Latest Post

 

SANCAnews.id – Pengadaan rangkaian atau unit Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh PT Kereta Cepat Indonesia (KCI), diketahui bukan unit baru alias bekas. Hal ini akan dilakukan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 

Jurubicara BPKP, Azwad Zamroddin Hakim menjelaskan, rencana audit pengadaan unit kereta cepat merupakan tindaklanjut dari pengajuan pemangku kepentingan terkait.

 

Katanya, unit kereta cepat yang akan dibawa masuk ke Indonesia berasal dari luar negeri, sehingga pengadaannya masuk ketegori impor.

 

“BPKP dalam perencanaan dan proses audit melibatkan lintas kedeputian.Begitu pula nantinya tim yang akan diturunkan ke lapangan,” ujar Azwad dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/3).

 

Ia menegaskan, audit dilakukan dalam bentuk review atas pengadaan trainset bukan baru atau bekas di lingkungan PT KCI tahun 2023 terkait regulasi, teknis, dan keuangan.

 

Karenanya Azwad memastikan, upaya maksimal dalam sinergi dan kolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait, untuk melakukan audit pengadaan kerete cepat akan dilakukan.

 

Ia menyatakan, untuk saat ini BPKP tetap berkoordinasi baik secara internal maupun dengan kementerian/lembaga yang meminta BPKP untuk melakukan audit, termasuk di dalamnya administrasi permintaan audit tersebut.

 

“Perkembangan atau update-nya sekarang masih dalam pemantapan perencanaan audit sembari berkomunikasi dengan pemangku kepentingan,” demikian Azwad menambahkan. (rmol)

 

SANCAnews.id – Aktivis kemanusiaan Natalius Pigai geram dengan pernyataan Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo yang mengatakan meskipun Sri Mulyani rangkap 30 jabatan namun hanya mendapatkan satu gaji sebagai Menteri Keuangan.

 

“Kau jangan bodohi (rakyat) se-Republik Indonesia,” kata Pigai kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin malam (13/3).

 

Pigai mengungkap, dirinya merupakan mantan peneliti Pegawai Negeri Sipil (PNS), pernah juga menjabat sebagai Kasubag Statistik Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan penyelidik Komnas HAM.

 

“Aturannya betul gaji hanya 1, tapi honor itu wajib sebagai upah jabatan,” tegas Pigai mengungkapkan.

 

Dengan begitu, kata Pigai, jika diasumsikan satu jabatan mendapatkan honor rata-rata Rp 30 juta perbulan maka, dengan rangkap 30 jabatan, Sri Mulyani mendapatkan penghasilan sebesar Rp 1 miliar perbulan, 12 miliar pertahun atau Rp 60 miliar dalam lima tahun.

 

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan, meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rankap jabatan mencapai 30 jabatan, namun penghasilan yang diterima hanya satu yakni dari status sebagai Menkeu.

 

Banyaknya jabatan yang dipegang Sri Mulyani, kata Yustinus, merupakan amanat undang-undangan sebagai ex-officio. Lantaran memiliki peran sebagai Menkeu, maka diikuti pula dengan tugas lainnya yang harus melibatkan Menkeu.

 

Adapun ex-officio merupakan jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. (*)

 

SANCAnews.id – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali menyerahkan dokumen temuan terkait dugaan Tindak Pidan Pencucian Uang di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

 

Dokumen berisi rekapitulasi data Informasi Hasil Analisis (IHA), Hasil Analisis (HA) hingga Hasil Pemeriksaan (HP) tersebut diserahkan ke Kemenkeu.

 

"Secara rutin PPATK dan Kemenkeu selalu berkoordinasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi kita masing-masing, tidak terbatas hanya pada isu tertentu saja," ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana melalui keterangan resminya, Senin (13/3/2023).

 

"PPATK akan selalu melakukan langkah-langkah kolaboratif yang efektif untuk penanganan seluruh informasi yang telah disampaikan," sambungnya.

 

Ivan merincikan, dokumen yang telah disampaikan PPATK pada Kemenkeu, hari ini yaitu daftar seluruh data Informasi Hasil Analisis beserta jumlah nilai nominal yang terindikasi terkait dengan TPPU. PPATK juga menyerahkan data individual masing-masing kasus dugaan pencucian uang.

