Latest Post


 

SANCAnews.id – Salah satu pengacara keluarga mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, yakni Kamaruddin Simanjuntak dicekal dari sebuah acara televisi.

 

Bukan hanya Kamaruddin, mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji juga dilarang untuk masuk di acara televisi yang akan membahas sidang Ferdy Sambo Cs.

 

Hal ini tentu disayangkan oleh Kamaruddin di mana saat dia sudah tiba di stasiun televisi, dia dan Susno Duadji tiba-tiba dibatalkan untuk tampil.

 

Padahal acara "Catatan Demokrasi" di TV One itu tetap berlangsung dengan tema dan pembicara yang sama, kecuali Kamaruddin dan Susno Duadji.

 

"Detik-detik terakhir kita sudah sampai di Tv One, tiba-tiba pihak ketiga mengintervensi TV One, tidak boleh saya diikutkan jadi narasumber begitu juga Pak Susno Duadji," ungkap Kamaruddin di Kanal YouTube Irma Hutabarat.

 

"Saya sudah dijadikan narasumber sudah ada ini [poster], nah ini sudah menjelang menit terakhir sudah di sini tiba-tiba bilang tidak boleh jadi narasumber.

 

Kejadian serupa ternyata tak terjadi satu kali, Kamaruddin juga sempat dicekal sebagai narasumber saat mendampingi kasus sebelumnya.

 

"Kenapa sih negara dan pemerintahan sekarang kok sampai narasumber TV pun sampai diintervensi, siapa pihak ketiga yang mengintervensi," kata Kamaruddin.

 

"Kok makin buruk negara ini loh, semakin aneh apa saya mencalonkan diri saja ya jadi presiden," candanya.

 

Lebih lanjut Kamaruddin menyebutkan dia kecewa saat sudah sampai dengan melewati macet, tapi malah dibatalkan.

 

"Ini terulang, pada tahun 2016 juga begitu waktu mendapingi Putri Soekarno, saya jadi narasumber utama di ILC sudah dibangun panggung tahu-tahu diintervensi," ungkap Kamaruddin.

 

"Saya berpikir sudah lah, saya tidak mau lagi jadi narasumber di TV One buat selama-lamanya," tandasnya. (suara)



SANCAnews.id – Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menyoroti keputusan Henry Yosodiningrat yang menjadi kuasa hukum tersangka peredaran gelap narkoba, Irjen Teddy Minahasa Putra, menuai kontroversi.

 

Diketahui, selama ini Henry dikenal sebagai Ketua Umum Gerakan Nasional Anti-Narkotika (Granat). Hal tersebut ditanggapi Said Didu melalui akun Twitter pribadi miliknya. Dalam cuitannya, Said Didu menyinggung soal hukum di Indonesia.

 

Said Didu juga menyebutkan bahwa perihal tatanan hukum seakan semakin tidak jelas pelaksaannya.

 

"Hukum makin gak jelas," ungkap Said Didu melalui akun Twitter pribadi miliknya, Selasa (18/10).

 

Sebagai informasi, Henry merupakan sosok yang ikut mendirikan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menegakkan hak-hak politik Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang diberangus rezim Orde Baru.

 

Sebagai ahli hukum, Henry pernah menjadi narasumber pemerintah dalam penyusunan uji materi UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) dan menjadi anggota Panitia Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perubahan atas UU 22/1997 tentang Narkotika pada 2007. Pendapat Henry akhirnya dipakai hakim MK untuk tetap memberlakukan hukuman mati.

 

Lebih lanjut, Henry pernah berurusan dengan polisi lantaran anaknya tertangkap dalam kasus narkoba pada 2018.

 

Anak Henry positif menggunakan narkotika setelah menjalani tes urine di kepolisian. Namun, anak Henry tidak ditahan, malah dipulangkan ke rumah ketika itu.

 

Sementara itu, saat ini Henry menjadi pengacara Teddy. Henry mengaku ditunjuk sebagai kuasa hukum sejak Teddy ditempatkan di penempatan khusus (Patsus) di Provos Polri. (wartaekonomi)




 

SANCAnews.id – Sidang perdana terdakwa pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang diselenggarakan mulai Senin (17/10/2022) mengundang perhatian.

 

Terdakwa utama Ferdy Sambo yang disidang di hari pertama menjadi sorotan, salah satunya karena pakaian yang berbeda dengan terdakwa lain.

