Latest Post


SANCAnews.id – Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto, menyoroti pernyataan politisi Partai Gelora Fahri Hamzah yang mengomentari soal pencalonan Anies Baswedan sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.

 

Fahri Hamzah menyebut bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut harus menarik diri dari gegap gempita jelang kontestasi. Ia bahkan menduga jika Anies hanya dijadikan alat bagi NasDem untuk mendulang massa.

 

Menanggapi pernyataan tersebut, Gigin Praginanto tampak terheran-heran. Ia lantas mempertanyakan mengapa Fahri Hamzah masih diberi panggung hingga saat ini.

 

"Heran orang seperti dikasih panggung," ujar @giginpraginanto seperti dikutip Suara.com pada Selasa (3/1/2023).

 

Ia lantas menyebut bahwa pernyataan yang dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gelora tersebut seperti orang melantur.

 

Gigin bahkan blak-blakan mengungkapkan bahwa tampaknya Fahri Hamzah telah diberi pesan oleh seseorang untuk memojokkan Anies Baswedan.

 

"Omongannya seperti orang melantur. Kelihatannya karena sesuai pesanan," ujar Gigin.

 

Cuitan ini pun menuai beragam komentar dari netizen. Dalam komentarnya tak sedikit netizen yang sepakat dengan pernyataan Gigin.

 

"Biar selamat, @Fahrihamzah harus pintar menjilat penguasa," kata netizen.

 

"Dulu saya sempat kagum dengan ide-ide dan desain besarnya. Setelah makan duren beliau jadi lain. Mungkin beliau yang paling bahagia lihat kondisi KPK saat ini. Misinya tercapai sudah," imbuh netizen lain.

 

"Bukan pesanan, tapi ambisi jadi capres maka mati-matian bikin partai. Eh nggak tahunya Anies yang punya partai yang didukung masyaarakat. Jadinya dia gedeg sama Anies," ujar netizen lain.

 

"Politik belah bambu, setelah diajak belah duren di Kota Medan," tambah netizen lain.

 

"Orang kecewa jadi asal nyanggol," komentar netizen lainnya lagi. (*)



SANCAnews.id – Anies Baswedan telah lengser dari jabatan Gubernur DKI Jakarta sejak bulan Oktober 2022 lalu. Heru Budi Hartono pun lantas didapuk sebagai Pj Gubernur tak lama usai Anies pensiun.

 

Di masa kepemimpinan Heru Budi Hartono, muncul rumor yang menyebut jika Pj Gubernur DKI tersebut ingin menghapus jejak pendahulunya, Anies Baswedan. Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan yang dilakukannya selama menjabat.

 

Menyusul beredarnya isu tersebut, Anies Baswedan ternyata tak panas. Ia justru memberikan jawaban santai atas merebaknya isu penghapusan jejaknya sebagai gubernur.

 

Sosok yang digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden 2024 ini mengungkapkan jika tidak ada perihal penghapusan jejak kepemimpinan dalam kamusnya.

 

"Kalau buat saya tidak ada soal penghapusan jejak dan lain-lain, itu adalah kebijakan tiap-tiap kepemimpinan," kata Anies seperti dikutip Suara.com melalui tayangan kanal YouTube Total Politik pada Senin (2/1/2023).

 

Ia lantas meminta agar publik yang menilai sendiri perihal rumor tersebut.

 

"Silakan dan biar publik yang menilai," terang Anies.

 

Pada kesempatan ini, mantan Menteri Pendidikan ini mengujarkan bahwa tugasnya di Jakarta telah rampung sehingga dirinya tak lagi punya wewenang terkait kebijakan yang dibuat pemerintah DKI Jakarta.

 

"Tugas saya sudah selesai di Jakarta dan justru kita ini kalau berada di dalam sebuah kekuasaan sebuah kewenangan harus tahu, kewenangan itu ada ujungnya," ujar Anies.

 

Anies Baswedan juga menyebut bahwa selama dirinya memimpin DKI, sama sekali tak terpikirkan untuk menghapus jejak gubernur sebelumnya. Semua kebijakan yang diambil murni dari pemikiran dan pertimbangan, bukan bertujuan untuk menghapus jejak pemimpin terdahulu.

 

Ia juga terlihat tak ingin ambil pusing terkait isu tersebut, lantaran dirinya telah merasa tak punya kewenangan apapun perihal kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpin DKI Jakarta terkini.

 

"Jadi ketika kita bertugas tahu bahwa akan ada saat di mana saya akan berujung, selesai. Sesudah selesai ya biarkan pemegang kewenangan berikutnya mengambil langkah sesuai dengan segala macam pertimbangan yang ada pada dirinya," jelas Anies.

