OLEH: UBEDILAH BADRUN
SAYA merenung untuk menulis
artikel ini agar tulisan ini betul-betul tidak terjebak dalam kepentingan yang
sangat politis. Tetap on the track bahwa pikiran ini saya tulis dengan maksud
untuk kepentingan republik dan masa depannya dan ditulis dalam kerangka sebagai
akademisi.
Bermula dari pertanyaan apakah
benar bahwa Presiden Joko Widodo telah benar-benar melakukan perbuatan yang
menurut UUD 1945 dapat menyebabkan ia dapat diberhentikan sebagai Presiden?
Bagaimana aturanya?
SAYA merenung untuk menulis
artikel ini agar tulisan ini betul-betul tidak terjebak dalam kepentingan yang
sangat politis. Tetap on the track bahwa pikiran ini saya tulis dengan maksud
untuk kepentingan republik dan masa depannya dan ditulis dalam kerangka sebagai
akademisi.
Bermula dari pertanyaan apakah
benar bahwa Presiden Joko Widodo telah benar-benar melakukan perbuatan yang
menurut UUD 1945 dapat menyebabkan ia dapat diberhentikan sebagai Presiden?
Bagaimana aturanya?
Sesungguhnya, cara bernegara
republik ini telah diatur dengan baik sejak 18 Agustus 1945 ketika Panitia
Persiapan Kemerdekaan (PPK) Indonesia memutuskan disahkanya UUD 1945 sebagai
konstitusi Indonesia. Sejak saat itu aturan tentang apa yang harus dilakukan
jika seorang Presiden melanggar konstitusi telah diatur dengan jelas, yaitu
diberhentikan melalui mekanisme Sidang Istimewa MPR.
Dalam UUD 1945 yang telah
diamandemen pada tahun 2002 pun diatur bahwa Presiden dapat diberhentikan jika
melakukan penghianatan terhadap negara, korupsi, menyuap, melakukan tindak pidana berat lain, dan
melakukan perbuatan tercela.
Melakukan satu saja dari lima
pelanggaran tersebut Presiden sesungguhnya sudah dapat diberhentikan. Tentu
melalui tahapan proses mekanisme impeachment sebagaimana diatur dalam pasal
7A,7B, 24C UUD 1945.
Pertanyaanya, benarkah Presiden
Jokowi telah melakukan salah satu perbuatan sebagaimana yang tertuang dalam
pasal tersebut?
Presiden Telah Melakukan
Perbuatan Tercela
Sebelum mengungkap analisis
tentang Presiden telah melakukan penghianatan terhadap negara, korupsi,
menyuap, melakukan tindak pidana berat lain melalui
sejumlah indikator, ada baiknya penulis ungkap satu saja dulu dari lima
perbuatan Presiden yang menyebabkanya dapat dimakzulkan.
Melakukan satu saja dari lima
perbuatan yang mengakibatkan Presiden diberhentikan itu sesungguhnya sudah
cukup dijadikan sebagai alasan untuk MPR memberhentikan Presiden melalui
mekanisme impeachment, yaitu melakukan perbuatan tercela.
Pertanyaanya apakah Jokowi telah
melakukan perbuatan tercela secara terang-terangan? Saya menyimpulkan iya.
Berkali-kali Presiden Jokowi melakukan perbuatan tercela dalam posisinya
sebagai Presiden.
Pertanyaanya apa yang dimaksud
dengan perbuatan tercela? Secara etimologis (KBBI, 2023) disebutkan bahwa kata
tercela berasal dari kata cela diartikan sebagai perbuatan hina, perbuatan aib
atau sesuatu yang tidak pantas. Jadi perbuatan tercela berarti perbuatan yang
tidak pantas dilakukan. Di antara perbuatan tercela yang tidak pantas dilakukan
Presiden adalah mengabaikan konstitusi UUD 1945, mengabaikan lembaga negara,
dan sering berbohong.
Apa contoh perbuatan tercela yang
mengabaikan konstitusi UUD 1945? Sebenarnya bisa ditelusuri sejak tahun 2015
ketika menaikan harga BBM dengan dasar mekanisme pasar sesuai harga minyak
mentah dunia. Cara itu telah mengabaikan pasal 33 UUD 1945. Selain itu saat itu
dapat dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab pada tahun 2003, Mahkamah
Konstitusi (MK) telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU 22/2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi yang berlaku saat itu. Pasal 28 ayat (2) UU Migas tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang sumber
daya alam yang penting dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.
Ternyata perbuatan Jokowi yang
mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berulang kembali ketika Jokowi
mengabaikan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembuat
undang-undang (Presiden dan DPR) untuk memperbaiki UU Cipta Kerja selama 2
tahun. Presiden justru tidak memperbaiki Undang-Undang tetapi membuat Perpu
Ciptaker yang isinya justru bermasalah karena merugikan buruh, petani,
masyarakat desa, dan lain-lain.
Jokowi sebagai Presiden telah
melakukan perbuatan tercela mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan
sekaligus tidak menghormati MK sebagai lembaga negara.
