Latest Post


SANCAnews.id – Aksi demo menolak kedatangan Anies Baswedan di Kota Solo pada akhir pekan lalu pada Minggu (25/12/2022) ditanggapi oleh Pembina DPP Anies Baswedan Mania (AMAN), Muhammad Al Amin.

 

Seperti diketahui, sebelumnya, sekelompok orang yang menamakan diri Masyarakat Solo Raya menggelar demo di Solo.

 

Mereka menolak kedatangan Anies Baswedan meskipun, saat itu ia hanya memiliki agenda menghadiri undangan pernikahan. 

 

"Disenyumin saja. Kita mau memberikan edukasi kepada masyarakat, bahwa demokrasi itu kata kuncinya kita saling menghargai perbedaan di tengah kehidupan masyarakat. Entah itu perbedaan politik, suku, ekonomi, dan sosial," kata Al Selasa (27/12/2022).

 

Menurutnya hal itu bisa diwujudkan asal tidak ada arogansi,

 

Menurutnya Anies Baswedan juga sellau meminta kepada pendukungnya untuk menghindari terjadinya konflik horizontal.

 

"Pak Anies selalu mengatakan berkali-kali kalau kita harus santun. Kesantunan itu merupakan pola dasar gerakan kita, kita dipuji tidak terbang dan tidak arogan, saat kita dibully tidak berarti mati," ucapnya.

 

Menurutnya kini, pendukung Anies Baswedan justru semakin banyak bermunculan.

 

Kendati diakui olehnya bahwa Solo merupakan medan yang cukup berat.

 

"Kita melakukan hal-hal yang sikapnya koordinatif dan konsolidatif. Medan di Solo Raya ini tidak semudah di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten," kata Amin. (suara)

 

HARI ini saya membahas tantangan ke empat Indonesia tahun depan, yakni pemberantasan korupsi. Pembahasan ini menyangkut aspek struktural maupun kultural.

 

Struktural berhubungan dengan kekuasaan, sistem legal dan "power relation". Sedangkan kultural berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam masyarakat.

 

Negara-negara besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada indeks versi "Transparancy International", artinya penanganan korupsi sangat baik. Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, di bawah rerata dunia (44). Tahun lalu indeks Indonesia mencapai 38, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.

 

Transparancy International mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (Indeks Persepsi Korupsi 2021: Korupsi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, ti.or.id).

 

Musuh koruptor adalah kontrol sosial. Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK”, 2019, di situ diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan komunis sebuah kota di era Mao Ze Dong.

 

Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dan lain-lain), melainkan berdasarkan pemahaman nilai-nilai komunis.

 

Di China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih. Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka dikucilkan keluarga.

 

Sisi kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat. Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan nilai-nilai antikorupsi, kolusi, serta nepotisme. Sebuah ilustrasi ajaran Islam misalnya, diuraikan sebagai berikut:

 

Ibnu Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata, "Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, "Susu unta dari mana ini?" Budaknya menjawab, "Seekor unta miIik negara (Baitul Maal) yang telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta Allah". Umar berkata, "Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari neraka!". (Teladan2 Umar yang tak Aji Mumpung Gunakan Fasilitas Negara, Republika.co.id).

 

Nilai yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampuradukkan barang publik dengan barang pribadi. Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab, memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari khalifah (presiden atau raja).

 

Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya, juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya. Masyarakat yang sadar selalu menolak mengambil hak orang lain. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya.

 

Masuk perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus, karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.

 

Berbeda dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan Roh Meehyong, eks presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan, seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab.

 

Korupsi merupakan cerita lama. Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus pada korupsi yang menyangkut kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal (failed state). Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi.

 

Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi, beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya, OTT memalukan Indonesia di dunia internasional.

 

Operasi KPK ini padahal sejak awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai institusi memang didesain untuk bekerja “extraordinary”. Melakukan penyadapan dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung. Kita harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga.

 

Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi. Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya,  menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan rapor merah (tidak bebas korupsi) pada BG.

 

Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi. KPK sebagai institusi yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya.

 

Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDIP. Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi.

 

Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.

 

Pada era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala besar maupun menengah. Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham. Dalam catatan Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang terkait dengan masalah korupsi. Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya tetap besar.

 

Pada era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru. CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri. (CNBCIndonesia).

 

Di era Jokowi ini juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang, yakni dengan korupsi dana bantuan sosial Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP.

