SANCAnews.id – Perjanjian Pak Prabowo dengan Anies Baswedan terkait
pemilihan presiden diungkit kembali oleh Sandiaga Uno. Menurut Sandiaga, dalam
perjanjian menyangkut Prabowo dan Anies, mengandung sejumlah poin yang cukup
detil dan disepakati. Kesepakatan itu bermula saat Anies dan Sandiaga maju
Pilgub DKI Jakarta 2017 hingga langkah politik ke depan.
Mengomentari hal ini, Rocky
Gerung dalam Kanal Yotube Rocky Gerung Official edisi Senin (30/01/23)
mengatakan, “Bagi Pak Prabowo, Anies menjadi semacam ya duri dalam melon,
kira-kira begitu, karena dianggap bahwa Anies tidak disangka-sangka
elektabilitasnya mungkin sudah melampaui Pak Prabowo.”
Kalau di awal kita lihat setting
politiknya, kata Rocky, Pak Prabowo dianggap akan membawa suara oposisi . Oleh
karena karena itu, orang merasa Prabowo ada kesempatan berikutnya untuk menjadi
Presiden. “Tetapi, Pak Prabowo masuk kabinet. Jadi, itu juga membatalkan pacta
sunt servanda karena detingnya berubah,” ujar Rocky.
Jadi, kata Rocky, ini adalah
perjanjian politik yang peralatan-peralatan awal untuk memastikan perjanjian
itu sudah banyak berubah. Anies dideklarasikan oleh Nasdem, padahal sebetulnya
juga belum ada kepastian. Mestinya Pak Prabowo biasa saja, Anies bisa
dibatalkan. Lain kalau Pak Prabowo memang sudah merasa bahwa beliaulah
satu-satunya yang harus tampil sebagai penantang dari Presiden Jokowi.
Kalau bicara soal perjanjian Pak
Prabowo, sebenarnya bukan hanya perjanjian dengan Anies. Pak Prabowo juga adan
perjanjian dengan Ibu Mega di Batu Tulis tahun 2014. Perjanjian dengan Bu Mega
ini, menurut Rocky, lebih kuat karena lebih positioning bagi Pak Prabowo.
Perjanjian dengan Ibu Mega ini membuat Pak Prabowo langsung mendapat partai
koalisi.
Dalam pembahasan yang dipandu
oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, Rocky juga mengatakan bahwa
perjanjian Prabowo dengan Anies merupakan perjanjian yang unik, karena Anies
tidak punya partai. “Jadi, hal-hal yang belakangan kita lihat sebagai fenomena
adalah Anies melejit dan semua orang merasa perlu mengungkit-ungkit perjanjian
dengan Anies. Itu betul, tapi nanti publik akan melihat ini politik cemburu
atau politik apa,” ungkap Rocky.
Menurut Rocky, dari awal Anies
sudah diproyeksikan untuk tidak masuk dalam Gerindra. Lain kalau Anies kemudian
dinyatakan sebagai Gerindra. Jadi kalau kita lihat, misalnya settingnya Pak
Prabowo kalau dia tagih, ada perjanjian apa dengan Anies? Kalau sebagai tokoh
politik, pada waktu itu Anies belum menjadi tokoh politik; kalau sebagai kader
Gerindra, pada waktu itu juga Anies belum kader Gerindra.
Jadi, kata Rocky, memang Pak
Prabowo menduga bahwa Anies akan melejit. Oleh karena itu, dia membuat
perjanjian. Kalau perjanjian dengan Bu Mega sudah terhapus oleh
peristiwa-peristiwa politik. Kalau dengan Anies justru perjanjian itu baru
mulai terasa potensi pencapaiannya, karena Anies elektabilitasnya naik. Kalau
Anies elektabilitasnya 45%, pasti Pak Prabowo akan anggap penting perjanjian
itu.
“Jadi, itulah sifat dari
perjanjian politik, di belakangnya ada teks, ada konteks, di belakangnya ada
halaman-halaman yang lain yang barangkali sudah berubah angkanya,” tegas Rocky.
Tetapi, tambah Rocky, yang paling menarik tentu setiap orang yang bikin
perjanjian dengan Pak Prabowo akan merasa kok berubah, mestinya Pak Prabowo ada
di kubu oposisi. Di dalam hukum perjanjian, ucapan itu sudah mengikat.
“Jadi kita mesti anggap bahwa
perjanjian politik di Indonesia itu semacam lips service aja,” ujar Rocky.(fnn)