Latest Post


SANCAnews.id – Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan agenda penundaan Pemilu tampak makin nyata disuarakan. Bahkan ada sinyal-sinyal yang diberikan tokoh politik sekaligus kepala kelembagaan negara.

 

Karena itu, pengamat politik Rocky Gerung pun menilai sinyal agenda Jokowi tersebut makin dimunculkan guna menguji opini publik. Pernyataan ini disampaikan Rocky Gerung saat membahas tulisan Desmond J Mahesa yang berjudul "Gelagat Penundaan Pemilu Kembali Mengemuka, Pertanda Apa?"

 

Rocky Gerung awalnya mengungkapkan jika para elit politik Indonesia saat ini sangat oportunis. Tulisan yang dibuat Desmond seolah menjadi sinyal atau peringatan dini dari 'orang dalam' terkait potensi perpanjangan pemilu tersebut.

 

"Saya mengenal Desmond ini sebagai teman. Dia (Desmon) juga aktivis, meski orang partai, tampaknya ia tahu apa yang jadi permainan 'dalam'. Itu muncul tulisan soal potensi perpanjangan pemilu," ujar Rocky di kanal YouTube miliknya.

 

Rocky berusaha menyakini tulisan yang dibuat Desmon ialah peringatan dari 'orang dalam' yang juga bisa diartikan sebagai kekhawatiran Partai Gerindra, jika Prabowo juga dihadang dengan agenda tersebut.

 

"Menyebutkan ada lima skenario sekaligus dampak buruk yang ditimbulkan jika perpanjangan pemilu. Salah saatunya, Rakyat bisa anarkis, muncul pemerintahan diktator. Tampaknya (Desmon) sejak awal mengingatkan, ada upaya memperpanjang masa jabatan, atau menunda pemilu," beber Rocky Gerung.

 

"Mungkin pak Prabowo juga cemas, walau Erick Thohir dan Muhaimin sudah pasang badan bersiap menjadi wakilnya. Tulisan Desmon ini semacam pre-tes untuk dibaca Prabowo atau mungkin menggambarkan kekhawatiran Prabowo," sambung dia.

 

Rocky Gerung pun mengungkapkan jika sangat mudah Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode.

 

"Saya menduga, ia (Desmon) tau apa yang akan terjadi. Tukar tambah dari istana dan oligarki. Dan tawar menawar dengan oligarki. Kasak kusuk itu dibawa ke publik sehingga jadi orkestra," ujarnya.

 

"Yang berlangsung saat ini, yakni upaya membaca opini publik," sambung Rocky.

 

Rocky pun menjabarkan sangat mudah oligarki dan istana membuat amandemen atau perubahan Undang-Undang. Dengan dana Rp3-4 triliun saja, perpanjangan masa jabatan Jokowi bisa mendapatkan 'amin' besar lembaga legislatif.

 

Rocky membongkar hitungan-hitungan skenario istana dan oligarki. "Untuk amandeman DPR setidaknya 1/3 anggota mengusulkan sidang, lalu sidang harus dihadiri 2/3 anggota. Keputusan Amandeman harus disetujui 50 persen plus satu," ujarnya.

 

"Anggota DPR 700 san, lalu harus setuju amandamen butuh sekitar 350 hingga 400 anggota. Jika satu suara anggota dinilai Rp 1 miliar, maka dikalikan. Jika dikalikan 10 juga tetap sekitar Rp 4 triliun. Sehingga cukup dengan Rp 3 triliun, Jokowi bisa menunda pemilu 2024," beber Rocky Gerung.

 

Apalagi dengan kondisi saat ini, Rocky makin menduga kehidupan masyarakat yang sulit sekaligus anggota DPR juga sama, maka potensi bertindakan yang tidak terpuji akan bisa terjadi.

 

Meski demikian, Rocky Gerung pun membuka peluang skenario lain yang mungkin dijalankan istana dan oligarki guna memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. (suara)


SANCAnews.id – Hukum seharusnya berlaku sama terhadap siapa pun di negara demokrasi, termasuk kepada penguasa sekalipun.

 

Hal tersebut sudah dicerminkan oleh lembaga antirasuah yang dimiliki Indonesia, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Demikian pandangan begawan ekonomi, Rizal Ramli dalam akun Twitternya @RamliRizal pada Rabu siang (14/12) dengan melampirkan sebuah link berita berjudul "Republicans have President Joe Biden's son in their sights".