 

Terakhir, yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan misterius sebanyak Rp 183,8 T,  korupsi dalam skandal izin ekspor minyak goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan Y M E di muka bumi ternyata sudah bobrok juga.

 

Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubedilah Badrun ke KPK, terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham senilai Rp 92 miliar (Tribunnews). Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan dan pusaran kasus korupsi.

 

Sebagian besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”. Kelompok pertama berargumentasi bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani.

 

Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya. Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya, seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai presiden.

 

Kelompok kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti bukan pemerintah, melainkan keadaan. Istilah kita hidup bukan di surga, seperti yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu sangat konyol.

 

Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama 10 tahun berkuasa, indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy International. Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38, indeks yang sama, selama 8 tahun berkuasa.

 

Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia akan mempunyai Indeks di atas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu. Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela.

 

Sebab utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu.

 

KPK yang semula dibentuk sebagai lembaga “extraordinary”, yang sejajar dengan pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019. Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang didrop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula E yang dianggap akan menersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK mengalami intervensi dari kekuasaan.

 

Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi. Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, kepolisian dan kejaksaan agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini. Sedangkan KPK tidak terlibat didalamnya.

 

Sebab kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin. Langkah berani Jokowi menyingkirkan Budi Gunawan (BG) di awal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit anti korupsi yang tinggi. Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin sekadar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri. Sebab, BG kemudian menang di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan jabatan kepala BIN kepada BG.

 

Semakin lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke -9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi semakin dipertanyakan. Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, selain perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat kesulitan makan.

 

Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab, Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan miliar rupiah, yang banyak diberitakan saat ini (Dapat Izin dari Kemendagri, Gibran Berangkat ke UEA Tanggal 25 Desember 2022). Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?

 

Sebab ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala barat di Indonesia, secara konsisten. Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah.

 

Di era Jokowi, pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan aktifis pro demokrasi dan ulama. Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi berjalan tanpa ideologi. Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa di sekitar Jokowi adalah pebisnis.

 

Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi. Rizal Ramli, yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat.

 

Lalu apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan? Tahun depan adalah tahun politik. Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa. Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi.

 

Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya "Peng-Peng", pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Orang-orang bisnis harus meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus.

 

Kedua, kita harus mendorong ideologi politik ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, di mana keberhasilan seorang ditentukan oleh kontribusinya pada "public goods" dan kehidupan sosial. Negara harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Oleh karena itu, eksistensi pemerintahan bersih menjadi mutlak.

 

Ketiga, mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi "extraordinary" dalam pemberantasan korupsi dan independen.

 

Keempat, keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan. Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya antikorupsi. Presiden harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun 2024. Tahun 2023 adalah tahun penentuan nasib bangsa. Bangkit atau punah. ***

 

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Institute


SANCAnews.id – Novel Baswedan menyindir kinerja Firli Bahuri selama menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu terjadi lantaran Firli sempat mengatakan ia ingin Bumi Pertiwi bisa terbebas dari belenggu korupsi.

 

Firli juga mengatakan, jika bisa, tindak pidana itu segera menjadi sejarah di Indonesia. Ucapan itu ia sampaikan saat sambutan di Hari Ulang Tahun (HUT) KPK di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022) kemarin.

 

“Harapan saya sangat besar, bahwa suatu hari kita akan melihat korupsi adalah sesuatu di masa lalu, dan peradaban kita hidup di dunia yang bebas korupsi,” katanya, dikutip Rabu (28/12/2022).

 

Novel pun menuliskan cuitan di Twitternya soal perkataan Firli. Ia melemparkan pertanyaan soal kebohongan dan menuliskan nama Firli.

 

“Apa Firli ini suka bohongi publik ya?” ujarnya.

 

Ia bahkan memberikan contoh. Seperti beberapa gelagat Firli yang dianggap tak sesuai dengan omongannya.

 

“Sampaikan kasus Bansos akan diproses ancaman hukuman mati, ternyata hanya pasal suap,” papar Novel.

 

Tak cuma itu, ia juga menyinggung soal kata-kata Firli yang menyebut keinginannya buat nama penyidikan tanpa nama tersangka.

 

“Mau buat penyidikan tanpa nama tersangka karena tuntutan perubahan UU, ternyata pasal yang atur mengenai syarat tidak berubah,” lugasnya. (suara)


SANCAnews.id – Kecaman terus berdatangan terhadap cuitan Ruhut Sitompul yang menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya Budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Terlebih cuitan tersebut tak hanya menyinggung keluarga mendiang, tapi juga melukai perasaan warga Betawi.