 

"Sebagaimana tertuang dalam data individual masing-masing kasus yang telah kami sampaikan sepanjang kurun waktu 2009-2023," terangnya.

 

Ivan memastikan bahwa PPATK dan Kemenkeu terus bekerja sama dan berkoordinasi terkait berbagai hal. Termasuk, pertukaran data dan informasi. Ke depannya, PPATK janji bakal menyerahkan hasil temuan indikasi pencucian uang ke Kemenkeu.

 

"Penanganan data serta pemenuhan permintaan informasi dari Kementerian Keuangan RI oleh PPATK, senantiasa kami prioritaskan khususnya dalam rangka membantu penerimaan negara serta mendukung Kementerian Keuangan RI untuk memperkuat akuntabilitas kinerja sebagai bendahara negara," bebernya. (okezone)

 

SANCAnews.id – Kritikus Faizal Assegaf, kembali menyoroti soal dana yang berpolemik di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 300 triliun.

 

"Dulu Ormas Nahdlatul Ulama (NU) ngemis 1,5 T, kini 300 T jadi uang hantu di Kemenkeu," ujar Faizal dalam keterangannya (13/3/2023).

 

Faizal menyebut, elit NU merupakan kumpulan orang-orang bodoh. Dan, dia mengakui ucapannya tersebut kerap terbukti.

 

"Tapi, mereka terkesan lebih nyaman jadi bahlul. Kini mungkin mereka sadar. Tapi lucunya, berpura-pura tidak bodoh menyaksikan Kemenkeu terjerat uang tuyul 300 T. Lembaga yang pernah memposisikan ormas Islam tersebut seolah pengemis dan sangat melecehkan sekali," lanjutnya.

 

Kala itu, dikatakan Faizal. Ramai diberitakan Ketum PBNU Said Aqil Siradj ngamuk ihwal proposal bantuan senilai 1,5 trilian ke pemerintah, tak digubris Sri Muluyani.

 

Oleh karena pihak PBNU mengancam boikot pajak, terpaksa Sri Mulyani melempar secuil bantuan tersebut, diikuti bumbu manis, karena NU ormas toleran.

 

"Dalam sebuah postingan video setahun lalu, saya tegaskan, kalau elite NU cerdas, mestinya layak diberi 50 trilun dari APBN untuk majukan umat. Terlebih wadah kaum sarungan tersebut paling rajin jaga rumah ibadah, patuh pada penguasa dan jago ngoceh bela NKRI," tukasnya.

 

"Celakanya serangan kritikan saya untuk menaikan martabat NU justru menuai kecaman dari loyalisnya. Begitu kuat mental feodalistik dan kebodohan akut yang meradang. Seolah tidak boleh dikritik, padahal esensinya membela hak mereka dalam bernegara," sambung dia.

 

Tambah Faizal, sikap kebodohan tersebut membuat ormas yang mengklaim terbesar di dunia makin hari makin redup. Lebih parah lagi, kata Faizal. Terposisi gagu dan tak berdaya menghadapi dinamika bernegara yang makin amburadul.

 

Menurut Faizal, mestinya ormas NU terdepan bersikap kritis dan cerdas dalam bernegara. Tidak membiarkan Kemenkeu berubah jadi sarang garong.

 

"Begitu jelas umat dirugikan dengan pesta pora kejahatan korupsi. Tapi mereka lebih memilih dihargai dengan secuil fulus 1,5 triliuan," bebernya.

 

Tambahnya, andai separuh dari 300 T diberikan pada ormas NU, akan mendongkrak kesejahteraan umat yang mereka bina.

 

"Tapi, elitenya emong bego dan super sibuk dengan proposal recehan radikal-radikul. Alasannya untuk perangi kaum intoleran," katanya.

 

"Bodohnya sangat keterlaluan. Tak beda dengan Sri Mulyani, yang menyebar fitnah Kemenkeu disusupi radikalis. Faktanya Kemenkeu jada sarang iblis dan tuyul pencuri yang rakyat!," pungkasnya. (kontenjatim)



OLEH: ANTHONY BUDIAWAN

SRI MULYANI sempat dua kali diperiksa KPK terkait kasus dugaan penyimpangan pengucuran dana talangan (bailout) Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, masing-masing pada 29 April 2010 dan 4 Mei 2010.

