Latest Post


SANCAnews.id – Diduga lantaran tak terima disalip kendaraan lain di jalan, seorang polisi mengacungkan jari tengah kepada pemotor yang sedang mengawal mobil ambulans. Aksi arogan polisi itu viral setelah video amatirnya beredar di media sosial.

 

Dalam unggahan video di akun Instagram, @updateinfojakarta yang terpantau pada Jumat (20/01/2023), tampak seorang polisi terlihat cekcok mulut dengan pemotor.

 

Ketika itu, pemotor itu disebut sedang mengawal mobil ambulans ke rumah sakit. Namun, saat di tengah jalan, relawan ambulans dihampiri polisi yang sedang mengendarai sepada motor matic.

 

Saat terjadi cekcok, tampak polisi yang mengenakan motor jenis Honda Beat berpelat nomor B 3098 YN memaki-maki pengendara lain sembari mengacungkan jari tengah. Peristiwa itu disebut terjadi di Underpass Manggarai, Jakarta Selatan, Kamis kemarin.

 

Tampak dua relawan yang berboncengan satu motor itu sempat membalas ocehan polisi itu. Diduga aksi arogan polisi itu lantaran tak terima saat sepeda motornya disalip oleh pemotor yang sedang mengawal ambulans di jalanan.

 

Beredarnya video polisi yang bersikap arogan sembari mengacunkan jari tengah saat cekcok dengan pemotor menjadi sorotan publik dan menuai kritikan.

 

Beragam komentar sindiran membanjiri video itu. Bahkan, ada warganet yang membawa-bawa nama Ferdy Sambo terkait ulah anggota polisi arogan itu.

 

"Polisi ko gitu," kata akun @ta***** yang juga memberi emoji sedih.

 

"Semakin menjamur oknumnya," timpal akun @ru*****.

 

"Pak oknum pol, apakah anda tidak merasa malu dengan seragam yang anda pakai, hadeeuh," tulis akun @pe*****.

 

"Anak buah sambo," kata tulis @ip***** (suara)



 

SANCAnews.id – Pernyataan Presiden Jokowi yang menginginkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) menjadi koordinator informasi intelijen dianggap melabrak ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Presiden Jokowi dianggap tidak paham UU No 17/2011 tentang Badan Intelijen Negara (BIN) yang menempatkan badan telik sandi sebagai koordinator intelijen.

 

Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative Al Araf, menilai keinginan Jokowi tersebut berbahaya. Selain menandakan Kepala Negara tak memahami perundang-undangan, pernyataan Jokowi yang disampaikan usai menghadiri Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan Tahun 2023 di Gedung Kemhan, Jakarta, Rabu (18/1/2023) yang lalu juga bertentangan dengan semangat reformasi pada sektor keamanan.

 

“Pernyataan ini juga akan mengaburkan tata kelola kenegaraan, karena Kementerian Pertahanan bukan leading sector dari pengelolaan informasi terkait dengan keamanan negara. Kementerian Pertahanan bukanlah lembaga yang menurut undang-undang sebagai lembaga koordinasi intelijen negara. Mengacu UU Intelijen Negara, koordinator intelijen yang mengumpulkan informasi intelijen dan keamanan negara adalah BIN,” kata Al Araf, di Jakarta, Jumat (20/1/2023).

 

Dia menyebutkan, Pasal 38 ayat 1 UU BIN menegaskan bahwa BIN berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Untuk itu, bila peranan intelijen ini di bawah kewenangan Kemhan maka tata kelola koordinasi intelijen, terutama terkait relasi antarlembaga negara dan kementerian akan menjadi kacau.

 

Selain itu, dia turut mengingatkan bahwa Pasal 3 Perpres No 67/2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara turut menegaskan fungsi koordinator intelijen negara dijalankan BIN yang melaporkannya kepada presiden sekaligus mengoordinasikan intelijen pengamanan. “Untuk itu, sudah jelas secara hukum lembaga yang mengoordinasikan intelijen beserta informasi keamanan negara adalah BIN bukan Kemhan. Presiden tidak boleh melanggar undang-undang tersebut karena itu bentuk pengingkaran atas negara hukum yang ditegaskan konstitusi,” tuturnya.

 

Pernyataan senada juga disampaikan oleh anggota Komis I DPR TB Hasanuddin. Politikus PDIP mengingatkan fungsi koordinator intelijen sesuai konstitusi diemban oleh BIN, bukan kementerian.  “Jadi sudah jelas sesuai undang-undang, BIN adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk melakukan koordinasi penyelenggara intelijen negara dan memadukan atau mensinkronisasi produk-produk intelijen penyelenggara intelijen negara di instansi lain untuk selanjutnya dilaporkan kepada Presiden,” tegasnya.

