SANCAnews.id – Bentrok antarpekerja di PT Gunbuster Nickel Industry
(PT GNI), Morowali Utara, kerap
disebut sebagai bom waktu akibat kesenjangan di antara tenaga kerja Indonesia
(TKI) dan tenaga kerja asing (TKA),
dalam konteks ini ialah TKA China.
Berbagai pihak menduga TKI
menerima perlakuan tidak adil yang kemudian memicu aksi protes. Berdasarkan
penjelasan Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT GNI, Katsaing, protes pekerja
lokal terhadap perusahan nikel asal China itu merupakan hasil perpanjangan dari
tuntutan pekerja yang tak dipenuhi oleh perusahaan.
Menurut Katsaing, SPN telah
beberapa kali meminta pemerintah setempat memediasi pihak mereka dengan PT GNI.
Namun, PT GNI justru menghentikan secara sepihak karyawan yang tergabung dalam
SPN dan menolak eksistensi SPN lantaran menganggap serikat ini dibentuk oleh
kelompok yang bukan karyawan perusahaan.
Puncaknya, pada Sabtu
(14/1/2023), terjadi demonstrasi yang berujung bentrok dan menewaskan dua
orang, seorang pekerja lokal dan seorang pekerja asing.
Wakil Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Afriansyah Noor telah memberikan pernyataan bahwa pihaknya sedang
melakukan investigasi terkait pelaksanaan K3 di PT GNI. Pasalnya, ia meyakini
kerusuhan internal yang menimbulkan dua korban jiwa ini disebabkan oleh
persoalan K3.
Dari PT GNI sendiri, melansir
laman resminya, Selasa (24/1/2023), meyakini ricuh disebabkan adanya serangan
terhadap TKA agar berhenti bekerja. Setelah kericuhan muncul, para penyerang
membakar dan menjarah mess perempuan tenaga kerja lokal hingga TKI dan kemudian
membakarnya. Namun, Perusahaan tidak merinci siapa terduga yang melakukan aksi
penyerangan.
Kasus Morowali dan Bom Waktu
Sosiolog
Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun berpendapat kerusuhan Morowali
secara sosiologis merupakan akumulasi dari kekecewaan pekerja asli Indonesia.
Asumsinya berlandaskan kondisi problem yang dipersoalkan dan siapa yang
berkonflik sehingga mengakibatkan kerusuhan.
“Problemnya panjang, dari kasus
meninggalnya pekerja asli Indonesia akhir tahun 2022 lalu, kasus bertambah
banyaknya tenaga kerja asing asal Tiongkok, dan kasus upah tenaga kerja asli
yang kenaikannya sangat kecil,” jelas Ubedilah kepada Warta Ekonomi, Selasa
(24/1/2023).
Menurut dia, tewasnya TKI dan TKA
China pada insiden tersebut bakal makin memperburuk tensi sosial antara kedua
kelompok. “Ini bisa menjadi bom waktu,” imbuhnya.
Tak hanya Ubed, Direktur Center
of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai kasus
Morowali seolah seperti bom waktu. Pasalnya, ada banyak ketimpangan yang
dialami pekerja di kawasan industri Morowali, seperti gap upah yang lebar,
masalah keamanan kerja, transportasi yang rawan kecelakaan, hingga hunian yang
tidak layak.
Dugaan Bhima didukung oleh
tuntutan SPN yang diajukan kepada Kantor Staf Presiden (KSP) di Bina Graha,
Selasa (24/1/2023). Dari delapan tuntutan SPN, lima di antaranya adalah praktik
prosedur K3 yang sesuai perundangan yang berlaku, kelengkapan APD sesuai
standardisasi jenis pekerjaan, pembuatan peraturan perusahaan, penghentian
pemotongan upah yang bersifat tidak jelas, dan kembali mempekerjakan karyawan
anggota SPN yang kontraknya dihentikan.
“Harusnya pemerintah audit semua
perusahaan di Morowali, Konawe, dan wilayah lainnya. Setiap pelanggaran harus
ada sanksi keras,” tandas Bhima.
Persoalan Investor
Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad berpendapat akar permasalahan
kasus Morowali adalah kepentingan investor.
