Latest Post


SANCAnews.id – Mantan Anggota TGUPP Era Anies Baswedan, Tatak Ujiyati menyorot tajam pernyataan Presiden Jokowi soal sodetan Kali Ciliwung yang sudah berhenti selama 6 tahun terutama di masa Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

 

Padahal, dalam akun Twitter resmi Kementerian PUPR menyebut bahwa proyek sodetan Kali Ciliwung ini sudah dikerjakan pada tahun 2021.

 

"Tentang proyek Sodetan Kali Ciliwung ke BKT. Apa kata Pak Presiden Jokowi vs apa kata Kementerian PUPR. Yang bener itu mangkrak 6 tahun atau sudahdikerjakan sejak tahun 2021 ya?" ucap Tatak dikutip NewsWorthy dari akun Twitter pribadinya, Rabu (24/1/2023).

 

Tatak juga menyebut bahwa cuintan Kementerian PUPR Tahun 2021 tentang sodetan Kali Ciliwung.

 

"Kementerian PUPR kembali melanjutkan pembangunan terowongan (sudetan) dari Sungai Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur (KBT) pada TA 2021. Sebelumnya, pembangunan sudetan ini telah dilaksanakan sepanjang 550 m pada tahun 2013-2015," ucap akun Twitter Kementerian PUPR, pada 4 Agustus 2021.

 

Cuitan Tatak ini mendapat respon beragam dari warganet di Twitter.

 

"Iya bener, mangkrak 6 tahun itu kan dari 2015 - 2021. 2021 dikerjakan lagi, jadi omongan Jokowi harusnya bukan ditujukan ke gubernur DKI siapapun itu, itu terkait real keadaan project BKT dan harusnya timeframe 6 tahun itu bukan 2022," ucap warganet.

 

"Sudahlah bu, yang jelas tidak dikerjakan anis (yang tidak kooperatif dan malas) dan nggak usah ikut-ikutanlah," ucap warganet lain.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengaku kaget Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mampu menyelesaikan proyek sodetan Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur yang sempat mangkrak di era Anies Baswedan.

 

Jokowi, yang pada Selasa (24/1/2023) mengatakan proyek sodetan Kali Ciliwung tersebut sempat tidak disentuh selama 6 tahun, termasuk lima tahun Anies menjabat sebagai gubernur.

 

"Saya juga kaget, dikerjakan oleh Pak Gubernur Heru. Saya enggak tahu pendekatannya apa, tapi selesai. Makanya saya ke sini tadi karena udah selesai," kata Jokowi saat meninjau proyek tersebut.

 

Jokowi mengakui bahwa proyek ini terhenti selama enam tahun terakhir karena alasan pembelasan lahan, yang nota bene adalah tanggung jawab pemerintah Ibu Kota. Adapun dana untuk pembebasan lahan ditanggung oleh pemerintah pusat. (wartaekonomi)



 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memuji kerja Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono karena mampu menyelesaikan pembebasan lahan dengan cepat. Jokowi menyampaikan hal itu saat meninjau proyek sodetan kali Ciliwung dan Kanal Banjir Timur (KBT), Jakarta, Selasa (24/1).

 

Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem), Hasan Basri Umar menanggapi pernyataan Jokowi. Bagi NasDem, ucapan Jokowi bukan untuk menyindir Anies Baswedan. Anies adalah capres yang diusung Partai NasDem untuk Pemilu 2024.

 

"Bukan (menyindir Anies). Era Pak Heru ini kan anggarannya dari Pak Anies. Anggaran tahun sekarang itu dibuat tahun lalu," kata Hasan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (24/1).

 

Lagi pula, katanya, apa yang dilakukan Heru juga bukan kinerja seorang diri. Apalagi, anggaran yang dipakai Heru saat ini sebelumnya telah disetujui Anies di akhir masa jabatannya sebagai gubernur DKI.

 

"Bukan (serta merta), Pak Heru emang pelaksanaannya. Tapi kan anggarannya kita setujui dari zamannya Pak Anies. Jadi anggaran berjalan ini sudah disusun tahun lalu," tegasnya.