 

Ketika itu, Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan sekaligus juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).

 

Satu hari setelah diperiksa KPK, Sri Mulyani menyampaikan pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI pada 5 Mei 2010, dengan alasan mendapat tawaran dari Bank Dunia sebagai direktur pelaksana Bank Dunia.

 

Proses penunjukan Sri Mulyani sangat aneh dan tidak lazim. Sri Mulyani mengaku tidak pernah melamar ke Bank Dunia untuk posisi apapun.

 

Tetapi, tidak ada angin dan tidak ada hujan, Bank Dunia mengumumkan penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, melalui siaran pers yang dipublikasi Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat, pada 4 Mei 2010 atau 5 Mei 2010 waktu Jakarta, satu hari setelah diperiksa KPK untuk kedua kalinya.

 

Penunjukan Bank Dunia ini sangat melecehkan rakyat Indonesia, karena Bank Dunia secara sepihak menunjuk, artinya “membajak”, Menteri Keuangan yang masih aktif, dari sebuah negara berkembang anggota Bank Dunia. Yang sedang menghadapi proses hukum di KPK, sebagai direktur pelaksana yang akan berkantor di Amerika Serikat. Terlepas apakah yang bersangkutan, atau Presiden RI, memberi persetujuan atau tidak.

 

Penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia ini patut diduga keras bersifat politis, dan sekaligus telah melakukan intervensi hukum Indonesia.

 

Alasan penunjukan Sri Mulyani karena berprestasi justru lebih melecehkan rakyat Indonesia. Kalau Sri Mulyani memang berprestasi, seharusnya Bank Dunia membiarkan Sri Mulyani menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Keuangan sebaik-baiknya. Bukan malah membajak.

 

Karena salah satu tujuan Bank Dunia adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh dunia, khususnya negara-negara berkembang.

 

Sepengetahuan saya, mohon Bank Dunia berkenan memberi klarifikasi, Bank Dunia selama ini tidak pernah menawari atau mempekerjakan Menteri Keuangan yang masih aktif: Bank Dunia tidak pernah membajak Menteri Keuangan dari negara lain. Kasus penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia merupakan kejadian satu-satunya.

 

Bank Dunia bahkan harus menolak seandainya Sri Mulyani mengajukan lamaran untuk bekerja di Bank Dunia, sampai permasalahan hukum yang bersangkutan selesai.

 

Hal ini menunjukkan Bank Dunia tidak profesional, dan rakyat Indonesia mempertanyakan standar etika dan moral pimpinan Bank Dunia ketika itu, Robert Zoellick: bagaimana Bank Dunia bisa menunjuk seorang Direktur Pelaksana yang sedang diperiksa lembaga anti korupsi, KPK?

 

Sri Mulyani ketika itu merupakan ketua KKSK yang mempunyai kekuasaan memberikan dana talangan kepada Bank Century. Kepergiannya meninggalkan Indonesia akan membuat sulit pemeriksaan selanjutnya, dan ini akhirnya terbukti.

 

Hal ini menguatkan dugaan bahwa penunjukan Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bersifat politis dan sekaligus melakukan intervensi terhadap proses hukum di Indonesia.

 

Saat ini, Sri Mulyani sedang menghadapi mega skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

 

Nilainya sangat luar biasa besarnya. Menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), ada indikasi pencucian uang hingga mencapai Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.

 

Untuk itu, rakyat Indonesia menuntut keras kepada Bank Dunia dan institusi internasional lainnya untuk tidak lagi melakukan intervensi proses hukum di Indonesia, seperti yang sudah terjadi sebelumnya pada 2010.

 

Rakyat menuntut proses hukum mega skandal korupsi kolektif di Kementerian Keuangan wajib diusut tuntas. Mega skandal korupsi kolektif ini berdampak sangat buruk bagi rakyat Indonesia, membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun, membuat utang pemerintah naik drastis, membuat pemerintah tidak berdaya memberantas kemiskinan.

 

Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.