Dugaan Korupsi dan Pencucian Uang 349 T: Adili Sri Mulyani dan Makzulkan Jokowi!
Oleh: Marwan Batubara
PENJELASAN Menko Polhukam Mahfud
MD pada RDPU dengan Komisi III DPR 29 Maret 2023 mencerahkan sekaligus membuka
mata tentang betapa dahsyatnya dugaan korupsi dan pencucian uang di Kementerian
Keuangan (Kemenkeu).
Namun sebagian elit kekuasaan, termasuk
sejumlah fraksi DPR dan pengurus partai, terkesan kurang nyaman dengan “temuan”
Mahfud. Rakyat perlu paham masalah dan sekaligus bersikap menuntut
dituntaskannya mega skandal dugaan korupsi bernilai Rp 349 triliun. Beberapa
hal yang perlu dilakukan diurai berikut ini.
Pertama supaya kita fokus
mengadvokasi terjadinya dugaan korupsi dan TPPU dengan nilai sangat besar.
Jangan terkecoh dengan berbagai upaya pengalihan kasus dengan menyatakan Menko
Mahfud melanggar hukum karena membocorkan informasi. Kita tidak boleh
terpancing dengan upaya penggiringan isu yang justru akan meloloskan para
penjahat dari jerat hukum.
Dari RDPU Komisi III DPR
terungkap pula tambahan kejahatan pencucian uang Rp 189 triliun terkait impor
emas. Hal ini telah dikonfirmasi Ketua PPATK Ivan Yustiavandana. Maka dugaan
korupsi dan pencucian uang melibatkan Kemenkeu bernilai Rp 539 triliun. Karena
itu rakyat harus fokus menuntut penuntasan megaskandal ini.
Kedua, data dan informasi dari
Menko Mahfud harus menjadi pegangan yang sangat kredibel bagi rakyat untuk
menuntut penuntasan mega skandal. Jangan terkecoh manipulasi informasi dan
pencitraan sempit/sektoral, termasuk mengecilkan nilai korupsi terkait ASN
Kemenkeu, sehingga penegakan hukum tidak berlanjut.
Ketiga, Kemenkeu Ditjen Pajak dan
Ditjen Bea Cukai adalah satu paket lembaga yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Penanggung Jawab utama Sri Mulyani. Sejauh ini, tampak Sri Mulyani coba
berkelit, dan lari dari tanggung jawab dengan mengatakan tidak mendapatkan
laporan yang benar, serta berbagai alasan dan rekayasa informasi lain. Kita mau
Menkeu Sri Mulyani, harus diproses hukum. Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden
Jokowi juga dituntut bertanggung jawab.
Jangan terkecoh dengan pernyataan
Menko Mahfud tentang kemampuan dan kredibilitas Menkeu yang terkesan
melindungi. Menko Mahfud mengatakan mungkin saja laporan PPATK tidak sampai
secara utuh kepada Menkeu. Sehingga dengan begitu Sri Mulyani bisa saja bebas
tanggung jawab. Sementara masalah Rp 539 triliun ini tidak jelas ujungnya.
Memang bisa saja Mahfud hanya berbasa-basi. Namun, apa pun itu, mega skandal
harus diproses hukum.
Mahfud menjelaskan keterlibatan
Kemenkeu sangat jelas. Pertama transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu
sebesar Rp 35,54 triliun. Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga
melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain Rp 53,82 triliun. Ketiga transaksi
keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu Rp 260,53 triliun. Jadi, dari
total Rp 349,97 triliun, keterlibatan ASN Kemenkeu sangat jelas terungkap ada
di semua lini, dan jumlahnya adalah 491 orang. Maka penanggung jawab utama mega
skandal ini adalah Kemenkeu.
Keempat, pada RDPU Komisi XI DPR
27 Maret 2023, Sri Mulyani menyatakan dugaan TPPU yang melibatkan pegawai Kemenkeu
hanya Rp 3,3 triliun. Padahal dari keterangan Menko Mahfud di atas, nilai uang
yang melibatkan ASN Kemenkeu adalah Rp 349 triliun, atau bahkan Rp 539 triliun.
Karena laporan Menko Mahfud telah menjadi pegangan kita, maka jelas rakyat
tidak boleh terkecoh oleh Menkeu Sri Mulyani. Bahkan rakyat harus segera
menggugat Sri Mulyani secara pidana, karena dinilai sengaja melakukan
kebohongan publik atau manipulasi info, guna menutupi dan melindungi kejahatan
dugaan korupsi.
Kelima dipahami lingkungan Kemenkeu,
khususnya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai merupakan lembaga-lembaga negara
pengelola potensi penerimaan negara dengan nilai sangat besar, ribuan triliun.
Sehingga potensi terjadinya moral hazard sangat besar pula. Diyakini moral
hazard dengan berbagai modus korupsi telah dan terus berlangsung. Hasilnya
sebagian terlihat pada sangat besarnya nilai uang hasil korupsi melalui
besarnya nilai uang yang dicuci!
Kita paham persekongkolan jahat
seputar pajak dan bea cukai bukan saja melibatkan ASN di Kemenkeu, tapi juga
melibatkan oknum-oknum di seputar kekuasaan dan pengusaha kapitalis objek
pajaknya sendiri. Maka, jika hasil korupsi yang dicuci terkait oknum-oknum
Kemkeu nilainya sebesar Rp 539 triliun, tentu saja yang dikorupsi oleh oknum
pengusaha oligarkis pasti jauh lebih besar!
Oleh sebab itu, seluruh ASN
Kemenkeu harus diproses hukum secara seksama, sehingga pengusaha oligarkis
tersebut juga ikut terungkap, ditangkap dan dihukum berat.