 

Terdakwa lain mulai dari Putri Candrawathi hingga Richard Eliezer semuanya mengenakan atasan kemeja berwarna putih polos.

 

Namun Ferdy Sambo bukannya mengenakan pakaian yang sama malah mengenakan kemeja batik. Hal ini juga mengundang respons dari analis gesture dan mikorekspresi, Monica Kumala Sari.

 

Menurut Monica, pengguaan batik oleh Ferdy Sambo bisa menggambarkan dua makna.

 

"Kita bisa tarik hipotesis dari apa yang kita lihat, satu hal hipotesis yang A memang Ferdy Sambo masih memiliki power untuk menentukan apa yang digunakannya," ujar Monica saat diwawancarai TV nasional.

 

"Lalu hipotesis B, kita harus meng-expand pemikrian kita ini, kemungkinan memang tidak ada baju putih yang tersedia sehingga pakai baju batik ini," tambahnya.

 

Lebih lanjut dia tidak bisa memberikan kepastian hipotesis mana yang benar terkait penggunaan batik oleh Ferdy Sambo di persidangan.

 

"Sampai kita punya kesempatan untuk menanyakan kepada beliau atau orang-orang yang berada di sekitarnya."

 

Persidangan Ferdy Sambo sendiri masih ditunda usai pembacaan eksepsi, jaksa penuntut umum belum memberikan tanggapan pada eksepsi yang disampaikan oleh kuasa hukum.

 

Sementara sidang lanjutan baik pada Sambo maupun terdakwa lain akan dilanjutkan besok, Kamis (20/10/2022) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (suara)


 

SANCAnews.id – Refly Harun memberikan analisisnya terkait polemik gugatan ijazah palsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang belakangan ini viral di media sosial.

 

Diketahui, sidang perdana gugatan ijazah palsu Jokowi telah digelar pada Selasa kemarin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Presiden Jokowi sebagai pihak tergugat tidak hadir di persidangan itu. Ia diwakili tim kejaksaan. Namun, tim kejaksaan yang diutus Jokowi belum melengkapi surat kuasa sebagai syarat persidangan.

 

Refly Harun pun menilai bahwa Jokowi sebenarnya tidak perlu datang langsung ke persidangan.

 

Menurut dia, Jokowi sebagaimana warga negara lainnya bisa diwakili oleh kuasa hukum untuk melakukan pembelaan di persidangan.

 

"Nah menurut saya, sebagaimana kasus-kasus lainnya ya boleh dong diwakili kuasa hukum. Masa harus datang sendiri? Kalau bisa diwakili oleh kuasa hukumnya, why not?" ungkap Refly Harun dikutip dari Channel YouTubenya, Rabu (19/10/2022).

 

Kendati demikian, ahli hukum tata negara ini memberikan catatan penting. Ia menyatakan bahwa yang berhak mewakili Jokowi adalah advokat yang diberikan kuasa, bukan jaksa yang merupakan pengacara negara.

 

Refly pun menjelaskan status hukum Jokowi dalam gugatan perdata ijazah palsu tersebut. Menurutnya, posisi Jokowi saat digugat mengenai ijazah palsu itu sebagai warga negara, bukan sebagai pejabat negara.

 

“Pertama-tama yang kita lihat, dalam petitum mengatakan yang digugat adalah presiden Jokowi ya jadi menyatakan tergugat satu telah melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi tergugat satu itu adalah Joko Widodo yang kebetulan adalah seorang Presiden,” kata dia.

 

“Jadi Presiden Jokowi tidak boleh menggunakan instrumen negara untuk mewakili kepentingan personalnya,” katanya.

 

Refly kembali menegaskan bahwa yang digugat oleh Bambang Tri adalah Jokowi sebagai warga negara. Bukan jabatannya sebagai presiden.

 

Selain itu, materi gugatannya pun bersifat personal, tidak ada kaitannya dengan kebijakan Jokowi sebagai presiden.

 

"Tapi yang digugat presiden? Enggak yang digugat oleh sebenarnya adalah Joko Widodo. Kenapa karena ini terkait dengan ijazah bukan terkait dengan kebijakan presiden bukan terkait dengan SK Presiden tapi ijazah seorang Joko Widodo,” tegas Refly.