 

Lalu, ihwal proyek enam tahun yang mangkrak. Hal itu diartikan olehnya sudah terjadi sebelum Anies menjabat sebagai gubernur. Karena, masa jabatan gubernur hanya selama lima tahun.

 

"Iya (Proses pengerjaan yang bertahap) itu kan tidak. Mungkin sebelum ini sudah ada pelaksanaannya cuma belum selesai saja, begitu. Kalau 6 tahun kan berarti, Pak Anies kan dia cuma 5 tahun. Kalau 6 tahun berarti Djarot (Ahok-Djarot)," dalih Hasan.

 

Hasan menegaskan, apa yang dikatakan oleh Jokowi tersebut bukan karena adanya upaya untuk melegitimasi Anies.

 

"Enggak ada (upaya Jokowi melegitimasi Pak Anies) soalnya ini tahun politik selalu dikaitkan. Yang bikin masalah ini kan orang luar saja, yang orang lihat dari luar. Oh Pak Jokowi dengan Anies, nyatanya Formula E mereka berdua," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau proyek sodetan kali Ciliwung dan Kanal Banjir Timur (KBT), Jakarta, Selasa (24/1). Dia memuji kinerja Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono yang mampu menyelesaikan pembebasan lahan dengan cepat.

 

Jokowi menegaskan, banjir Jakarta harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Dari hulu telah diselesaikan bendungan Ciawi dan Sukamahi. giliran Jakarta yang perlu diselesaikan yakni sodetan kali Ciliwung.

 

"Sebentar lagi akan selesai mungkin April Insya Allah sudah selesai sodetan Ciliwung yang sudah berhenti 6 tahun," kata Jokowi.

 

Jokowi bercerita, dalam wakut satu setengah bulan telah selesai pembebasan lahan. Sehingga pengeboran bisa dilanjutkan kembali.

 

Dia yakin, proyek ini mampu menyelesaikan persoalan banjir di ibu kota. Setidaknya proyek sodetan ini mampu mengurangi volume air mencapai 63 meter per kubik.

 

"Gede sekali. Karena terowongan ini salurannya ini, kanan 3,2 meter, kiri terowongannya 3,25 meter. Sepanjang 1,3 kilometer. Kalau nanti sudah berfungsi sangat mengurangi banjir yang ada di Jakarta," kata Jokowi.

 

Selanjutnya, tinggal pompa air dan normalisasi sungai-sungai di Jakarta yang harus rutin dilakukan. Ditambah pembangunan giant sea wall untuk menahan banjir rob di utara Jakarta.

 

Ihwal 6 tahun proyek tersebut mangkrak, Jokowi menegaskan, hal itu karena pembebasan lahan yang tak kunjung selesai. Namun, di tangah Heru Budi semua bisa selesai dengan singkat.

 

"Pembebasan. Tadi saya sampaikan. Dikerjakan oleh pak gubernur Heru, saya enggak tahu pendekatannya apa, tapi selesai. Makanya saya ke sini tadi karena sudah selesai," tegas Jokowi. (mdk)


OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

SEUSAI Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan kenaikan biaya haji 2023 naik menjadi Rp 69 juta pada rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Kamis (19/1). Rencananya BPIH per jemaah sebesar Rp 98.893.909.

Naik sekitar Rp 514 ribu dengan komposisi Bipih Rp 69.193.733 atau sekitar 70 persen dibebankan kepada jemaah dan nilai manfaat tabungan haji sebesar Rp 29.700.175 atau 30 persen. Sontak hal ini menuai kritik publik bersahut-sahutan silih berganti.
 
Kaum muslimin lagi-lagi dihadapkan dengan ujian yang berat. Rencana kenaikan biaya haji ini tentunya menjadi kesulitan dalam menjalankan rukun Islam yang kelima.

Dikutip dari RMOL, memberitakan bahwa Presiden Jokowi menegaskan biaya kenaikan haji itu masih dikalkulasi. Angka Rp 69 juta tersebut belum final. (klik)

Pada saat meninjau proyek pembangunan sodetan Kali Ciliwung menyampaikan bahwa "Biaya haji masih dalam proses kajian".

