OLEH: ANTHONY BUDIAWAN
SRI MULYANI sempat dua kali
diperiksa KPK terkait kasus dugaan penyimpangan pengucuran dana talangan (bailout)
Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, masing-masing pada 29 April 2010 dan 4 Mei
2010.
Ketika itu, Sri Mulyani menjabat
sebagai Menteri Keuangan sekaligus juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KKSK).
Satu hari setelah diperiksa KPK,
Sri Mulyani menyampaikan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI pada 5
Mei 2010, dengan alasan mendapat tawaran dari Bank Dunia sebagai direktur
pelaksana Bank Dunia.
Proses penunjukan Sri Mulyani
sangat aneh dan tidak lazim. Sri Mulyani mengaku tidak pernah melamar ke Bank
Dunia untuk posisi apapun.
Tetapi, tidak ada angin dan tidak
ada hujan, Bank Dunia mengumumkan penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur
Pelaksana Bank Dunia, melalui siaran pers yang dipublikasi Bank Dunia di
Washington, Amerika Serikat, pada 4 Mei 2010 atau 5 Mei 2010 waktu Jakarta,
satu hari setelah diperiksa KPK untuk kedua kalinya.
Penunjukan Bank Dunia ini sangat
melecehkan rakyat Indonesia, karena Bank Dunia secara sepihak menunjuk, artinya
“membajak”, Menteri Keuangan yang masih aktif, dari sebuah negara berkembang
anggota Bank Dunia. Yang sedang menghadapi proses hukum di KPK, sebagai
direktur pelaksana yang akan berkantor di Amerika Serikat. Terlepas apakah yang
bersangkutan, atau Presiden RI, memberi persetujuan atau tidak.
Penunjukan Sri Mulyani sebagai
Direktur Pelaksana Bank Dunia ini patut diduga keras bersifat politis, dan
sekaligus telah melakukan intervensi hukum Indonesia.
Alasan penunjukan Sri Mulyani
karena berprestasi justru lebih melecehkan rakyat Indonesia. Kalau Sri Mulyani
memang berprestasi, seharusnya Bank Dunia membiarkan Sri Mulyani menyelesaikan
tugasnya sebagai Menteri Keuangan sebaik-baiknya. Bukan malah membajak.
Karena salah satu tujuan Bank
Dunia adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh dunia, khususnya
negara-negara berkembang.
Sepengetahuan saya, mohon Bank
Dunia berkenan memberi klarifikasi, Bank Dunia selama ini tidak pernah menawari
atau mempekerjakan Menteri Keuangan yang masih aktif: Bank Dunia tidak pernah
membajak Menteri Keuangan dari negara lain. Kasus penunjukan Sri Mulyani
sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia merupakan kejadian satu-satunya.
Bank Dunia bahkan harus menolak
seandainya Sri Mulyani mengajukan lamaran untuk bekerja di Bank Dunia, sampai
permasalahan hukum yang bersangkutan selesai.
Hal ini menunjukkan Bank Dunia
tidak profesional, dan rakyat Indonesia mempertanyakan standar etika dan moral
pimpinan Bank Dunia ketika itu, Robert Zoellick: bagaimana Bank Dunia bisa
menunjuk seorang Direktur Pelaksana yang sedang diperiksa lembaga anti korupsi,
KPK?
Sri Mulyani ketika itu merupakan
ketua KKSK yang mempunyai kekuasaan memberikan dana talangan kepada Bank
Century. Kepergiannya meninggalkan Indonesia akan membuat sulit pemeriksaan
selanjutnya, dan ini akhirnya terbukti.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa
penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bersifat politis
dan sekaligus melakukan intervensi terhadap proses hukum di Indonesia.
Saat ini, Sri Mulyani sedang
menghadapi mega skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan, khususnya di
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Nilainya sangat luar biasa
besarnya. Menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), ada
indikasi pencucian uang hingga mencapai Rp 300 triliun di lingkungan
Kementerian Keuangan.
Untuk itu, rakyat Indonesia
menuntut keras kepada Bank Dunia dan institusi internasional lainnya untuk
tidak lagi melakukan intervensi proses hukum di Indonesia, seperti yang sudah
terjadi sebelumnya pada 2010.
Rakyat menuntut proses hukum mega
skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan wajib diusut tuntas. Mega
skandal korupsi kolektif ini berdampak sangat buruk bagi rakyat Indonesia,
membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun, membuat utang pemerintah
naik drastis, membuat pemerintah tidak berdaya memberantas kemiskinan.
Penulis adalah Managing Director
PEPS (Political Economy and Policy Studies)