Latest Post

 

SANCAnews.id – Usulan penambahan masa jabatan Kepala Desa (Kades) jika dikabulkan dikhawatirkan hanya akan memunculkan perilaku sewenang-wenang terhadap warganya.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen menjelaskan, kesannya desakan kades menambah masa jabatan menjadi 9 tahun hanya demi kepentingan politik sempit. Di sisi lain, kata Silaen, elite politik partai politik pusat, seperti mengiyakan desakan Kades.

 

"Ini terkesan mengorbankan masa depan bangsa Indonesia yang terdepan dan terdekat dalam melayani keperluan rakyat banyak di berbagai desa," ungkap Samuel F. Silaen Minggu (22/01).

 

Bagi Silaen, adanya desakan menambah masa jabatan Kades akan menjadi bumerang bagi pelayanan masyarakat Indonesia. Sebab, banyak Kades hanya patuh kepada orang dekatnya semata.

 

"(Kades) Penuh perhatian kepada orang dekat dan orang yang memberikan dukungan hingga dia terpilih," tutur Silaen.

 

Menurut Silaen, perlu dibentuk tim independen untuk menilai baik dan buruknya kualitas pelayanan kepala desa terhadap masyarakat. Apalagi, kecenderungan di desa banyak Kades hanya memikirkan keluarga besar dan tim suksesnya.

 

"Ketika kepala desa sudah menjabat. Jadi bagi yang ketahuan bukan pendukungnya atau tidak memilihnya maka silahkan dipikir oleh legislatif dan pemerintah terkait masa jabatan kepala desa yang saat ini berjalan," tandas Silaen. (rmol)


SANCAnews.id – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengkritik perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun. Yanuar menilai keputusan tersebut harus diikuti dengan peningkatan kualitas aparatur desa.

 

"Perpanjangan jabatan kepala desa harus diikuti dengan langkah nyata Pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas aparatur desa," kata Yanuar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

 

Dia menilai kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi problem terbesar di pemerintahan desa saat ini, di luar wacana perpanjangan masa jabatan kades yang kini sedang bergulir.

 

"Kita harus serius menata sistem yang kokoh untuk membangun kualitas manusia di desa. Sayangnya, Pemerintah tidak cukup serius tentang soal ini," imbuhnya.

 

Menurut dia, kucuran dana desa yang besar melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) selama ini tidak diimbangi dengan program sistematis dan fokus dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membangun kualitas aparatur desa.

 

Akibatnya, lanjut dia, dana desa secara umum belum mempercepat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa karena cara pandang kepala desa maupun perangkat desa lebih tertuju pada pembangunan infrastruktur fisik.

 

"Ketika Pemerintah pusat mendorong ke arah pemberdayaan ekonomi, wirausaha, dan bisnis lokal, aparatur desa masih kebingungan bagaimana cara untuk memulai dan melangkahnya," jelasnya.

 

Dia menggarisbawahi bahwa hal tersebut merupakan problem dari kualitas SDM dan bukanlah problem keterbatasan sumber daya ekonomi.

 

"Bahwa dalam beberapa kasus terjadi penyimpangan dana desa oleh kepala desa, maka ini hanya bukti bahwa kualitas mental kepala desa masih bermasalah, tidak ada kaitannya dengan masa jabatan," tuturnya.

 

Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa harus dilihat dalam perspektif lebih luas, menyeluruh, dan cocok untuk percepatan kemajuan desa.

 

"Pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis-teknokratik tidak cukup, harus naik satu tingkat melalui pelatihan berbasis character building dan pemberdayaan pikiran," ujar Yanuar. (suara)

 

SANCAnews.id – Para kepala desa melalui PP Papdesi pada Selasa (17/1/2023) lalu melakukan unjuk rasa meminta masa jabatan mereka diperpanjang.