 

Salah satu yang mengecam keras sikap Ruhut adalah anggota DPD RI, Dailami Firdaus.

 

“Sangat disayangkan apa yang disampaikan oleh Ruhut Sitompul melalui twitnya. Apalagi keluarga masih dalam suasana berduka, ya jangan menyinggung hal yang politis lagi untuk menyampaikan duka cita,” kata Dailami Firdaus dalam pesan singkatnya yang diterima Kantor Berita RMOLJakarta, Selasa (27/12).

 

Menurut Senator daerah Pemilihan DKI Jakarta itu, apa yang disampaikan oleh Ruhut dalam cuitannya bukan hanya melukai perasaan keluarga almarhum, tapi juga akan melukai hati masyarakat Betawi.

 

Pasalnya, Dailami menegaskan, mendiang Ridwan Saidi punya andil besar untuk masyarakat Betawi.

 

“Sebagai orang yang berpendidikan, ucapan pastinya akan selalu dijaga supaya tidak melukai hati siapapun itu,” ucap Dailami.

 

Cuitan Ruhut itu, lanjut Dailami, bisa menimbulkan gejolak di masyarakat Betawi. Terlebih, saat ini sudah masuk tahun politik.

 

Untuk itu, Dailami meminta semua elemen masyarakat untuk sama-sama menjaga kondusivitas supaya tidak ada gesekan baru di masyarakat.

 

“Mari kita sama-sama menjaga stabilitas politik di Indonesia tanpa menyinggung perasaan hati seseorang. Apalagi menyangkutpautkan dengan seseorang yang sudah wafat,” demikian Dailami.

 

Dalam cuitan di akun Twitter @ruhutsitompul, Ruhut mengunggah sepenggal video yang memperlihatkan dokumentasi Ridwan Saidi ketika di atas panggung. Ruhut pun menulis salam perpisahan dan ucapan duka cita atas kepergian sang budayawan.

 

"Selamat jalan Sahabatku Bang RS (Ridwan Saidi)," tulis narasi pada unggahan dikutip pada Selasa (27/12).

 

Namun, narasi berikut dalam unggahan Ruhut justru terkesan bersyukur atas kepergian Ridwan Saidi. Usut punya usut, hal itu dikarenakan selama masa hidupnya, Ridwan Saidi merupakan pendukung bakal calon presiden, Anies Baswedan.

 

“Selamat jalan SahabatKu Bang RS, akhirnya Bakal Calon Presiden ga’benar pendukungnya satu persatu dipanggil yang Maha Kuasa Tuhan “Gusti Mboten Sare” MERDEKA,” kicau Ruhut sambil menggunggah video Ridwan Saidi yang mendukung Anies. (*)


SANCAnews.id – Wacana perombakan kabinet yang kembali diapungkan Presiden Joko Widodo dinilai lebih kental dengan alasan politis, bukan soal kinerja. Indikasinya, menteri dari Partai Nasdem disebut-sebut akan jadi pihak yang didepak dari Istana.

 

Isu ini diperkuat pandangan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, yang menilai Presiden Jokowi tengah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Nasdem dengan cara merombak kabinetnya.

 

"Suka tidak suka, senang tidak senang, ketidaksukaan Jokowi itu kelihatannya berbuntut adanya reshuffle kabinet,” kata Ujang ketika berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/12).

 

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, PDIP terlihat kurang senang dengan Nasdem yang mengusung Anies Baswedan, sehingga ingin menggeser partai besutan Surya Paloh itu dari koalisi pemerintah.

 

“Makanya muncul pernyataan-pernyataan dari parpol koalisi Jokowi, khususnya PDIP, yang ingin menggeser Nasdem dari kursi kabinet. Karena itu hak prerogatif presiden, ya presiden yang menentukan apakah menteri-menteri dari Nasdem akan digeser atau tidak,” tuturnya.

 

Lebih jauh, Ujang melihat Jokowi akan menggeser satu atau dua menteri dari Nasdem, kalau memang terjadi perombakan kabinet.

 

"Saya melihatnya akan ada yang digeser, apakah ketiga menteri dari Nasdem atau hanya satu yang digeser, tergantung Jokowi. Bisa juga tiga-tiganya digeser,” tutupnya. (*)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.