Latest Post


SANCAnews.id – KUHP baru yang telah disahkan oleh DPR RI pada Selasa kemarin (6/12) tak lantas bisa mengatur kerja pers. Khususnya yang terkait langsung dengan kebebasan pers.

 

Terlebih, dalam Pasal 8 UU Pers sudah sangat jelas, dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum.

 

 “Dengan begitu KUHP sama sekali tak dapat dan tak boleh atau dilarang menyentuh kegiatan pers,” tegas pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik, Wina Armada, di Jakarta, Jumat (8/12).

 

Seandainya, kelak ada kegiatan pers yang sampai dikenakan pidana melalui pasal-pasal KUHP, di mata Wina, itu berarti merupakan kejahatan terhadap pers. Bahkan termasuk kriminalisasi terhadap pers.

 

Wina berpendapat, pers hanya akan tumbuh sehat dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang demokratis, sedangkan sebagian dari pasal KUHP baru jelas bertentangan dengan alam demokrasi.

 

Wina memberi contoh, ketentuan KUHP mengenai penghinaan terhadap lembaga-lembaga negara, memberi hak kepada negara untuk menghukum orang yang mengkritik penguasa. Sedangkan  lembaga negara dapat ditafsirkan dari tingkat kepresidenan  sampai tingkat kelurahan.

 

Dalam konteks ini, Wina mengkhawatirkan pelaksanaan pasal-pasal yang terkait penghinaan seperti itu dalam KUHP kelak dapat menimbulkan kerancuan  perbedaan antara tafsir kritik dengan penghinaan dan fitnah terhadap penguasa.

 

Hal ini karena dalam praktik kelak yang melaksanakan isi KUHP bukanlah para anggota DPR yang mengesahkan KUHP saat ini, maupun para pejabat pemerintah yang kini berkuasa, tapi aparat hukum yang pasti punya tafsir tersendiri.

 

Bagi Wina, hal itu menjadi alarm bagi perkembangan demokrasi di tanah air.

 

Fatal 

Selain itu Wina Armada  juga mengecam tetap dimasukannya pasal-pasal hazaai artikelen atau pasal-pasal permusuhan dan kebencian dalam KUHP. Dari sejarahnya,  terang Wina, ketemtuan ini sengaja diciptakan penjajah Belanda untuk membungkam pergerakan oragnisasi kemerdekaan Indonesia, dan menempatkan Ratu dalam posisi yang sakral yang tidak boleh dikritik.

 

Kini dalam KUHP malah dipertahankan untuk menegakkan kewibawaan penguasa. Dengan demikian seakan-akan rakyat dihadap-hadapkan dengan penguasa. Dalam hal ini ada logika dan filosofi pembuatan KUHP yang sangat keliru.

 

“Fatal!” tegas Wina lagi.

 

Mantan penyiar radio dan televisi ini juga merasa heran, berlakunya KUHP ini ada waktu transisi sampai tiga tahun. Kenapa tidak mau mengundurkan sebentar pengesahannya untuk mengadopsi pasal-pasal perlindungan terhadap demokrasi.

 

Dalam hal ini Wina memandang, “Akhirnya yang terjadi bukan legency di bidang perundang-undangan, melainkan bom sosial.”

 

Memang Wina mengakui kalau  KUHP peninggalan penjajah perlu diganti dengan KUHP produk nasional yang baru. Namun, menurut Wina,  pergantian itu tidak boleh hanya bajunya. Hanya casingnya. Melainkan juga harus subtansinya.

 

Hingga akhirnya Wina  sampai pada kesimpulan, “Justru sepanjang terkait dengan pasal-pasal demokrasi, KUHP baru subtansi dan filosofinya lebih kolonial dari kolonial. Jadi dari aspek ini bukan dekolonialosasi, tapi malah menjadi rekolonialisasi.” (rmol)



SANCAnews.id – Pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik, Wina Armada menyatakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers.

 

Pasalnya, khusus untuk pelaksanaan kemerdekaan pers tetap hanya akan mengikuti dan patuh terhadap UU Pers No 40 Tahun 1999.