 

Aspirasi tersebut seolah langsung dibayar tunai dengan sinyal kuat persetujuan dari Presiden. Adanya aspirasi tersebut kemudian memunculkan berbagai macam pro dan kontra dari berbagai pihak.

 

Tidak sedikit orang yang menyebut bahwa isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini merupakan kepentingan untuk Pemilu 2024.

 

Melansir dari berbagai sumber, isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini disuarakan para kepala desa yang berdemonstrasi menyuarakan aspirasi di depan gedung DPR, pada hari Senin 16 Januari 2023.

 

Mereka meminta Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini direvisi, sehingga masa jabatan yang awalnya enam tahun bisa menjadi sembilan tahun. Maka, kalau maksimal dua periode, kepala desa bisa menjabat selama 18 tahun lamanya.

 

Adapun alasan perpanjangan masa jabatan adalah masa jabatan enam tahun tidak cukup untuk melakukan pembangunan desa. Para kepala desa juga meminta Pilkades 2024 ditunda terlebih dahulu agar tidak mengganggu Pemilu 2024.

 

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diklaim telah setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Klaim tersebut disampaikan oleh politikus PDIP, mantan anggota DPR yang dulu mendukung UU Desa, Budiman Sudjatmiko.

 

Melansir dari berbagai sumber, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar juga setuju dengan adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa.

 

Tidak hanya itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana juga setuju. Dalam parlemen, suara setuju tersebut juga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR sekaligus anggota DPR dari PDIP, Ahmad Basarah.

 

Namun, hal ini juga menuai kecurigaan dari berbagai pihak. Melansir dari berbagai sumber, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mencurigai isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini.

 

Konteks waktu aspirasi ini yaitu dalam momen tahun politik menjelang Pemilu 2024. Bukan hal yang tidak mungkin, Feri menyebut bahwa kecurangan juga dilangsungkan oleh satuan pemerintah terendah yaitu desa. Maka, aspirasi ini sejatinya perlu disikapi secara kritis.

 

Feri menilai, jika aspirasi tersebut murni demi kebaikan desa, aspirasi itu tidak perlu direalisasikan saat ini juga. Aspirasi itu bisa dibahas setelah Pemilu 2024.

 

Merusak Demokrasi

 

Melansir dari berbagai sumber, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa wacana perubahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun bisa saja merusak demokrasi.

 

Ia mengingatkan bahwa konstitusi sudah mengatur bahwa masa jabatan seseorang harus dibatasi, misalnya saja selama 5 tahun bagi presiden, anggota dewan maupun kepala daerah.

 

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa lamanya masa jabatan kepala desa bisa membuat mereka menjadi ‘raja kecil’ di daerahnya yang bisa memerintah tanpa adanya pengawasan yang ketat.

 

Lebih lagi, para kepala desa juga mempunyai wewenang untuk mengelola dana desa yang jumlahnya tidak sedikit. (suara)


SANCAnews.id – Belakangan ini viral di media sosial, video yang diduga oknum polisi yang mengacungkan jari tengah.

 

Polres Metro Jakarta Selatan memeriksa seorang anggota Polri berinisial H yang diduga sebagai pelaku perbuatan tersebut.

 

Oknum polisi itu viral karena dianggap melakukan perbuatan tercela dengan mengacungkan jari tengah di Jalan Sultan Agung, Tebet.

 

Kasie Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi membenarkan bahwa pelaku tersebut memang benar anggota polisi.

 

Oknum polisi yang diberitakan sudah mengacungkan jari tengah tersebut, dikatakan sebagai anggota dari Polsek Tebet.

 

"Jadi untuk video viral mengenai anggota polisi di Manggarai, setelah kita cek itu betul adalah anggota Polsek Tebet," kata AKP Nurma Dewi yang dikutip dari pmnews.com pada Sabtu (21/1/2023).

 

Nurma juga menuturkan bahwa Unit Profesi dan Pengamanan (Propam) Polrestro Jakarta Selatan saat ini tengah melakukan pemeriksaan terhadap anggota tersebut.

