHKPN.

 

“Misalnya, jika anggota legislatif terlambat melaporkan, maka gaji mereka dapat ditangguhkan sampai kemudian dilakukan pelaporan LHKPN kepada KPK,” kata Kurnia.

 

Selanjutnya, ICW mendesak KPK agar bisa mengumumkan nama-nama penyelenggara negara terutama anggota DPR RI yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Selain itu, KPK harus melakukan supervise terhadap sanksi administratif kepada pejabat terkait.

 

Menurut dia, parpol mestinya bisa mengatur kadernya mengenai kewajiban laporan harta kekayaan bagi pengurus struktural partainya. Selain itu, ketentuan mengenai supervisi dan penjatuhan sanksi bagi yang melanggar juga harus dituangkan.

 

Dia bilang anggota dewan yang tidak patuh melaporkan LHKPN bisa diadukan kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Harapannya tentu agar MKD bisa menjatuhkan sanksi seperti pencopotan sebagai Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan bagi yang melanggar kepatuhan LHKPN. (viva)

 

SANCAnews.id – Ketua KPK Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK. Kali ini, dia ditengarai melanggar kode etik atas dugaan pembocoran dokumen penyelidikan kasus korupsi di lembaganya ke pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM.

 

Dilansir dari Koran Tempo edisi Kamis, 6 April 2023, kebocoran dokumen penyelidikan itu diketahui pertama kali oleh tim penyelidik dan penyidik KPK saat menggeledah kantor Kementerian ESDM pada 27 Maret lalu. Penggeledahan ini berhubungan dengan kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020-2022.

 

Firli Bahuri dilaporkan Pengurus Besar Komunitas Aktivis Muda Indonesia (PB KAMI) karena diduga membocorkan surat penyelidikan kasus tunjangan kinerja (tukin) pegawai Kementerian ESDM.

 

Anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho, membenarkan lembaganya sudah menerima laporan tersebut. “Betul ada laporan dugaan pelanggaran etik yang diterima Dewan Pengawas,” kata Albertina saat dimintai konfirmasi ihwal laporan dugaan pelanggaran etik atas kebocoran dokumen penyelidikan KPK dengan terlapor Firli Bahuri, Rabu, 5 April 2023.

 

Menurut mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto alias BW, Firli Bahuri bisa jadi tersangka pembocoran dokumen jika benar bocorkan dokumen tersebut. “Pada kondisi seperti itu maka Firli sudah dapat dinyatakan sebagai tersangka bukan lagi sekadar pihak yang melakukan pelanggaran etik dan perilaku,” kata BW dalam keterangannya, Ahad, 9 April 2023.

 

"Alex Marwata, salah satu Pimpinan KPK lainnya dapat juga dikualifikasi melakukan kejahatan bersama-sama Firli Bahuri karena begitu aktif dan reaktif untuk 'membantu dan melindungi' Firli," kata dia.

 

Setidaknya ada 4 Pasal yang dapat menjerat Firli Bahuri, menurut Dosen Paska Sarjana Fakultas Hukum Universitas Djuanda yang juga seorang advokat itu.

 

Adapun keempat Pasal tersebut yaitu Pasal 36 jo Pasal 65 Undang-Undang atau UU KPK UU Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor, Pasal 112 KUHP, yang mengatur mengenai tindak pidana membocorkan surat dan keterangan rahasia untuk kepentingan negara, dan Pasal 54 jo Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik.

 

Pasal 21 UU Tipikor

 

Pasal 21 UU Tipikor menjelaskan tentang setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan Rp 600 juta.

 

Pasal 112 KUHP

 

Dalam Pasal 112 KUBP disebutkan barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Pasal 54 Jo Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik

 

Dalam Pasal 54 UU Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan atau memperoleh dan atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17, dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 10 juta, atau dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 20 juta.

 

Adapun Pasal 17 berisi tentang setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum. Informasi tersebut antara dapat;

 

1. Menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.

 

2. Mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana.

 

3. Mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional.

 

4. Membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan atau keluarganya.

 

5. Membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan atau prasarana penegak hukum. (tempo)

 

SANCAnews.id – Desakan tehadap Firli Bahuri agar dicopot dari jabatannya sebagai Ketua KPK terus berdatangan. Kali ini dorongan itu datang dari sejumlah mantan Pimpinan KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) antikorupsi.

 

Sejumlah mantan pimpinan KPK dan perwakilan KMS tersebut menggelar aksi di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin siang (10/4). Mereka menyuarakan ‘Copot Firli’.