Keenam, terjadinya moral hazard,
praktik curang dan manipulasi pajak telah terkonfirmasi pula dengan terus
turunnya tax ratio (penerimaan pajak dibanding PDB) Indonesia, khususnya selama
pemerintahan Presiden Jokowi. Faktanya nilai rata-rata tax ratio Indonesia
dalam 6 hingga 7 tahun terakhir hanya 9,5 persen. Padahal dalam 5 tahun periode
ke-2 Presiden SBY, nilai rata-rata tax ratio Indonesia 11,3 persen. Jika
dibanding negara-negara ASEAN dengan nilai tax ratio 15 persen, Indonesia
termasuk negara dengan tax ratio terendah kedua, hanya unggul dari Myanmar.
Terjadinya moral hazard di sektor
pajak terkonfirmasi pula oleh laporan ADB pada 2020/2021 yang menyatakan
penyebab utama rendahnya tax ratio Indonesia adalah maraknya manipulasi dan
pengemplangan pajak. Indonesia termasuk lima negara pengumpul pajak terendah,
tax ratio 9,5 persen, di banding 36 negara di Asia-Pasifik yang rata-rata tax
rationya 19 persen. Dibanding negara-negara Eropa, rata-rata tax ratio nya di
atas 30 persen, maka moral hazard sektor pajak Indonesia semakin terkonfirmasi.
Ketujuh, rendahnya penerimaan
APBN/negara pasti melibatkan peran oligarki kekuasaan. Kalau sudah oligarki,
maka moral hazard bukan saja saat perhitungan pajak atau bea, tetapi juga sejak
penyusunan kebijakan, pembuatan aturan, dsb. Dengan demikian seluruh oknum
oligarki akan berupaya maksimal untuk menutup mega skandal Rp 539 triliun.
Harap dicatat, kita belum mendengar kesungguhan Presiden Jokowi untuk mendorong
penuntasan kasus tersebut.
Menkeu Sri Mulyani beberapa kali
telah memperoleh gelar Finance Minister of the Year for Asia Pacific. Oligarki
bisa saja menjadikan status Sri Mulyani sebagai perisai melanggengkan moral
hazard seputar pajak. Ada menteri terbaik dan disematkan pula dengan predikat
bersih dan kredibel, maka tidak mungkin terjadi moral hazard. Tampaknya “status”
ini telah melindungi oligarki menjalankan praktik curang. Mungkin saja Sri
Mulyani pun menikmati manfaat materil dan moril dari “status bergengsi” ini.
Namun satu hal yang jelas: negara dirugikan dengan penerimaan APBN rendah,
tingkat bunga hutang yang tinggi, dan korbannya adalah rakyat!
Dengan uraian di atas sebetulnya kita
mengingatkan agar Sri Mulyani jangan dibiarkan terus berkiprah. Saat RDPU
Komisi III DPR Menko Mahfud terkesan masih pasang perisai untuk Sri Mulyani.
Rakyat jangan tertipu, Sri Mulyani harus bertanggungjawab. Begitu pula Presiden
Jokowi, sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat menuntut pertanggungjawabannya,
dan perlu dimakzulkan.
Seperti pernah kami usulkan
Webinar 19 Maret 2023 yang lalu, guna menuntaskan kasus, DPR harus menggunakan
Hak Angket dan segera membentuk pansus. Memang pada RDPU Komisi III 29 Maret
2023, cukup banyak Anggota DPR yang mengusulkan pembentukan pansus. Namun
akibat pengaruh oligarki kekuasaan dan berbagai kepentingan sempit, bisa saja
pansus tidak terbentuk. Kami imbau rakyat terus mengadvokasi agar pansus segera
terbentuk. Diusulkan nama pansus adalah Kemenkeu Gate. Namun kita ingatkan pula
agar barter kasus tidak terjadi: hasil pansus hanya dijadikan alat
tukar-menukar berbagai kasus, sehingga selamatlah para terduga koruptor dan
rezim oligarkis.
Rakyat harus menyadari kejahatan
bernilai Rp 539 triliun adalah jumlah yang sangat besar dan terjadi di
lingkungan yang sangat vital dan menentukan kelangsungan hidup bangsa
Indonesia, yakni Kemenkeu. Diyakini pelakunya adalah oligarki yang terdiri dari
oknum-oknum penguasa dan elit partai bekerjasama dengan para kapitalis lokal
dan global. Namun kerja sistemik oligarki ini tidak hanya di Kemenkeu, tetapi
juga di Kementerian/lembaga negara yang lain. Maka, ibarat puncak gunung es,
nilai dugaan korupsi dan perampokan aset negara diyakini bukan sekedar Rp 539
triliun, tetapi ribuan triliun rupiah.
Sebagai penutup, Menko Mahfud
sudah membuka kotak pandora dugaan korupsi sistemik oligarki di Indonesia. Maka
rakyat harus bersatu mendukung Mahfud dan mengadvokasi dituntaskannya mega
skandal Rp 539 triliun. Oligarki yang melibatkan elit-elit politik, penguasa
dan bisnis pasti berusaha menghambat, bahkan mungkin sejak di parlemen. Rakyat
tidak boleh terus jadi pecundang, tetapi harus melawan. Maka tuntutan kita
antara lain adalah: tuntaskan mega skandal Rp 539 T, adili Sri Mulyani,
makzulkan Jokowi, bentuk Kemenkeu Gate, serta tangkap dan adili para oligarki
perampok aset negara.
Penulis adalah Direktur Eksekutif
Indonesian Resources Studies (Irres)