Latest Post

 

SANCAnews.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua polisi yang menjadi terdakwa Tragedi Kemanusian Kanjuruhan yang mengakibatkan 135 orang meninggal dunia.

 

Dalam salah satu putusannya, Hakim meyakini gas air mata yang menyebabkan 135 korban meninggal didorong angin hingga mengarah ke tribun penonton.

 

Tragedi Kanjuruhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu 1 Oktober 2022 lalu, dipicu gas air mata yang ditembakkan polisi.

 

Menanggapi putusan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kembali mengungkit kronologi penembakan gas air mata.

 

"Penembakan gas air mata yang dilakukan secara beruntun dalam jumlah banyak dan tidak ada upaya untuk menahan diri dengan menghentikan tembakan meskipun para penonton sebagian besar sudah keluar dari lapangan karena panik," kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing lewat keterangannya, Jumat (17/3/2023).

 

Uli menegaskan, penembakan gas air mata tidak hanya sekadar menghalau penonton dari lapangan, namun turut diarahkan untuk mengejar penonton dan ditembakkan ke arah tribune penonton, utamanya pada tribun 13.

 

"Turut diarahkan untuk mengejar penonton. Sehingga menambahkan kepanikan penonton dan membuat arus berdesakan untuk keluar stadion dari berbagai pintu dengan mata perih, kulit panas, dan dada terasa sesak," sebutnya.

 

Komnas HAM menyakini para terdakwa memiliki kapasitas mencegah dan menghentikan penembakan gas air mata.

 

"Serta mengendalikan lapangan dan para personel keamanan agar tidak melakukan tindakan yang berlebihan (excessive use of force) namun hal tersebut tidak dilakukan," tegas Uli.

 

Sayangkan Putusan Hakim

 

Lebih lanjut, Komnas HAM menyayangkan putusan Majelis Hakim yang menvonis bebas dua terdakwa Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi.

 

"Kami berpendapat bahwa putusan tersebut belum memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang kehilangan nyawa serta mengalami luka-luka dalam tragedi tersebut," tegas Uli.

 

Komnas HAM pun mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan banding demi keadilan para korban dan keluarga korban.

 

"Agar putusan tersebut dapat diperiksa ulang guna memastikan keadilan tercapai bagi para korban dan keluarga korban. Komnas HAM berharap putusan banding ini nantinya dapat mengakomodasi restitusi, kompensasi serta rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya," kata Uli. (suara)


SANCAnews.id – Pengamat Sosial dan Politik Tatok Sugiarto menyoroti ucapan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono soal eks Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) M Kuncoro Wibowo merupakan orang yang berpengalaman.

 

Hal ini ditanggapi Tatok Sugiarto dalam akun Twitter pribadi miliknya. Dalam cuitannya, Tatok Sugiarto menyinggung bahwa sosok yang disebut Heru Budi berpengalaman itu kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi bantuan sosial (bansos).

 

"Pengalaman maling Bansos?," ungkap Tatok Sugiarto dikutip WE NewsWorthy dari akun Twitter pribadi miliknya, Jumat (17/3).

 

Sementara itu, Heru Budi diketahui tak mau menjawab saat dilontarkan pertanyaan terkait kasus yang menjerat Kuncoro Wibowo.

 

Heru Budi hanya mengatakan bahwa alasan diangkatnya Kuncoro sebagai Dirut Transjakarta, yakni karena berpengalaman di bidang transportasi.

 

"Ya pertama kan beliau pengalamannya di transportasi," ungkap Heru Budi dikutip dari Gelora.

 

Heru Budi pun menjelaskan soal Kuncoro yang kini sudah mengundurkan diri dan posisi Dirut sudah memiliki Pelaksana Tugas (Plt). Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) itu pun menyatakan akan segera memilih Dirut definitif.

 

"Kan sudah diganti dengan Plt-nya Direktur Teknik, nanti (Dirut definitif) kita pilih," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Mantan Direktur Utama Transjakarta M Kuncoro Wibowo telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyaluran bansos beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2020-2021 di Kementerian Sosial. (*)



 

SANCAnews.id – Vonis terhadap dua terdakwa tragedi Kanjuruhan, mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmad, divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

 

Salah satu pertimbangan yang membuat vonis itu dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Surabaya, disebutkan adalah karena ada faktor angin yang menyebabkan korban meninggal terkena gas air mata.

 

Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, alasan hukum Majelis Hakim tersebut seharusnya bukan justru membuat dua terdakwa tersebut tidak terkena hukuman.