Dia pun berkomentar bahwa "Belum final, belum final sudah ramai. Masih dalam proses kajian, masih dalam proses kalkulasi,".

Sebelumnya pemerintah mempunyai kesanggupan dalam memberikan nilai manfaat yang lebih besar, sehingga publik mengharapkan meskipun ada kenaikan, seharusnya hanya sekitar Rp 40 jutaan. Berdasarkan hitungan kami sebenarnya pemerintah memiliki kesanggupan untuk menetapkan ONH sekitar Rp 40 juta.

Narasi Menteri Agama dapat dinilai sebagai bentuk opini prakondisi manakala nilai manfaat tabungan haji mengalami penurunan.

Kemenag seharusnya menerangkan kenaikan Rp 69 juta itu menggunakan skenario terburuk manakala nilai manfaat haji 2023 hanya maksimal 30 persen.

Kemenag dan BPKH bersama-sama memastikan nilai manfaat itu sama seperti tahun 2022 yaitu 59,46 persen.

Kapasitas para pejabat di Kemenag saat ini dinilai tidak kreatif dan akan dipertanyakan karena dianggap tidak punya kemampuan untuk mengelola dana haji publik.

Presiden Jokowi sebaiknya tidak sekadar mengatakan bahwa kenaikan ONH masih dalam kajian, namun Presiden Jokowi harus memastikan bahwa ongkos haji tidak naik apalagi ditengah ancaman resesi ekonomi.

Kebijakan yang nekat menaikan ongkos haji akan menjatuhkan marwah pemerintah dihadapan ummat islam khususnya dihadapan para jemaah haji 2023.

Apalagi publik mengetahui bahwa pemerintah sedang mencari dana untuk membiayai proyek-proyek mercusuar yang dipaksakan dan membutuhkan investasi besar-besaran. Sehingga penurunan nilai manfaat bagi jemaah haji dari 59,46 persen menjadi 30 persen tersebut diduga untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur mercusuar itu.

(Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)

 

SANCAnews.id – Beberapa waktu belakangan isu kenaikan biaya haji tengah menjadi pembicaraan panas. Banyak yang mengkritik isu tersebut karena kenaikannya yang hampir mencapai dua kali lipat.

 

Gaduh isu ini sendiri sempat ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo. Sang RI 1 bahkan mengaku terkejut karena publik yang sangat reaktif kendati keputusannya belum final.

 

Sikap Jokowi inilah yang kemudian dikritik keras oleh ekonom senior Rizal Ramli. Lewat akun Twitter-nya, Rizal mengklaim pemerintah sedang main-main dan sekadar tes ombak.

 

"Pemerintah 'test ombak' dulu, kalau ada reaksi mundur, kalau ndak ada lanjutkan," kata Rizal, dikutip pada Rabu (25/1/2023).

 

Rizal lantas mencontohkan keberjalanan beberapa kebijakan pemerintah. Seperti wacana menaikkan besaran pajak hingga pengadaan kompor listrik.

 

"Awalnya PPN mau dinaikkan 15%, begitu ada protes turun ke 11%. Mau paksakan kompor listrik, begitu banyak protes mundur," cuit Rizal.

 

Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman itu menilai pemerintah sedang menunjukkan sikap plin plan. Bahkan Rizal menilai pemerintah sedang bermain-main dengan rakyatnya.

 

"Memerintah kok main-main, dasar ndak becus. Sono mundur," pungkas Rizal.

 

Sementara wacana pemerintah menaikkan biaya haji masih menuai pro dan kontra. Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy lantas menjelaskan bahwa selama ini jemaah haji selalu mendapat subsidi dari pemerintah.

 

"Jadi selama ini memang dana untuk haji itu sebetulnya di bawah dari biaya yang seharusnya, selama ini pemerintah memberikan subsidi tidak langsung," ujar Muhadjir, Rabu (25/1/2023).

 

Saat ini rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah mencapai Rp69.193.733, lebih tinggi dari BPIH 2022 yang ditetapkan di angka Rp39.886.009 per jemaah.