 

Hal ini dikatakannya menanggapi soal kontroversi pasal-pasal yang terkait dengan kritik terhadap pemerintah. Salah satunya, pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan lembaga pemerintahan.

 

Wina menegaskan, UU Pers bersifat undang-undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan dengan UU Pers itu sendiri.

 

“Bukan UU dan peraturan lain, termasuk dalam hal ini, bukan pula diatur oleh KUHP yang baru disahkan,” ujar Wina, Jumat, 9 Desember.

 

Mantan Sekjen pengurus PWI Pusat itu mengingatkan, dalam UU Pers jelas disebut tidak ada satu pihak pun yang dapat mencampuri urusan kemerdekaan pers. Termasuk menurutnya, UU KUHP.  

 

”Tentu dalam hal ini, termasuk KUHP yang baru disahkan tidak dapat mengatur soal kemerdekaan pers,” jelasnya.

 

Alumni Fakultas Hukum UI itu mengatakan, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri.

 

Artinya, kata Wina, sesuai UU Pers maka segala urusan yang terkait dengan pers telah dan akan diatur sendiri berdasar ketentuan yang disepakati oleh masyarakat pers.

 

“Ketentuan ini sudah diperkuat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” katanya.

 

Diketahui, aturan tentang penghinaan pemerintah dan lembaga negara memiliki konsekuensi pidana yang beragam.

 

Pada Pasal 240 Ayat (1) RKUHP jika penghinaan dilakukan secara lisan dan tulisan di muka umum maka diancam pidana maksimal 1,5 tahun atau denda kategori II.

 

Kemudian jika penghinaan itu menyebabkan kerusuhan dalam masyarakat maka ancaman pidananya menjadi 3 tahun atau denda kategori IV (maksimal Rp 200.000.000).

 

Ancaman hukuman itu lebih berat jika dilakukan melalui teknologi informasi. Pasal 241 Ayat (1) mengungkapkan penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara melalui teknologi informasi dapat dipidana maksimal 3 tahun penjara atau denda kategori IV.

 

Akan tetapi, jika penghinaan itu membuat terjadinya kerusuhan maka pelaku dapat dikenai pidana maksimal 4 tahun, atau denda kategori IV.

 

Adapun semua tindak pidana penghinaan bersifat delik aduan. Aduan bisa disampaikan melalui pimpinan pemerintah atau lembaga negara. (voi)


SANCAnews.id – Isu kudeta konstitusi melalui penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden yang sempat meredup kini kembali mencuat ke publik.

 

Isu tersebut kembali menghangat setelah Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menyinggung Pemilu 2024 perlu dihitung kembali.

 

 “Skenario rencana kudeta konstitusi pernah dipasarkan 6-9 bulan yang lalu, gagal dihantam kawan-kawan pro-demokrasi. Sekarang diputar ulang oleh Ketua DPD dan Ketua MPR?” kata ekonom senior Rizal Ramli kepada redaksi, Jumat (9/12).

 

Sebelum Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, hal serupa juga disampaikan Ketua DPD RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti. Padahal LaNyalla sebelumnya getol mengkritik isu penundaan pemilu, namun beberapa waktu lalu justru berubah 180 derajat dan mengusulkan penundaan Pemilu 2024.

 

Meski mengkritik sepak terjang para politisi tersebut, Rizal Ramli kini bersyukur aktor-aktor pengudeta konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan rezim semakin terungkap.

 

“Bagus supaya jelas garis demarkasinya, siapa-siapa saja yang mengkhianati konstitusi,” pungkasnya. (rmol)


SANCAnews.id – Saran yang disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet agar Pemilu 2024 dihitung kembali dengan cepat menuai banyak kritik. Sebab, saran tersebut dinilai melawan konstitusi.

 

Ekonom senior, Dr Rizal Ramli menilai, usulan tersebut merupakan upaya menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden. Oleh karena itu, usulan tersebut merupakan tindakan inkonstitusional. Sebab, konstitusi sudah mengatur masa jabatan presiden maksimal dua periode.

 

“Upaya ini adalah kudeta konstitusi. Ini merupakan tindakan ilegal. Siapapun yang ikut kegiatan ini artinya melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi dan UUD kita,” tegas Rizal Ramli, dalam sebuah diskusi di MRP RI, yang dikutip Redaksi, Jumat (9/12).