 

"KPK ini contoh bagus bahwa hukum berlaku sama terhadap siapa pun di negara demokrasi," ujar Rizal Ramli seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Rabu siang (14/12).

 

Meski demikian, RR sedikit memberi atensi kinerja KPK yang terkesan lambat terhadap dugaan kasus yang melibatkan keluarga penguasa. Dikatakan RR, sapaan Rizal Ramli, ada seorang anak penguasa yang diduga mempunyai perusahaan cangkeng untuk menampung hasil dagang kekuasaan.

 

Akan tetapi, Rizal Ramli tidak secara gamblang menyebut siapa sosok anak yang dimaksud memiliki perusahaan untuk menampung hasil dagang kekuasaan tersebut.

 

"Anak si doi punya puluhan perusahaan-perusahaan cangkeng untuk nampung hasil 'Dagang Kekuasaan', termasuk dari pengusaha-pengusaha pembakar hutan. Gitu kok KPK mingkem?" kritik Rizal Ramli diakhiri dengan emoticon tertawa.

 

Meski tidak gamblang, sindiran RR disinyalir merujuk pada laporan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun yang sempat melaporkan anak presiden, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke KPK atas dugaan KKN.

 

Ubed sebelumnya melaporkan Gibran dan Kaesang terkait sumber aliran dana bisnis dua putra Jokowi itu, yang diduga dari anak perusahaan berinisial PT SM terkait kasus pembakaran hutan pada tahun 2015, yaitu PT BMH.

 

Dalam laporannya, Ubed menyebutkan bahwa fakta-fakta tentang kucuran dana dari lembaga pembiayaan terkait grup bisnis pembakaran hutan itu ke perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Gibran dan Kaesang, nilainya mencapai Rp 99,3 miliar.

 

Ubed pun menyebut laporannya tersebut kini belum dihentikan KPK, melainkan hanya diarsipkan.

 

"Enggak (diberhentikan). Kan KPK bilang bahwa kasus yang saya laporkan itu sumir. Alasannya karena tidak ada penyelenggara negara, lalu saya bantah dan sempat ramai kan," ujar Ubed saat dikonfirmasi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat lalu (28/10). *


SANCAnews.id – Siklus pergantian presiden selama dua periode merupakan harga mati untuk mempertahankan demokrasi yang sudah berlangsung sejak lengsernya Presiden Soeharto.

 

Demikian ditegaskan Direktur Sabang Merauke Institute, Syahganda Nainggolan dalam webinar bertema "Pemilu Berintegritas versus Penundaan Pemilu" yang digelar PP Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA ITB), Selasa (13/12).

 

"Presiden dua periode harga mati. Perpanjangan masa jabatan Jokowi adalah pelanggaran konstitusi yang akan membahayakan stabilitas politik nasional," kata Syahganda.

 

Alumni Geodesi ITB 84 ini menuturkan, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika menggunakan argumentasi kembali ke UUD 45 asli hingga isu beban biaya pemilu yang begitu besar.

 

Setelah Sukarno dan Suharto menjadi presiden hampir seumur hidup, menurutnya, tidak boleh ada lagi pemimpin feodal dan otoriter akibat model pemimpin haus kuasa di Indonesia.

 

"Argumentasi-argumentasi ini sangat merusak tatanan sosial politik yang sudah berjalan baik selama ini," tegasnya.

 

Secara jelas dan terang-benderang, siklus kepemimpinan nasional dua kali lima tahun sudah cukup untuk seorang pemimpin menyumbangkan potensinya memajukan Indonesia.

 

"Sirkulasi kepemimpinan harus terus terjadi, sehingga inovasi dalam pembangunan yang berorientasi kesejahteraan masyarakat serta demokrasi dapat terus berkelanjutan," tutupnya.

 

Diskusi tersebut turut menghadirkan pembicara lainnya, salah satunya Wakil Ketua Umum Gerindra, Ferry Juliantono. (rmol)

 

SANCAnews.id – Ketidakadilan menjadi persoalan mendasar terkait konflik yang terus terjadi di Papua. Negara, harus hadir dan mewujudkan keadilan untuk masyarakat Papua agar tidak menjadi lapangan pembantaian kepada mereka yang tak berdosa. Sebab, kekerasan bukanlah solusi atas penyelesaian masalah di Tanah Cendrawasih.