 

Karena itulah pemerintah berencana untuk menaikkan biaya haji supaya tidak terus-menerus membebani pembiayaan negara. "Makanya ini kita upayakan ada penyesuaian agar keberlangsungan dari penyelenggaraan haji ini bisa terjamin," tegasnya. (suara)


SANCAnews.id – Bentrok antarpekerja di PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), Morowali Utara, kerap disebut sebagai bom waktu akibat kesenjangan di antara tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga kerja asing (TKA), dalam konteks ini ialah TKA China.

 

Berbagai pihak menduga TKI menerima perlakuan tidak adil yang kemudian memicu aksi protes. Berdasarkan penjelasan Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT GNI, Katsaing, protes pekerja lokal terhadap perusahan nikel asal China itu merupakan hasil perpanjangan dari tuntutan pekerja yang tak dipenuhi oleh perusahaan.

 

Menurut Katsaing, SPN telah beberapa kali meminta pemerintah setempat memediasi pihak mereka dengan PT GNI. Namun, PT GNI justru menghentikan secara sepihak karyawan yang tergabung dalam SPN dan menolak eksistensi SPN lantaran menganggap serikat ini dibentuk oleh kelompok yang bukan karyawan perusahaan.

 

Puncaknya, pada Sabtu (14/1/2023), terjadi demonstrasi yang berujung bentrok dan menewaskan dua orang, seorang pekerja lokal dan seorang pekerja asing.

 

Wakil Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Afriansyah Noor telah memberikan pernyataan bahwa pihaknya sedang melakukan investigasi terkait pelaksanaan K3 di PT GNI. Pasalnya, ia meyakini kerusuhan internal yang menimbulkan dua korban jiwa ini disebabkan oleh persoalan K3.

 

Dari PT GNI sendiri, melansir laman resminya, Selasa (24/1/2023), meyakini ricuh disebabkan adanya serangan terhadap TKA agar berhenti bekerja. Setelah kericuhan muncul, para penyerang membakar dan menjarah mess perempuan tenaga kerja lokal hingga TKI dan kemudian membakarnya. Namun, Perusahaan tidak merinci siapa terduga yang melakukan aksi penyerangan.

 

Kasus Morowali dan Bom Waktu

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun berpendapat kerusuhan Morowali secara sosiologis merupakan akumulasi dari kekecewaan pekerja asli Indonesia. Asumsinya berlandaskan kondisi problem yang dipersoalkan dan siapa yang berkonflik sehingga mengakibatkan kerusuhan.

 

“Problemnya panjang, dari kasus meninggalnya pekerja asli Indonesia akhir tahun 2022 lalu, kasus bertambah banyaknya tenaga kerja asing asal Tiongkok, dan kasus upah tenaga kerja asli yang kenaikannya sangat kecil,” jelas Ubedilah kepada Warta Ekonomi, Selasa (24/1/2023).

 

Menurut dia, tewasnya TKI dan TKA China pada insiden tersebut bakal makin memperburuk tensi sosial antara kedua kelompok. “Ini bisa menjadi bom waktu,” imbuhnya.

 

Tak hanya Ubed, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai kasus Morowali seolah seperti bom waktu. Pasalnya, ada banyak ketimpangan yang dialami pekerja di kawasan industri Morowali, seperti gap upah yang lebar, masalah keamanan kerja, transportasi yang rawan kecelakaan, hingga hunian yang tidak layak.

 

Dugaan Bhima didukung oleh tuntutan SPN yang diajukan kepada Kantor Staf Presiden (KSP) di Bina Graha, Selasa (24/1/2023). Dari delapan tuntutan SPN, lima di antaranya adalah praktik prosedur K3 yang sesuai perundangan yang berlaku, kelengkapan APD sesuai standardisasi jenis pekerjaan, pembuatan peraturan perusahaan, penghentian pemotongan upah yang bersifat tidak jelas, dan kembali mempekerjakan karyawan anggota SPN yang kontraknya dihentikan.

 

“Harusnya pemerintah audit semua perusahaan di Morowali, Konawe, dan wilayah lainnya. Setiap pelanggaran harus ada sanksi keras,” tandas Bhima.

 

Persoalan Investor

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad berpendapat akar permasalahan kasus Morowali adalah kepentingan investor.