Diantara perbuatan tercela lainya
yang dilakukan Presiden Jokowi adalah berbohong. Dalam terminologi agama maupun
hukum positif berbohong adalah perbuatan tercela. Saking tercelanya bahkan
kepada saksi di pengadilan yang berbohong dapat dipidana penjara hingga
sembilan tahun.
Pertanyaanya dimana letak
Presiden Jokowi berbohong? Mari kita cermati secara seksama, obyektif dan penuh
kesabaran.
Presiden Jokowi dalam catatan
saya telah melakukan perbuatan tercela berbohong dalam posisinya sebagai
Presiden. Ini data empiriknya. Pada tanggal 17 November 2020 Jokowi mengatakan
dalam siaran salah satu televisi swasta bahwa UU Ciptaker adalah inisiatif pemerintah,
karena itu tidak akan mengeluarkan Perpu.
Tetapi, pada tanggal 30 Desember
2022 Presiden Jokowi menerbitkan Perpu No 2 tentang Cipta Kerja. Data peristiwa
itu secara terang menunjukan perilaku berbohong Jokowi dalam posisinya sebagai
Presiden.
Bohong apa lagi? Pada tanggal 15
September 2015 Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden mengatakan "Kita
tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat
itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu,
saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis".
Tetapi, kemudian pada tanggal 6
Oktober 2021 Jokowi sebagai Presiden resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres)
93/2021 yang salah satu isinya (pasal 4) menyebutkan bahwa proyek Kereta Cepat
Jakarta-Bandung didanai APBN. Tentu itu adalah kebohongan yang dilakukan Jokowi
dalam posisinya sebagai Presiden.
Faktanya kemudian terjadi
pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat tersebut. Diketahui angka
pembengkakannya pada akhir tahun 2022 dengan angka pembengkakan biaya mencapai
1,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 21,8 triliun. Biaya bengkak yang membebani
APBN padahal janjinya tidak akan gunakan APBN apalagi membebani.
Bohong apalagi dalam posisinya
sebagai Presiden ? Pada tanggal 6 Mei 2019 di Istana Negara Jokowi pernah
mengatakan bahwa pembangunan IKN tidak membebani atau menggunakan APBN tetapi
pada tanggal 22 Februari 2022 Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden
mengatakan akan menggunakan APBN untuk membangun kawasan inti IKN. Ini
perbuatan bohong yang dilakukan secara sadar dalam posisinya sebagai Presiden.
Bohong apalagi? Pada tanggal 30
November 2021, Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden mengatakan "kita
tahu bahwa tahun ini tahun 2021 sampai hari ini kita belum melakukan impor
beras sama sekali dan kenyataannya stok kita masih pada posisi yang sangat baik".
Pernyataan tersebut bohong, sebab
data BPS tahun 2021 menunjukan Indonesia impor beras 242 ribu ton (110 juta
dolar AS).
Bohong apalagi? Pada tanggal 2
Agustus 2022 Jokowi mengatakan bahwa angka subsidi BBM sudah mencapai Rp 502
triliun. Ternyata realisasi hingga Juli 2022 hanya Rp 88 triliun untuk subsidi
BBM, elpiji, dan listrik. Data itu menunjukan Jokowi bohongi rakyat, dengan
alasan subsidi BBM telah mencapai Rp 502 Triliun itulah lalu Jokowi menaikan
harga BBM saat itu.
Soal bohong ini belum semuanya
diungkap tetapi secara empirik sejumlah data diatas menunjukan bukti bahwa
Jokowi berkali-kali berbohong.
Semua ahli bahasa, ahli hukum dan
ahli agama dari beragam mazhab telah menegaskan bahwa berbohong adalah
perbuatan tercela. Pertanyaanya kemudian apakah DPR/DPD /MPR akan membiarkan
Presiden yang sering berbohong ini? Sangat berbahaya bagi masa depan republik
ini jika Presiden sering berbohong lalu dibiarkan.
Perbuatan tercela itu dilakukan
dalam posisinya sebagai Presiden. Jika dibiarkan akan menjadi preseden yang
sangat buruk bagi generasi muda bahwa berbohong tidak apa-apa karena Presiden
saja sering berbohong dibiarkan. Ini negara bisa semakin berantakan karena
dampaknya berupa kebijakan yang tidak tepat.
Lebih dari itu yang sangat
dirugikan dari kebohongan Presiden adalah rakyat banyak yang menanggung beban
kenaikan harga BBM, kenaikan harga-harga barang, dan beban APBN yang berat dari
pembangunan kereta cepat dan IKN, utang negara terus membengkak. Itu semua buah
dari kebijakan yang berbasis kebohongan.
Kalau terang-terangan melakukan
perbuatan tercela berkali-kali dan merugikan rakyat banyak lalu tidak mundur
bahkan membiarkan dan mendorong wacana perpanjangan masa jabatan, ini saatnya
DPR berpihak kepada rakyat untuk mengambil sikap tegas, jika tidak saya
khawatir rakyat yang akan bersikap dengan caranya sendiri. Wallahua'lam rmol.id
(Penulis adalah Analis Sosial
Politik Universitas Negeri Jakarta)