 

Mantan pimpinan KPK yang turut aksi diantaranya, Abraham Samad, Saut Situmorang, dan mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Mereka melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

 

Pelaporan ini terkait dugaan pelanggaran kode etik berupa bocornya dokumen rahasia penyelidikan di Kementerian ESDM. “Hari ini kita melaporkan Saudara Firli Bahuri kepada Dewan Pengawas (Dewas) terhadap pelanggaran etika dan pelanggaran kepatuhan yang diduga dilakukan Saudara Firli,” kata Samad saat orasi.

 

Menurut Samad, selain rencana tindaklanjut etik, mereka bersama KMS Antikorupsi juga berencana akan melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan Firli.

 

“Itu adalah perbuatan pidana yang tidak bisa ditolerir lagi. Dan tindakan itu termasuk tindakan pidana. Oleh karena itu, selain melaporkan Saudara Firli ke Dewas, kita juga akan melaporkan Saudara Firli ke aparat penegak hukum,” ujarnya.

 

Atas hal tersebut, Abraham Samad berharap kepada Dewas KPK segera memeriksa Firli Bahuri buntut aduan-aduan yang telah dilayangkan sejumlah pihak atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan.

 

Pasalnya, Ketua KPK Firli Bahuri saat ini sedang menjadi sorotan. Imbas dugaan membocorkan data penyelidikan kasus korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian ESDM.

 

Nilai dugaan korupsi dalam perkara tersebut mencapai puluhan miliar, dan KPK sudah menetapkan 10 orang tersangka dalam perkara itu. KPK sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang, salah satunya Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM Muhamad Idris Froyo Sihite.

 

Selain etik, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah mengadukan oknum KPK ke Polda Metro Jaya. Laporan itu terkait dugaan kebocoran dokumen hasil penyelidikan kasus korupsi di Kementerian ESDM, Jumat (7/4).

 

Meski tidak menyebut siapa yang dilaporkan, MAKI turut mengajukan sejumlah nama yang perlu diperiksa di antaranya Menteri ESDM Arifin Tasrif, Kepala Biro Hukum ESDM sekaligus Plh Dirjen Minerba Muhammad Idris Froyoto Sihite, dan mantan Direktur Penyelidikan KPK Endar Priantoro.

 

Tanggapan KPK 

Terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri menegaskan, isu tersebut tidak benar. Ia mempersilakan pihak-pihak yang mempunyai data valid untuk melaporkan dugaan itu ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

 

“Sejauh ini informasi yang kami terima, tidak benar ya seperti apa yang dituduhkan tersebut. Namun bila ada yang merasa memiliki informasi dan data valid silakan saja laporkan kepada Dewas KPK,” ucap Ali Fikri, sebagaimana dikutip dari Fajar.co.id.

 

Ali menekankan laporan kepada Dewas harus berbasis data, bukan bermodalkan narasi asumsi saja. Selanjutnya, data tersebut akan diuji sebagaimana tugas pokok Dewas KPK.

 

Ali memastikan Dewas akan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk. Ia menegaskan, Dewas akan bersikap independen. “Di sanalah akan diuji, bukan diobral di ruang publik dengan dibumbui narasi bermodalkan asumsi. Laporan harus berbasis data, bukan asal tuduh dan persepsi semata,” ujar Ali.

 

Selain itu, Ali menjelaskan status perkara dugaan korupsi tukin di Kementerian ESDM ini sudah naik dari penyelidikan ke tahap penyidikan. Menurutnya, semua pimpinan KPK sepakat untuk menaikan status perkara dugaan korupsi ini.

 

Langkah tersebut diambil setelah KPK menemukan dua bukti permulaan yang cukup. “Semua pimpinan sepakat, dengan dasar ditemukan setidaknya dua alat bukti permulaan dan menemukan pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kami akan tuntaskan semua,” tegas Ali.

 

Menurut Ali, terkait adanya tuduhan ke KPK ketika sedang menangani perkara korupsi merupakan hal yang biasa. Ia pun mencontohkan, saat KPK mengusut perkara mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo.

 

Dalam memproses kasus Rafael, KPK juga dituduh tidak melanjutkan proses penyelidikan. Mengingat salah satu pimpinan KPK merupakan teman seangkatan Rafael di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

 

“Nyatanya hanya kesengajaan untuk menghambat proses saja. Sudah biasa kami dituduh macam-macam seperti itu, ataupun bahkan di framing negatif oleh media tertentu,” pungkas Ali. (beritabaru)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.