 

"Jadi ketika saya menyusun program juga bukan bagaimana meniadakan yang sebelumnya, tidak. Ada keberlanjutan tapi ada juga perubahan," sambungnya. (suara)



SANCAnews.id – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonnesia (YLBHI) menentang keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang diterbitkn pada Jumat (30/12/2022) sore lalu.

 

Melalui keterangan tertulis, YLBHI menilai penerbitan PERPU ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.

 

"Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK," sebut YLBHI dalam keterangan tertulis yang diutip Senin (2/1/2022).

 

Mereka menilai, Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

 

Penerbitan PERPU ini jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya PERPU yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.

 

"Presiden seharusnya mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat," tegas YLBHI.

 

Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan PERPU. Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU.

 

Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan PERPU ini. Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.

 

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan  inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut.

 

Penerbitan PERPU UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan PERPU ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan.

 

Penerbitan PERPU ini semakin melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.

 

Penerbitan di ujung tahun, juga menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.

 

Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur menegaskan, pihaknya menuntut beberapa hal terkait penerbitan PERPU itu. Pertama mereka engecam penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

 

Mereka juga menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK dan menarik kembali PERPU No. 2 Tahun 2022.

 

"Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi," ujar Isnur.

 

Terakhir, mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia. (suara)


SANCAnews.id – Langkah mengejutkan ditempuh pemerintahan Presiden Joko Widodo pada akhir tahun 2022 kemarin. Pasalnya telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja.

 

Sebagai pengingat, pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law beberapa waktu lalu juga menimbulkan gejolak besar. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan waktu selama 2 tahun kepada pemerintah untuk membenahi isi dari UU tersebut.

 

Namun kini, secara mengejutkan, Jokowi malah meneken Perppu Cipta Kerja yang tentu kembali menimbulkan pro dan kontra. Bahkan Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha menyebut penerbitan Perppu Cipta Kerja bisa berujung pemakzulan Jokowi.

 

Hal ini turut disoroti oleh ekonom senior Rizal Ramli. Dilihat di Twitter-nya, Rizal awalnya terlihat membagikan kembali sebuah artikel online mengenai ancaman pemakzulan Jokowi.

 

"Kopas: Perpu Cipta Kerja Terabas Keputusan MK, Anggota DPD Sebut Jokowi Bisa Dimakzulkan - Nasional Tempo.co," cuit Rizal, dikutip pada Senin (2/1/2023).

 

Cuitan itu kemudian ditanggapi oleh Rizal lewat postingan berbeda. Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman tersebut menyayangkan penerbitan Perppu Cipta Kerja yang sampai menabrak konstitusi yang berlaku.

 

Menurut Rizal, penerbitan Perppu Cipta Kerja sengaja dilakukan demi menunjang keperluan oligarki, yakni terkait perpanjangan izin tambang.

 

"Kenapa ngotot banget menabrak konstitusi & undang-undang? Karena salah satu bagian penting dalam UU Omnibus adalah perpanjangan otomatis konsesi-konsesi tambang selama 2 kali 10 tahun!" ujar Rizal.

 

"Itulah dagingnya, kalo tidak harus dikembalikan ke negara. Itulah kenapa oligarki suruh doi," sambungnya.

 

Cuitan Rizal mendapat banyak respons publik, meski yang sebagian besar menyetujuinya. Publik juga menilai ancaman pemakzulan hanya berakhir menjadi wacana karena DPR yang dinilai telah bersekongkol dengan pemerintah.

 

"Gak akan pak Jokowi yang mulia dimakzulkan wkwk... Dalihnya: Dipilih langsung rakyat bukan mandataris MPR jadi harus rakyat yang cabut mandat mungkin via referandum? Isi Parlemen(MPR&DPR) semua pro Jokowi, hampir mutlak? Haha," komentar warganet.

 

"Gini deh kalo presidennya kacung oligarki!!!!" tulis warganet. (suara)


SANCAnews.id – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum, oleh sebab itu seharusnya hukumlah yang menjadi panglima bukan kekuasaan.

 

Dengan begitu, seharusnya Presiden Joko Widodo mematuhi dan menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU Cipta Kerja yang diminta MK agar diperbaiki lantaran inkonstitusional bersyarat. Bukan justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (Perppu).

 

"Bukan malah mengeluarkan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUD 1945 adalah final dan mengikat," kata Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/1).

 

HNW sapaan akrabnya melanjutkan MK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan konstitusional untuk mengawal konstitusi telah memutuskan agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

 

Salah satunya, karena tidak adanya meaningful participation (partisipasi masyarakat yang bermakna). Namun, bukannya segera melaksanakan putusan MK dengan membahas revisi UU itu bersama DPR, Presiden secara sepihak malah menerbitkan Perppu No 2/2022.

 

“Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa “meaningful participation” yang diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan," pungkas HNW heran. (rmol)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.