 

Lebih lanjut menurut Norma polisi masih mendalami kronologi dan motif dengan meminta keterangan H.

 

Dia memastikan Polrestro Jakarta Selatan akan memberikan sanksi tegas kepada anggota yang melakukan perbuatan tidak pantas.

 

"Untuk itu masih didalami unit Propam yang jelas jika anggota kita memang salah pasti ada sanksi," tukasnya.

 

Nurma menambahkan, dengan adanya sanksi yang tegas diharapkan tidak ada lagi oknum polisi yang melakukan tindakan tercela seperti itu.

 

Dia menegaskan polisi harus menjadi contoh dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. (suara)



SANCAnews.id – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyampaikan peningkatan dana kelolaan haji saat ini menjadi Rp 166,01 triliun. Jumlah itu meningkat 4,56 persen dibanding saldo di tahun 2021 sebesar Rp 158,79 triliun.

 

Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah mengatakan, peningkatan dana kelolaan haji berbanding lurus dengan target nilai manfaat yang diperoleh BPKH di tahun 2022 yang melampaui target dengan realisasi Rp 10,08 triliun.

 

Fadlul mengatakan, keuangan haji saat ini dalam kondisi sehat di mana posisi penempatan dana di bank per Desember 2022 sebesar Rp 48,97 triliun atau lebih dari 2 kali kebutuhan dana untuk penyelenggaraan ibadah haji.

 

“Sejauh ini setiap tahun mengasumsikan berangkat haji adalah 100 persen kuotanya. Jadi secara pendanaan dan pembiayaannya kami sudah siapkan secara 100 persen, jadi kalau kemudian diimplementasikan 100 persen buat kami itu suatu hal yang rutin,” kata Fadlul dalam rilis resmi, dikutip Sabtu (21/1).

 

Selain itu, pihaknya mencatat bahwa rasio solvabilitas (posisi aset terhadap liabilitas) adalah di atas 100 persen, yakni 102,747 persen. Artinya, nilai kekayaan keuangan haji mampu memenuhi seluruh kewajiban.

 

Pemenuhan tingkat likuiditas keuangan haji, kata Fadlul, juga tetap terjaga sesuai ketentuan yakni minimal 2 kali keberangkatan ibadah haji di mana posisi Desember 2022 adalah sebesar 2,22 x BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji).

 

Kemenag Usul Biaya Haji 2023 Naik Jadi Rp 69,1 Juta

 

Meskipun dana BPKH menunjukkan peningkatan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas justru mengusulkan agar ada kenaikan dana haji tahun ini dari yang semula Rp 39 juta pada 2022, menjadi Rp 69,1 juta.

 

Menag menjelaskan, selama ini dana haji yang dibayarkan jemaah jauh lebih murah karena adanya nilai manfaat. Tahun ini, nilai manfaat menurun, dari yang semula jemaah dapat 40,54 persen menjadi 30 persen.

 

"BIPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) usulan dari pemerintah Rp 69,1 juta atau 70 persen dan nilai manfaat Rp 29,7 juta atau 30 persen dan BPIH Rp 98,8 juta atau 100 persen," ucap Gus Yaqut dalam rapat di Komisi VIII DPR, Jakarta, Kamis (19/1).

 

Dengan usulan biaya haji Rp 69,1 juta, maka yang harus dibayarkan bagi jemaah yang akan berangkat tahun ini adalah 44 juta. Sebab, semua jemaah sudah memiliki setoran awal Rp 25 juta.

 

Yaqut menjelaskan, pengurangan nilai manfaat itu agar dana haji di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tidak collaps, sehingga ada jaminan ibadah haji bisa digelar tiap tahun.

 

"Menurut kami yang paling logis untuk menjaga supaya uang jemaah yang ada di BPKH tidak tergerus yang dengan komposisi seperti itu," ucap Gus Yaqut. (kumparan)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.