 

Selepas menghadiri Rapim Kemhan, Presiden Jokowi menyebutkan pentingnya Kemhan menjadi orkestrator informasi intelijen di semua lini. Informasi yang dikelola BIN, TNI, Polri dan BSSN perlu diorkestrai oleh Kemhan. “Itu harus diorkestrasi sehingga menjadi sebuah informasi yang solid. Tiap informasi itu diberikan ke kita untuk membangun sebuah policy, kebijakan, itu saja kesimpulannya,” kata Jokowi.

 

TB Hasanuddin melanjutkan, UU tidak mengenal fungsi orkestrasi informasi intelijen sebagaimana yang diatur oleh UU. Sebaliknya, UU menekankan fungsi koordinator intelijen yang menjadi ranah BIN. “idak ada istilah atau peran orkestrator dalam regulasi mengenai intelijen negara,” tegasnya. (inilah)

 

SANCAnews.id – Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dinilai memegang informasi penting dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal inilah yang membuat Jokowi menurut pengamat sosial dan politik Tatok Sugiarto menunda reshuffle.

 

Menurutnya, pendiri Nasdem banyak mengetahui tentang Pilpres 2019 yang memenangkan Jokowi karena menjadi salah satu partai pengusungnya, sehingga Presiden pasti mempunyai banyak pertimbangan untuk melakukan reshuffle kabinet.

 

"Surya Paloh bukan orang sembarangan dia banyak mengetahui tentang PILPRES kemarin, Jokowi pasti banyak pertimbangan," ungkapnya dikutip dari Twitter @QianzyZ, Jumat (20/1).

 

Sebelumnya, isu reshuffle kabinet Presiden Joko Widodo bergema sejak akhir tahun 2022. Namun reshuffle yang dimaksud tak kunjung terjadi, bahkan belum lama ini disebut tidak dilakukan pada bulan Januari 2023.

 

"Aduh ya Allah saya harus cerita apa lagi, enggak ada cerita reshuffle. Nggak ada, nggak ada reshuffle (Januari), Februari? Ya nggak tahu," terang Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, dikutip dari kanal YouTube KOMPASTV, Rabu (18/1/2023).

 

Menariknya, pernyataan ini muncul tidak lama setelah Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dikabarkan bertemu dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Marives) Luhut Binsar Pandjaitan di London, Inggris.

 

Hal inilah yang disoroti pakar komunikasi politik Effendi Gazali dalam program Adu Perspektif di kanal YouTube Total Politik. Bahkan secara tersirat, Effendi mengaitkan kedua peristiwa tersebut.

 

"Siapa tahu sekarang, karena bicaranya dalam suasana yang enak, tiba-tiba ujungnya, hari ini kita dengar ada pernyataan dari Istana, 'Tidak ada reshuffle di bulan Januari'. Nah ini kan kabar baik," tutur Effendi.

 

Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Hermawi Taslim, memilih menanggapinya secara diplomatis. Hadir secara virtual di forum yang sama, Hermawi menilai pembicaraan tentang reshuffle kemungkinan besar benar terjadi.

 

"Kalau orang selevel Pak Luhut dan Pak Surya duduk saja (tapi) nggak ngomong apa-apa, itu pasti ada implikasinya bagi kebaikan masyarakat. Apakah ada kemungkinan? Ya sangat ada, tapi kita nggak tahu persis," jelas Hermawi. (wartaekonomi)

 

SANCAnews.id – Sejumlah spanduk protes terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah menerbitkan Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), dibentangkan oleh peserta Aksi Kamisan ke-760 di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis sore (19/1).

 

Aksi Kamisan ke-760 ini sekaligus 16 tahun sejak pertama kali digelar pada 18 Januari 2007 silam. Spanduk protes itu ada yang bergambar karikatur mirip Pinokio bertuliskan “Pengakuan Tanpa Pertanggungjawaban = Omong Kosong”, “Presiden Jokowi Jangan Bohongi Kami” hingga “Tolak Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM”.

 

Orang Tua Korban Tragedi Semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, Maria Katarina Sumarsih menegaskan bahwa pihaknya menolak sikap Presiden yang berupaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara di luar hukum (non yudisial). 

 

“Kami menolak Presiden menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara akan diselesaikan di luar hukum (non yudisial),” tegasnya saat ditemui di seberang Istana Negara, Jakarta.

 

Sebab, kata Sumarsih, Indonesia merupakan negara hukum sehingga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus mengacu UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

 

“Kami yang Aksi Kamisan kalau diselesaikan di luar hukum kami tidak mau karena Indonesia adalah negara hukum! Pijakan langkah saya mencari keadilan adalah UU Pengadilan HAM,” pungkasnya. (rmol)



SANCAnews.id – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) juga terkena dampak kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang saat ini sedang disidangkan.

 

Usai Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan Ferdy Sambo kepada Putri Candrawathi (PC), akun media sosial Jokowi di Instagram dibanjiri komentar warganet yang kecewa dengan vonis ringan para terdakwa.

 

Dikutip TribunWow, reaksi kekecewaan dari warganet ini memenuhi unggahan Instagram @jokowi pada Rabu (18/1/2023).