 

Begitu kata Koordinator Indonesia Bersih (KIB) M Adhie Massardi menanggapi video detik-detik Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) membantai secara sadis sejumlah warga di Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan yang beredar di masyarakat.

 

“Keadilan. Saya tetap berpendapat kekerasan tak pernah berhasil menyelesaikan masalah negara harus bawa “Pedang Keadilan” karena yang bikin risau masyarakat Papua dan rakyat Indonesia adalah ketidakadilan,” kata Adhie Massardi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa malam (13/12).

 

Namun demikian, Jurubicara Presiden Abdurrachman Wahid atau Gus Dur tersebut berpendapat bahwa sebelum jauh mewujudkan keadilan, semua pihak harus memahami keadilan itu sendiri.

 

“Tapi untuk menegakkan keadilan pertama-tama ente harus pahami keadilan,” pungkasnya. (*)


SANCAnews.id – Wacana perpanjangan masa jabatan presiden terus bergulir, sejumlah pejabat publik mulai dari menteri Kabinet Indonesia Maju hingga Ketua DPD dan MPR RI mengusulkannya.

 

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari membandingkan sikap Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika merespons wacana tiga periode tersebut.

 

Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara kedua pemimpin negara tersebut. SBY saat menjadi presiden dipenghujung masa jabatannya dengan tegas menolak wacana tiga periode.

 

"Pak SBY itu di akhir masa periode keduanya juga tawarkan perpanjangan (masa jabatan), tetapi beliau berpidato mengatakan tidak cukup! Nah inilah contoh negarawan," tegas Feri dikutip dari YouTube CNNIndonesia, Selasa (13/12/2022).

 

Dosen Universitas Andalas itu mengatakan SBY kala itu tidak tergoda dengan rayuan perpanjangan masa jabatan presiden. Baik itu godaan berkaitan dengan klaim kepercayaan publik atau apapun itu alasannya.

 

Feri berharap sikap negarawan SBY itu dicontoh oleh Presiden Jokowi. Ia meminta Jokowi berpidato menyatakan dengan tegas menolak wacana tiga periode atau penundaan pemilu.

 

"Ini jadi catatan penting bagi Pak Jokowi. Presiden harus segera berpidato, sama sekali tidak boleh mengkhianati konstitusi ketika masa politik Pemilu sedang berjalan," tegas Feri.

 

Sementara itu, sikap Presiden Jokowi dalam menanggapi wacana tiga periode atau penundaan pemilu dinilai bersayap. Ia tidak pernah dengan tegas menolak wacana tersebut.

 

"Konstitusi tidak membolehkan. Sudah jelas itu. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakayat. Saya ulangi, saya akan taat konstitusi dan kehendak rakyat," ujar Jokowi pada Senin (29/8) lalu.

 

Wacana Pemilu Ditunda

 

Penundaan Pemilu terus diwacanakan oleh sejumlah pejabat publik mulai dari Menteri, Ketua Umum Partai, hingga Ketua DPD.

 

Kekinian wacana penundaan Pemilu itu dilontarkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet).

 

Dia menyebut, Indonesia saat ini tengah memasuki masa peralihan dan pemulihan ekonomi pasca pandemi, sehingga menurutnya pelaksanaan Pemilu 2024 harus dipikirkan ulang.

 

"Ini juga harus dihitung betul apakah momentumnya tepat dalam era kita tengah berupaya melakukan recovery bersama terhadap situasi ini, dan antisipasi, adaptasi terhadap ancaman global seperti ekonomi, bencana alam," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam diskusi yang digelar Poltracking Indonesia, Kamis (8/12).

 

Tak hanya itu, dia juga menyinggung ihwal perpanjangan masa jabatan presiden yang dalam beberapa waktu terakhir banyak menuai pro-kontra di masyarakat.

 

"Kita tau deras sekali pro kontra di masyarakat ada yang memperpanjang, ada yang mendorong tiga kali, tapi terlepas itu saya sendiri ingin tau keinginan publik yang sesungguhnya ini apa. Apakah kepuasan ini ada korelasinya dengan keinginan masyarakat beliau tetap memimpin kita dalam masa transisi ini," kata Bamsoet. (populis)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.