 

Sebelumnya, kuasa hukum penggugat, Eggi Sudjana mempertanyakan mengapa Jokowi diwakili tim kejaksaan dalam perkara gugatan ijazah palsu.

 

Padahal, menurutnya, gugatan ijazah palsu ini sifatnya personal, tidak ada kaitannya dengan kebijakan Jokowi sebagai presiden. Jadi, tidak semestinya Jokowi menunjuk jaksa yang merupakan instrumen negara untuk mewakilinya dalam urusan pribadi. (populis)


 

SANCAnews.id – Sidang perdata gugatan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (18/10/2022).

 

Kuasa hukum penggugat, Eggi Sudjana mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi tidak hadir dalam sidang perdana tersebut. Jokowi sebagai pihak tergugat hanya diwakili oleh tim kejaksaan.

 

Diketahui sidang itu dimulai sekitar pukul 11.30 WIB dengan dihadiri oleh puluhan ibu-ibu. Sidang ini juga tak dihadiri oleh penggugat Bambang Tri Mulyono yang tengah mendekam dalam tahanan. Bambang Tri dijadikan tersangka pada pekan lalu.

 

Lebih lanjut, Eggi Sudjana menyampaikan keberatannya dalam sidang itu. Ia menyayangkan tim kejaksaan yang hadir mewakili Jokowi. Menurutnya, Jokowi di kasus ini tak perlu dibela oleh jaksa karena sifatnya perdata.

 

"Ini persoalan pribadi Jokowi kenapa diwakili kejaksaan kan bukan urusan negara. Ini perdata," kata Eggi dalam persidangan tersebut.

 

Eggi menuntut Majelis Hakim menghadirkan Jokowi di sidang berikutnya. Sebab ia meyakini ini momen bagi Jokowi untuk membuktikan kebenaran ijazahnya.

 

"Mohon kecermatan majelis dalam panggilan ke depan Presiden Jokowi harus hadir. Kenapa dia tidak hadir? Kalau memang dia nggak ada kepalsuan ya hadir dong," ujar Eggi.

 

Eggi mendesak Majelis Hakim agar mengambil putusan di sidang berikutnya bila Jokowi tak hadir. Ia berharap Majelis Hakim tak beralasan lagi untuk menunda-nunda sidang.

 

Ia juga menilai Jokowi tidak gentle menghadapi sidang tersebut. "Kalau pekan depan Jokowi enggak hadir putuskan saja ijazahnya palsu karena nggak berani datang, jangan jawaban pengadilan nggak berwenang," kata Eggi.

 

Selain itu, Eggi menyinggung otoritas majelis hakim dalam mewujudkan keadilan.

 

"Yang mulia itu dimuliakan, kok (tergugat) dipanggil nggak dianggap. Oleh karena itu, dengan hormat, ini sidang terhormat setiap warga negara sama rata dalam hukum tanpa kecuali," tegas Eggi.

 

Diketahui, gugatan tersebut diajukan oleh Bambang Tri Mulyono yang terkenal sebagai penulis bukuJokowi Under Coverpada Senin (3/10). Sedangkan para tergugat adalah Presiden Jokowi (tergugat I), Komisi Pemilihan Umum/KPU (tergugat II), Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR (tergugat III), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi/Kemenristekdikti (tergugat IV).

 

Dalam petitummya, Bambang meminta PN Jakpus menerima dan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. Bambang juga meminta PN Jakpus menetapkan Presiden Jokowi telah melakukan perbuatan melawan hukum.

 

"Menyatakan TERGUGAT I telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum berupa Berupa Membuat Keterangan Yang Tidak Benar dan/atau Memberikan Dokumen Palsu berupa Ijazah (Bukti Kelulusan) Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) & Sekolah Menengah Atas (SMA) Atas Nama Joko Widodo," bunyi poin petitum kedua Bambang dikutip dari situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus pada Rabu (5/10).

 

Dalam poin petitum ketiga, Bambang menyatakan Presiden Jokowi telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa menyerahkan dokumen Ijazah yang berisi keterangan yang tidak benar dan/atau memberikan dokumen palsu.

 

Dokumen itu digunakan sebagai kelengkapan syarat pencalonan Jokowi untuk memenuhi ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf r PER-KPU Nomor 22 Tahun 2018 untuk digunakan dalam proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024. (populis)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.