 

Dalam unggahan Jokowi yang sedang berfoto bersama Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto tersebut, ramai warganet menuntut keadilan terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

 

Berikut beberapa komentar kekecewaan warganet terhadap sidang kasus Brigadir J yang memenuhi postingan Jokowi.

 

"Mohon tanggapan Bapak sebagai Presiden RI yang dipilih rakyat terhadap Hasil Tuntutan Sidang PC dan FS. Apakah harus demo besar besaran baru akan direspon? Apakah Bapak ingin benar benar membenahi hukum di Indonesia atau hanya sibuk dengan yang lain? Saya pikir dengan terpilihnya Bapak periode ke 2, ada perbaikan terhadap hukum. Ternyata sama saja. Kecewa dengan hasilnya. Mohon maaf, Pak. Jangan berharap jadi Bangsa yang besar kalau hukum saja tidak dapat dibenahi. Kami segenap masyarakat Indonesia kecewa. Semoga Bapak presiden membaca setiap komen dari netizen terhadap kejaksaan." tulis akun @liancpsrh.

 

"Pak Jokowi tolong tegakan keadilan untuk brigadir yoshua, kenapa putri. Candrawati otak pembunuhan hanya dituntut 8 Thun penjara, sangat tidak adil," ujar @rinawatitakulhuda.

 

"PAK JOKOWI..

ITU KENAPA RICHARD ELIEZER BISA DITUNTUT 12 TAHUN???

 

SEDANGKAN KUAT DAN NENEK PUTRI 8 TAHUN?

 

PAK JOKOWI TOLONG TURUN TANGAN…

SAYA MOHON," tulis @kiarakayls.

 

"Ricat 12tahun penjara, dia sebagai pengungkap kasus sambo, setidaknya ada keringanan bukan malah lebih berat dari pidana PC hanya 8tahun," jelas @aulmays_.

 

"Tolong pak itu kasus sambo..masa PC cuma dihukum 8th.. bharada E 12th ga adil pak..gimana ni hukum indonesia," terang @windy_yunias.

 

Seluruh komentar netizen tersebut menyayangkan ringannya hukuman PC selaku otak pembunuhan berencana, sedangkan Bharada E menerima tuntutan yang lebih berat.

 

Jaksa Tegaskan Hukuman Bharada E Sudah Ringan

 

Di sisi lain, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidun) Kejagung, Fadil Zumhana, menyatakan tuntutan hukuman 12 tahun penjara untuk Richard Eliezer (Bharada E) sudah tepat.

 

Dilansir TribunWow.com, Fadil menyatakan bahwa pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki parameter khusus untuk menentukan hukuman bagi terdakwa.

 

Ia lantas menekankan bahwa jaksa sudah mempertimbangkan dan menghargai rekomendasi LPSK terkait peran Bharada E sebagai Justice Collaborator (JC).

 

Menurut Fadil, jika jaksa tak mempertimbangkan hal tersebut, maka hukuman Bharada E pasti lebih berat.

 

Pasalnya, ia ikut terlibat langsung sebagai eksekutor korban Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

 

"Justru kami sudah pertimbangkan LPSK itu. Kalau kami tidak mempertimbangkan sikap LPSK, mungkin saja akan lebih tinggi daripada itu," tegas Fadil dikutip kanal YouTube KOMPASTV, Selasa (18/1/2023).

 

"12 tahun ini sudah kami ukur dengan parameter tuntutan pidana yang jelas."

 

Fadil menjelaskan bahwa LPSK hanya bisa memberi rekomendasi sebagai JC.

 

Namun, status tersebut sejatinya hanya bisa dikeluarkan oleh Pengadilan dan Bharada E belum diputuskan pantas menyandang peran tersebut.

 

"Kami ingin memberi penjelasan bahwa Justice Collaborator ini rekomendasi LPSK, tapi penetapan Justice Collaborator oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum ada," terang Fadil.

 

Meskipun Bharada E belum resmi menjadi JC, jaksa sudah mempertimbangkan jasa terdakwa yang membantu menguak skenario otak pelaku Ferdy Sambo.

 

"Kami sudah mempertimbangkan walaupun penetapan pengadilan belum ada. Karena Richard Eliezer inilah terungkap peristiwa pidana sesungguhnya, ini kami hargai."

 

Fadil menyatakan bahwa tuntutan untuk Bharada E sudah cukup ringan, apalagi jika dibandingkan dengan Ferdy Sambo.

 

"Ini sudah cukup ringan bagi dia ketika orang itu memahami bagaimana Jaksa menarik pertanggung jawaban pidana dan memberi hukuman yang tetap," kata Fadil.

 

"Dari segi kami ada parameter yang jelas dan kami nyatakan tuntutan 12 tahun (penjara) untuk Richard Eliezer Pudihang Lumiu sudah tepat," tandasnya. (tribunnews)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.