 

Dalam kasus investor pada umumnya, pihak investor mendatangkan tenaga kerja dari negara asalnya hanya untuk jabatan di level manajemen ke atas. Posisi manajemen ke bawah tetap diberikan kepada pekerja domestik.

 

Sedangkan dalam kasus PT GNI, pekerja asing asal China banyak menempati posisi manajemen ke bawah yang seharusnya dikerjakan oleh pekerja lokal. Kondisi ini yang memicu adanya ketimpangan sosial-ekonomi.

 

“Kalau ekspatriat memang biasanya upah dan benefitnya lebih tinggi dari pekerja lokal. Berlaku juga bila pekerja Indonesia bekerja di luar negeri, karena ada kompensasi yang harus dibayar,” ujar Tauhid. “Perbedaan ini harus bisa diakomodasi. Terutama soal perlakuan perusahaan, sistem, kesejahteraan, dan sebagainya. Itu bisa memicu berbagai konflik di antara para pekerja.”

 

Senada, Ubedilah juga berpendapat meledaknya bom waktu di kasus Morowali dipicu oleh kelonggaran pemerintah terhadap TKA China. Menurutnya, sejak awal pemerintah tidak tegas dan transparan soal TKA China. Pemerintah seolah menganakemaskan TKA China yang mengakibatkan problem serius secara sosiologis.

 

“Apalagi, misalnya, ternyata TKA China yang datang tidak hanya yang ahli, tetapi juga tenaga kasar. Sementara rakyat Indonesia banyak menganggur,” kata Ubedilah.

 

Ubedilah berharap pemerintah dapat segera melakukan evaluasi mendasar terkait kebijakan TKA asal Tiongkok ini. Misalnya, dengan melakukan moratorium TKA asal China atau menghentikan masuknya TKA Tiongkok untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah juga dapat membuat kebijakan mengurangi jumlah TKA China di dalam negeri.

 

Di sisi lain, Tauhid merekomendasikan pemerintah untuk mengamalkan amanat kebijakan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. UU tersebut telah mengatur cara penyelesaian hubungan industrial, misalnya dengan bipartit.

 

Dalam UU 2/2004, dijelaskan bahwa, “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.”

 

Selain bipartit, Tauhid juga menyarankan pemerintah untuk membentuk tim pengawas dan menghadirkan dialog dengan serikat pekerja dan perusahaan.

 

Penyelesaian akar masalah kasus Morowali terbilang merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bila kasus tak diselesaikan secepatnya, Tauhid meyakini kasus ini akan menjadi api dalam sekam (red. peribahasa yang berarti bahaya yang dapat terjadi di setiap waktu).

 

Bhima menambahkan industri pertambangan, dalam konteks ini nikel, perlu mendapat sanksi yang tegas. “Memang nikel ini kan seksi, jadi komoditas masa depan, terutama untuk baterai kendaraan listrik. Tapi, kita seolah didorong lebih hijau dengan beli mobil listrik, [namun] ternyata di hulu kotor, banyak masalah.”

 

Sentimen Anti-China

Berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat masifnya perdebatan tentang kasus Morowali dipicu oleh sentimena anti-China yang hangat di kalangan masyarakat Indonesia.

 

Dia meyakini kasus ketimpangan antara pekerja lokal dan pekerja asing terjadi di berbagai tempat. Namun, konflik Morowali makin diperburuk dengan sentimen anti-China yang telah dibangun sejak lama.

 

“Yang namanya TKA atau ekspatriat selalu mendapatkan berbagai fasilitas dan gaji yang lebih tinggi. Tidak hanya di Morowali, tetapi juga di berbagai perusahaan asing di Jakarta,” jelas dia saat dihubungi Warta Ekonomi, Selasa (24/1/2023).

 

“Tetapi, perbedaan itu tidak dipermasalahkan karena tidak ada sentimen anti-China,” lanjut dia.

 

Oleh karena itu, dalam konteks kasus Morowali, dia melihat persoalan yang terjadi bukan tentang ketidakharmonisan hubungan antara TKA dan TKI. “Tetapi, sentimen anti-China yang terus diembuskan dan tidak ada upaya meredamnya,” tutup Piter. (wartaekonomi)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.