Dalam kasus investor pada
umumnya, pihak investor mendatangkan tenaga kerja dari negara asalnya hanya
untuk jabatan di level manajemen ke atas. Posisi manajemen ke bawah tetap
diberikan kepada pekerja domestik.
Sedangkan dalam kasus PT GNI,
pekerja asing asal China banyak menempati posisi manajemen ke bawah yang
seharusnya dikerjakan oleh pekerja lokal. Kondisi ini yang memicu adanya
ketimpangan sosial-ekonomi.
“Kalau ekspatriat memang biasanya
upah dan benefitnya lebih tinggi dari pekerja lokal. Berlaku juga bila pekerja
Indonesia bekerja di luar negeri, karena ada kompensasi yang harus dibayar,”
ujar Tauhid. “Perbedaan ini harus bisa diakomodasi. Terutama soal perlakuan
perusahaan, sistem, kesejahteraan, dan sebagainya. Itu bisa memicu berbagai
konflik di antara para pekerja.”
Senada, Ubedilah juga berpendapat
meledaknya bom waktu di kasus Morowali dipicu oleh kelonggaran pemerintah
terhadap TKA China. Menurutnya, sejak awal pemerintah tidak tegas dan
transparan soal TKA China. Pemerintah seolah menganakemaskan TKA China yang
mengakibatkan problem serius secara sosiologis.
“Apalagi, misalnya, ternyata TKA
China yang datang tidak hanya yang ahli, tetapi juga tenaga kasar. Sementara
rakyat Indonesia banyak menganggur,” kata Ubedilah.
Ubedilah berharap pemerintah
dapat segera melakukan evaluasi mendasar terkait kebijakan TKA asal Tiongkok
ini. Misalnya, dengan melakukan moratorium TKA asal China atau menghentikan
masuknya TKA Tiongkok untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah juga dapat
membuat kebijakan mengurangi jumlah TKA China di dalam negeri.
Di sisi lain, Tauhid
merekomendasikan pemerintah untuk mengamalkan amanat kebijakan hubungan
industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. UU tersebut
telah mengatur cara penyelesaian hubungan industrial, misalnya dengan bipartit.
Dalam UU 2/2004, dijelaskan
bahwa, “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.”
Selain bipartit, Tauhid juga
menyarankan pemerintah untuk membentuk tim pengawas dan menghadirkan dialog
dengan serikat pekerja dan perusahaan.
Penyelesaian akar masalah kasus
Morowali terbilang merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bila kasus tak
diselesaikan secepatnya, Tauhid meyakini kasus ini akan menjadi api dalam sekam
(red. peribahasa yang berarti bahaya yang dapat terjadi di setiap waktu).
Bhima menambahkan industri
pertambangan, dalam konteks ini nikel, perlu mendapat sanksi yang tegas.
“Memang nikel ini kan seksi, jadi komoditas masa depan, terutama untuk baterai
kendaraan listrik. Tapi, kita seolah didorong lebih hijau dengan beli mobil
listrik, [namun] ternyata di hulu kotor, banyak masalah.”
Sentimen Anti-China
Berbeda dengan
pandangan-pandangan sebelumnya, Direktur Center of Reform on Economics (CORE)
Piter Abdullah berpendapat masifnya perdebatan tentang kasus Morowali dipicu
oleh sentimena anti-China yang hangat di kalangan masyarakat Indonesia.
Dia meyakini kasus ketimpangan
antara pekerja lokal dan pekerja asing terjadi di berbagai tempat. Namun,
konflik Morowali makin diperburuk dengan sentimen anti-China yang telah
dibangun sejak lama.
“Yang namanya TKA atau ekspatriat
selalu mendapatkan berbagai fasilitas dan gaji yang lebih tinggi. Tidak hanya
di Morowali, tetapi juga di berbagai perusahaan asing di Jakarta,” jelas dia
saat dihubungi Warta Ekonomi, Selasa (24/1/2023).
“Tetapi, perbedaan itu tidak
dipermasalahkan karena tidak ada sentimen anti-China,” lanjut dia.
Oleh karena itu, dalam konteks
kasus Morowali, dia melihat persoalan yang terjadi bukan tentang
ketidakharmonisan hubungan antara TKA dan TKI. “Tetapi, sentimen anti-China
yang terus diembuskan dan tidak ada upaya meredamnya,” tutup Piter.
(wartaekonomi)