 

“Pendapat saya, itu kurang tepat. Karena perbuatannya terbukti ada. Bahwa ada faktor lain yang membantu terjadinya tindak pidana itu, itu di luar kemampuan dia memang,” ujar Abdul Fickar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (17/3).

 

Ia mengurai, dalam video tragedi Kanjuruhan nampak terlihat aparat menembakan gas air mata untuk mengurai kerusuhan di dalam stadion pasca pertandingan Arena FC dan Persebaya.

 

“Perbuatan menembakan gas air mata itu terbukti. Dan pada situasi seperti itu, itu bisa dikualifikasi sebagai kesalahan,” tuturnya.

 

Meski begitu, Abdul Fickar tidak menampik dalil para terdakwa yang menyatakan bahwa penembakan gas air mata adalah satu perbuatan yang netral.

 

“Tapi ketika diterapkan dalam satu situasi, maka itu (bisa) menjadi salah atau benar,” sambungnya menegaskan.

 

Lebih lanjut, ia memaparkan klasifikasi penggunaan gas air mata yang benar dan yang salah. Termasuk, soal identifikasi orang yang patut bertanggung jawab apabila terbukti terdapat kesalahan di dalam praktiknya.

 

“Dia menjadi benar kalau sasaran tembaknya tidak panik, mereka bubar dengan rapih atau biasa-biasa saja. Itu tidak ada masalah,” urainya.

 

“Tapi pada situasi tertentu, itu membuat orang panik dan berjatuhan, itu kalau mau ditarik tanggung jawab pidananya, maka orang yang memerintahkan penembakan itu lebih tepat dibandingkan pelaku utamanya,” demikian Abdul Fickar menambahkan. (*)

 

SANCAnews.id – Vonis bebas yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan negeri (PN) Surabaya, kepada dua terdakwa tragedi berdarah Kanjuruhan, dirasa tidak adil oleh publik.

 

“Rasa keadilan dan kemanusia sudah hilang,” ujar Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (17/3).

 

Ia menilai, vonis dua terdakwa perkara Kanjuruhan ini, yaitu mantan Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto; dan mantan Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmad, harusnya tidak dibebaskan.

 

Jerry ikut menuntut agar ada upaya perlawanan terhadap vonis tersebut, mengingat ratusan orang menjadi korban meninggal akibat upaya mengurai massa yang menggunakan gas air mata.

 

Selain itu, doktor komunikasi politik lulusan America Global University ini juga menyindir Majelis Hakim PN Surabaya, karena seharusnya vonis terhadap pelaku Kanjuruhan bisa maksimal.

 

“ Harusnya untuk memutus hukuman, Majelis Hakim PN Surabaya belajar ke 3 hakim yang vonis mati Ferdy Sambo,” demikian Jerry menambahkan. (*)


SANCAnews.id – Tragedi si jago merah yang menyapu wilayah Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, atau spesifiknya dekat Depo Plumpang Pertamina, dipertanyakan sebabnya.

 

Muncul kecurigaan dari kelompok masyarakat tentang terbakarnya Depo Plumpang hingga menyebar ke rumah warga tanah merah. Muncul kesan tidak wajar karena paska insiden warga di sekitar Depo Plumpang akan dipindah.

 

Disampaikan aktivis senior yang juga Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, ada politik dalam tragedi ini. Sebabnya, ia melihat masalah kebakaran Plumpang ini seolah-olah menjadi salahnya warga Tanah Merah yang tinggal di sekitar depo.

 

"Ini menurut saya, feeling saya ini sabotase," ujar Syahganda dalam diskusi Forum Jakarta Kita (Forjak) yang digelar Kantor Berita Politik RMOL, di Kopi Timur, Jalan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Kamis (16/3).

 

Ia memandang, pernyataan Direktur Utama PT Pertamina Persero tentang upaya pemerintah menggeser pemukiman warga Tanah Merah dengan memberikan uang ganti untung, tidak adil.

 

"Ini kalau misalkan ada ganti untung, rakyatnya diganti untung kecil. Itu cukong-cukong yang dapat ganti untung besar," cetusnya.

 

Oleh karena itu, ia mendorong agar Jokowi tidak membuat kebijakan yang merugikan warga Tanah Merah yang menjadi korban kebakaran.

 

"Usul saya ini penting untuk mengungkap, ini dibakar atau kebakaran," tegasnya meminta.

 

"Pak Jokowi sebelum turun harus bilang rakyat tetap di situ. Sudah puluhan tahun," demikian Syahganda menambahkan. (rmol)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.