 

Atas dasar itu, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur tersebut meminta semua pihak untuk mencatat siapa-siapa saja anggota parleman yang kembali mencoba menggulirkan wacana tersebut. 

 

“Jadi saya minta, aktivis, wartawan, catat siapa anggota MPR DPR yang mau menunggangi rapat MPR untuk memperpanjang Jokowi 3 tahun atau 5 tahun,” tegasnya.

 

Menurut pria yang akrab disapa RR ini, upaya kudeta konstitusi ini harus benar-benar diwaspadai. Pasalnya, wacana penundaan Pemilu 2024 sudah kesekian kalinya digulirkan oleh pihak-pihak yang ingin melanggengkan kekuasannya.

 

“Rancangan ini bukan hanya deal-deal politik, sudah ada olinya, olinya itu fulus yang dibagikan oleh oligarki jumlahnya sudah sangat besar. Sederhana, anggota DPR berapa sih yang dibayar? Jadi kita mesti betul-betul awas! Upaya untuk mengapalkan Jokowi ini adalah kudeta konstitusi,” pungkasnya.

 

Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet meminta pelaksanaan Pemilu serentak di 2024 harus benar-benar diperhitungkan. Menurutnya, menjelang Pemilu 2024 kerap memunculkan kondisi politik nasional yang panas.

 

Apalagi, kata dia, proses pemulihan akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya selesai. Bahkan belakangan ini ditambah banyak terjadi bencana alam.

 

“Ini jelas harus dihitung betul apakah momentumnya tepat dalam era kita tengah berupaya recovery bersama terhadap situasi ini dan antisipasi, adaptasi dan ancaman global seperti ekonomi, bencana alam dan sebagainya,” kata Bamsoet dalam acara rilis hasil survei Poltracking, Kamis (8/12). (rmol)


SANCAnews.id – ISaran dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) agar Pemilu 2024 ditunda ditanggapi serius Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman.

 

Menurut Benny, usulan Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut tidak berdasar. Sebab, pemilu 2024 ditunda maka jadwal sudah disahkan Pemerintah dan DPR dianulir dan terjadi delegitimasi pada tataran eksekutif dan legislatif karena masa jabatannya sudah habis.

 

“Jika Pemilu ditunda, DPR, DPD dan Presiden/Wapres tidak punya legitimasi lagi,” kata Benny dalam cuitan akun Twitter pribadinya @BennyHarmanID, dikutip Kamis (8/12).

 

Atas dasar itu, Benny berharap TNI-Polri tidak mudah untuk dirayu agar Pemilu 2024 ditunda. Pasalnya, upaya penundaan Pemilu 2024 hanyalah berorientasi pada memuaskan hasrat pihak-pihak tertentu yang masih ingin berkuasa.

 

“Tidak ada dasar dan alasan menunda pemilu selain untuk tetap berkuasa. TNI/POLRI jangan mau diperalat untuk mengamankan presiden yang tidak punya legitimasi rakyat (karena masa jabatannya berakhir di 2024),” tegas Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat ini.

 

Lebih jauh daripada itu, Benny menyebut, apabila pihak-pihak tertentu masih kekeuh agar Pemilu 2024 ditunda maka itu merupakan upaya kudeta konstitusi.

 

“Kudeta konstitusi sangat danger (bahaya),” pungkasnya.

 

Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet meminta pelaksanaan Pemilu serentak di 2024 harus benar-benar diperhitungkan. Menurutnya, menjelang Pemilu 2024 kerap memunculkan kondisi politik nasional yang panas.

 

Apalagi, kata dia, proses pemulihan akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya selesai. Bahkan belakangan ini bencana alam terjadi di mana-mana.

 

“Ini jelas harus dihitung betul apakah momentumnya tepat dalam era kita tengah berupaya recovery bersama terhadap situasi ini dan antisipasi, adaptasi dan ancaman global seperti ekonomi, bencana alam dan sebagainya,” kata Bamsoet dalam acara rilis hasil survei Poltracking, Kamis (8/12). (rmol)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.